A. PENGERTIAN
HARI ASYURO :
Yang dimaksud hari Asyuro
adalah hari ke sepuluh dari bulan Muharrom (tanggal 10 Muharrom). Dan di
hari ini, mempunyai banyak keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh
hari-hari yang lainnya.
B. HIKMAH
DI BALIK HARI ASYURO :
Hari Asyuro mempunyai
keutamaan atau keistimewaan tersendiri, sampai-sampai para Nabi terdahulu
sebelum Nabi kita Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, mereka mengagungkan
hari asyuro ini, dengan melakukan puasa sunnah di hari ini. Diantaranya adalah
Nabi Nuh dan Nabi Musa ‘alaihimas sholatu was salam.
Agama Islam yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam pun juga memuliakan dan
mengagungkan hari Asyuro ini, juga dalam bentuk melakukan puasa sunnah di hari
ini.
Tetapi, terkait amalan
ibadah puasa sunnah di hari Asyuro ini, Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa
sallam mengalami empat macam kondisi, yakni sebagai berikut :
PERTAMA : Bahwa beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam
pernah melakukan puasa Asyuro ketika masih berada di Mekkah, tetapi beliau tidak
memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa pada hari tersebut.
Hal itu berdasarkan hadits
‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda :
كان
عاشوراء يوما تصومه قريش في الجاهلية وكان النبي صلى الله عليه وسلم يصومه فلما
قدم المدينة صامه وأمر بصيامه فلما نزلت فريضة شهر رمضان كان رمضان هو الذي يصومه
فترك يوم عاشوراء فمن شاء صامه ومن شاء أفطره
“Dahulu hari ‘Asyuro’ adalah hari yang orang-orang Quroisy
jahiliyah biasa berpuasa padanya. Demikian pula Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam berpuasa juga pada hari itu. Kemudian ketika beliau tiba di Madinah
(yakni ketika telah berhijrah), beliau tetap berpuasa (tiap hari Asyuro) dan
memerintahkan manusia untuk berpuasa juga pada hari itu. Setelah turun
kewajiban puasa bulan Romadhon, maka beliau berpuasa pada bulan (Romadhon) itu
dan meninggalkan puasa ‘Asyuro’. Maka siapa yang tetap ingin berpuasa, maka silahkan
berpuasa, dan yang tidak ingin, maka silahkan berbuka.” (HR Imam Al-Bukhori no.
2002 dan Imam Muslim no. 1126. Lihat juga Latho’iful
Ma’arif (hal. 48), karya Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh)
KEDUA : Bahwa ketika Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Ahli
Kitab (Yahudi dan Nashrani) juga biasa berpuasa pada hari itu untuk
mengagungkannya. Maka beliau pun juga tetap berpuasa dan memerintahkan kaum
muslimin juga berpuasa pada hari itu, karena merasa lebih berhak untuk
meneladani Nabi Musa ‘alaihis salam daripada Ahli Kitab tersebut.
Hal itu sebagaimana
ditunjukkan dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma, bahwa beliau pernah
bercerita :
“Rosululoh shollallohu
‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa
pada hari Asyuro. Lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada
mereka : “Hari apakah ini yang kalian berpuasa padanya ?” Mereka menjawab :
“Ini adalah hari yang agung, dimana Alloh Ta’ala telah menyelamatkan Nabi Musa
dan kaumnya (dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya), dan hari
ditenggelamkannya Fir’aun dan bala tentaranya tersebut (ke dalam lautan).
Kemudian Musa berpuasa pada hari itu sebagai bentuk rasa syukur (kepada Alloh),
sehingga kamipun berpuasa pada hari itu pula.” Lalu Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam pun bersabda : “Kami lebih berhak dan lebih utama (untuk
mengikuti) Nabi Musa ‘alaihis salam daripada kalian.” Selanjutnya, beliau
berpuasa pada hari itu, dan beliau memerintahkan (pada kaum muslimin)
agarberpuasa pada hari itu.” (HR Imam Al-Bukhori no. 2004 dan Imam
Muslim no. 1130).
KETIGA : Ketika Alloh Ta’ala
mewajibkan puasa pada bulan Romadhon, maka Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa
sallam tidak lagi mewajibkan/menekankan untuk berpuasa pada hari Asyuro.
Yang mau berpuasa dipersilahkan, bagi yang tidak berpuasa juga tidak dilarang.
Hal itu sebagaimana
dijelaskan dalam hadits Abdulloh bin Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu
‘anhuma, beliau mengatakan :
صام النبي صلى الله عليه وسلم عاشوراء وأمر بصيامه. فلما فرض رمضان
ترك ذلك
“Nabi shollallohu ‘alaihi
wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyuro, dan memerintahkan (para sahabat beliau)
agar berpuasa pada hari itu. Tetapi ketika puasa Romadhon telah diwajibkan,
maka beliau meninggalkan itu (yakni tidak mewajibkan puasa ‘Asyuro lagi).” (HR Imam Al-Bukhori
no. 1892 dan Imam Muslim no. 1125)
Juga disebutkan dalam
hadits Mu’awwiyah rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata :
هذا يوم عادشوراء، ولم يكتب الله عليكم صيامه، وأنا صائم، فمن شاء
فليصم ومن شاء فليفطر
“Ini
adalah hari Asyuro. Alloh tidak mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa pada
hari ini. Tetapi aku akan berpuasa (sebagai ibadah sunnah). Barangsiapa yang
mau berpuasa, maka silahkan dia berpuasa. Dan barangsiapa tidak mau, maka
silahkan dia berbuka (tidak berpuasa).” (HR Imam Al-Bukhori
no. 2003 dan Imam Muslim no. 1129)
Ya, setelah diwajibkannya
puasa Romadhon, maka kedudukan/hukum puasa hari Asyuro adalah mustahab
(sunnah). Tetapi fadhilahnya (keutamaannya) sangat besar, yakni dapat
menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.
Disebutkan dalam hadits
Abu Qotadah rodhiyallohu ‘anhu, bahwa ada seseorang bertanya kepada Nabi
Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang puasa hari Asyuro, maka beliau
bersabda:
أحتسب على الله أن يكفر الستة التي قبله
“Aku
berharap kepada Alloh, agar puasa tersebut dapat menghapus (dosa-dosa) satu
tahun sebelumnya (yakni setahun yang lalu).” (HR Imam Muslim 1162).
Maka, mengingat keutamaan
yang besar ini, tentunya kita tidak boleh meremehkan puasa ini begitu saja,
meskipun hukumnya tidak lagi wajib.
KEEMPAT : Di akhir kehidupan Nabi
Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau pernah berkeinginan untuk
melaksanakan puasa di hari Asyuro tidak secara menyendiri, tetapi juga diiringi
dengan puasa sehari sebelumnya, yaitu pada hari Tasu’ah (hari
ke-sembilan dari bulan Muharrom). Hal ini beliau lakukan dalam rangka
“menyelisihi” (membedakan diri) dengan puasanya Ahlul Kitab (Yahudi &
Nasrani).
Hal itu sebagaimana
ditunjukkan dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma yang menyatakan :
حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه قالوا
: يا رسول الله إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم
: فإذا كان العام المقبل – إن شاء الله – صمنا اليوم التاسع. قال : فلم يأت العام
المقبل حتى توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Ketika
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyuro, dan
memerintahkan (para sahabat) agar berpuasa pada hari itu, maka mereka berkata :
“Wahai Rosululloh, sesungguhnya hari tersebut adalah hari yang diagungkan oleh
orang-orang Yahudi dan Nashrani.” Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
pun bersabda : “Kalau begitu, tahun depan insya Alloh kita juga akan
berpuasa pada hari ke-sembilannya.” Perowi hadits ini (yakni Ibnu Abbas)
berkata : “Tetapi belum tiba tahun depan, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam sudah wafat lebih dulu.” (HR Imam Muslim no. 1134)
Dalam hadits lainnya juga
dari Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, dengan lafadz :
لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع
“Sungguh
jika aku masih hidup tahun depan, niscaya aku juga akan berpuasa pada hari
ke-sembilannya.” (HR Imam Muslim no. 1134)
Demikianlah. Hal itu
menunjukkan, kita “disunnahkan” untuk berpuasa dua hari, yakni tanggal 9 dan 10
Muharrom. Hal ini dalam rangka untuk menyelisihi puasanya Ahlul Kitab
(Yahudi dan Nashrani). Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama (mayoritas pada
ulama), diantaranya : Imam Ahmad, As-Syafi’i, dan Ishaq rohimahumulloh.
(lihat : Syarh
Shohih Muslim (8/12-13) karya Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh, Taudhihul
Ahkam Min Bulughil Marom (3/201) karya Syaikh Abdulloh Al-Bassam
rohimahulloh)
Diriwayatkan dari Atho’,
bahwa dia pernah mendengar Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma berkata ketika hari
Asyuro : “Selisihilah orang-orang Yahudi, dan berpuasalah pada hari
ke-sembilan dan ke-sepuluh.”
Adapun Abu Hanifah, beliau
“memakruhkan” bila berpuasa hanya pada hari Asyuro saja. Sedangkan para ulama
lainnya, mengingat begitu pentingnya dan besarnya keutamaan puasa di hari
Asyuro ini, ada yang sengaja tetap berpuasa meskipun sedang “safar” (bepergian
jauh). Diantara mereka adalah Ibnu Abbas, Abu Ishaq As-Sabi’i dan Az-Zuhri rohimahumulloh.
Sampai-sampai Az-Zuhri rohimahulloh berkata : “Kalau bulan Romadhon itu
mempunyai pengganti di hari-hari yang lainnya. Sedangkan hari Asyuro, akan
lewat/berlalu begitu saja (tanpa ada hari pengganti yang lainnya)…” Imam Ahmad
juga berpendapat, boleh melakukan puasa Asyuro ketika safar ……( Latho’iful
Ma’arif, karya Al-Imam Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh)
C. BID’AH-BID’AH
DI HARI ASYURO :
Di hari Asyuro ini, ada dua
kelompok besar yang terjatuh pada bid’ah dan kesesatan. Yang mana, dua kelompok
ini saling bertolak belakang satu dengan yang lainnya. Tetapi intinya sama,
mereka terjatuh pada penyimpangan. Mereka itu adalah :
Kelompok Pertama : AN-NAWASHIB (mereka adalah para pembenci
Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhu dan selainnya dari para shahabat Rosululloh).
Kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang Khowarij. Mereka dalam hal ini menyerupai Yahudi. Mereka menjadikan hari
Asyuro sebagai hari raya dan kebahagiaan, dengan menampakkan syiar-syiar
kebahagiaan dengan berhias diri di hari itu layaknya hari raya, seperti :
menyemir rambut, memakai celak mata, banyak berbelanja, membuat aneka macam
makanan di luar kebiasaannya dan sebagainya yang banyak dilakukan pula oleh
orang-orang jahil. (Al A’yad wa Atsaruha, hal. 273)
Kelompok Kedua : AR-ROFIDHOH atau
SYI’AH. Mereka menjadikan hari Asyuro sebagai hari berkabung,
kesedihan dan niyahah (meratapi mayit), dalam rangka mengenang kematian
Al-Husain bin Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhuma, dengan cara menampakkan
syiar-syiar kesedihan “ala jahiliyah”, seperti : menampar-nampar pipi sendