Manhaj & Aqidah : TENTANG HUKUM PERAYAAN ISRO' MI'ROJ


ADAKAH DALIL YANG SHOHIH TENTANG
PERAYAAN ISRO’ MI’ROJ ?

Image result for isra' Mi'raj


Tidak bisa kita pungkiri, bahwa malam terjadinya Isro’ dan Mi’roj Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, adalah termasuk diantara tanda-tanda kekuasaan Alloh Ta’ala Yang Maha Agung, yang juga menunjukkan Maha Tingginya Alloh Subhanahu wa Ta’ala di atas seluruh makhluk-Nya, dan juga menunjukkan agungnya kedudukan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam di sisi Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (١)

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (yakni Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam) pada suatu malam, dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Isro’ : 1)

As-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baaz rohimahulloh berkata : “Diriwayatkan secara mutawatir dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau di-mi’roj-kan ke langit, lalu dibukakan pintu-pintu langit tersebut untuk beliau, hingga beliau melewati langit yang ke-tujuh. Lalu Alloh berbicara kepada beliau sebagaimana yang Alloh kehendaki, dan mewajibkan sholat lima waktu kepada beliau, yang mana sebelumnya Alloh mewajibkan kepada beliau lima puluh sholat.

Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam terus menerus bolak-balik menuju Robb-nya untuk meminta keringanan, sehingga Alloh merubahnya menjadi lima waktu yang wajib, tetapi pahalanya lima puluh, karena satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Segala puji dan syukur bagi Alloh, atas segala kenikmatan yang tidak terhitung lagi tidak terkira.” (At-Tahdzir Minal Bida’, hal. 16)

Meskipun demikian agungnya malam terjadinya Isro’ Mi’roj tersebut, namun bukan berarti hal tersebut boleh kita jadikan sebagai perayaan yang diagungkan, dan bukan pula untuk dikhususkan mengamalkan ibadah-ibadah tertentu yang tidak disyari’atkan dalam agama kita ini. Hal ini karena beberapa alasan sebagai berikut :

Pertama : Tidak ada satu pun kabar yang shohih dari hadits-hadits Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang ketentuan atau waktu yang pasti kapan terjadinya malam Isro’ dan Mi’roj tersebut, apakah di bulan Rojab ataukah di bulan-bulan yang lainnya.

Ada yang berpendapat, peristiwa itu terjadi lima belas bulan setelah beliau diangkat sebagai Nabi dan Rosul Alloh. Ada juga yang berpendapat, terjadi pada malam ke-27 dari bulan Robi’ul Akhir, setahun sebelum Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah. Ada juga yang berpendapat, terjadi lima tahun setelah beliau diangkat sebagai Rosul (lihat : Syarh Shohih Muslim (2/267-268) karya Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh). Ada pula yang berpendapat, hal itu terjadi pada malam ke-27 dari Bulan Robi’ul Awwal (lihat : Hawadits wal Bida’ (hal. 232) karya Al-Imam Abu Syamah rohimahulloh)

Bahkan Al-Imam Abu Syamah juga menyatakan : “Dikisahkan oleh sebagian ahli kisah (tukang dongeng), bahwa Isro’ Mi’roj itu terjadi pada pada bulan Rojab. Maka hal ini menurut Ahli Ta’dil wa Tahrij, adalah suatu kedustaan.” (Hawadits wal Bida’ (hal. 232), lihat juga Tabyinul Ajab Bimaa Waroda Fii Syahri Rojab (hal. 9, 19, 52, 64 dan 65) karya Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh)

Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh juga menyatakan : “Bahwa malam Isro’ itu tidak diketahui pada malam apa hal itu terjadi.” (Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khoiril ‘Ibaad, 1/58) 

Syaikh Al-‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Baaz rohimahulloh juga menegaskan : “Malam terjadinya Isro’ dan Mi’roj itu tidak ada riwayat-riwayat yang shohih yang menetapkannya, di Bulan Rojab atau bulan yang lainnya. Setiap riwayat yang menetapkannya, adalah tidak shohih diriwayatkan dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menurut para Ulama dan Ahlul Hadits. Alloh Ta’ala memiliki hikmah yang dalam, dengan membuat orang lupa (atau tidak tahu) akan hari itu.” (At-Tahdzir Minal Bida’, hal. 17)

Beliau juga menyatakan lagi : “Kalaupun diriwayatkan dengan shohih penetapan harinya, tetap tidak boleh mengkhususkannya dengan satu jenis ibadah (tertentu) tanpa dalil (yang memerintahkan/menganjurkannya, edt.).” (At-Tahdzir Minal Bida’, hal. 17)  

Kedua : Tidak pernah diketahui dari seorang muslim pun, yakni dari kalangan ulama dan kaum mukminin  lainnya, yang menjadikan malam Isro’ dan Mi’roj itu memiliki keutamaan dibanding malam-malam lainnya. Karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau, para Tabi’in dan para ulama yang mengikuti jejak mereka dengan cara yang baik, mereka semua tidak pernah mengadakan perayaan untuk malam itu, dan tidak pula mengkhususkan satu bentuk ibadah (tertentu) pada malam itu, bahkan mereka tidak pernah menyebut-nyebutnya.

Seandainya perayaan itu disyari’atkan, tentu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya kepada umat beliau, baik dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan. Kalau pun ada, tentu sudah dikenal secara luas, dan tentu pula sudah dinukil oleh para sahabat rodhiyallohu ‘anhum kepada kita (Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khoiril ‘Ibaad (1/58), At-Tahdzir Minal Bida’, hal. 17)

Ketiga : Bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan agama Islam ini sebagai agama yang sempurna dari semua sisinya, dan sebagai nikmat yang agung untuk hamba-hamba-Nya, sehingga tidak perlu lagi adanya penambahan atau pengurangan di dalamnya. Sebagaimana ditegaskan dalam Firman Alloh Ta’ala :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا (٣)

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS Al-Maidah : 3)

Maka barangsiapa menambah-nambahi dalam agama ini dengan suatu amalan ibadah yang tidak disyari’atkan Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya, berarti dia menganggap bahwa agama ini belum sempurna. Dan dengan menambahi ibadah yang baru yang tidak disyari’atkan-Nya, berarti juga dia telah menjadikan dirinya sebagai tandingan (sekutu) bagi Alloh dalam menetapkan syari’at atau hukum-hukum agama ini.

Seperti dalam firman Alloh Ta’ala :

أمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٢١)

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah), tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS As-Syuro : 21)

Keempat : Bahwa Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari kejelekan berbagai kebid’ahan. Beliau telah menjelaskan, bahwa semua bid’ah itu adalah sesat, dan perbuatan itu tidak akan diterima di sisi Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa membuat-buat perkara baru di dalam agama kami ini, (dengan) apa yang bukan berasal darinya, maka hal itu tertolak (yakni tidak diterima).” (HR Imam Al-Bukhori no. 2697 dan Imam Muslim no. 1718)

Dalam riwayat yang lainnya dinyatakan oleh beliau :

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa melakukan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada perintahnya (dari) kami, maka amalannya itu tertolak.” (HR Imam Muslim no. 1718)

Hal itu menunjukkan, bahwa semua amalan yang diniatkan untuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Alloh, tetapi tidak didasari dengan adanya perintah dari Alloh dan Rosul-Nya (yakni dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah), meskipun dengan niat dan tujuan yang baik, maka amalan seperti itu tetap akan tertolak, yakni tidak akan diterima oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. 

Dan para ulama As-Salaf As-Sholih, merekapun telah banyak mengingatkan kita dari jeleknya bid’ah tersebut, karena perbuatan bid’ah itu berarti melakukan penambahan terhadap agama dan syari’at Alloh yang tidak akan pernah diijinkan oleh Alloh dan Rosul-Nya. Bahkan hal itu merupakan perbuatan tasyabbuh (penyerupaan diri) dengan musuh-musuh Alloh dari kalangan Yahudi maupun Nasrani, karena mereka biasa menambah-nambah (atau merubah-rubah) ajaran agama mereka.  (lihat penjelasan seperti ini dalam At-Tahdzir Minal Bida’, hal. 19) Wallohu a’lamu bis showab.

Kesimpulan :

Maka dari uraian dan penjelasan ringkas di atas, dapatlah kita ambil kesimpulan :

Pertama : Malam Isro’ dan Mi’roj adalam malam yang agung dan mulia dalam Islam, karena pada saat itulah Alloh Ta’ala memerintahkan dan mensyari’atkan Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dan juga segenap umat beliau, untuk menegakkan sholat fardhu yang lima waktu).

Kedua : Akan tetapi, tidak disyari’atkan bagi kita untuk mengagungkan dan memuliakan malam tersebut setiap tahunnya dengan peringatan khusus dan melakukan amal-amal ibadah tertentu, karena memang tidak ada satu dalilpun yang mensyari’atkannya. 

Ketiga : Maka barangsiapa mengadakan perayaan dan melakukan ritual ibadah tertentu untuk mengagungkan dan memperingati malam Isro’ dan Mi’roj, padahal sudah pasti tidak diketahui adanya dalil yang mensyari’atkannya, berarti dia telah mengada-adakan perkara baru dalam agama Islam ini (yakni berbuat bid’ah).

Keempat : Yang wajib bagi kita semua adalah untuk mengikuti agama ini sesuai yang dituntunkan dan diajarkan dalam syari’at agama Islam ini, tanpa perlu menambah-nambahi ataupun mengurangi, karena agama ini sudah sempurna. Apa yang disyari’atkan, itulah hendaknya yang kita amalkan. Sedangkan apa yang tidak disyari’atkan, itulah yang harus kita tinggalkan dan kita jauhi, meskipun banyak orang yang mengamalkannya. 

Wallohu a’lamu bis showab.

Semoga penjelasan di atas bisa dipahami, dan menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua, walhamdulillahi robbil ‘aalamiin.


(Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby)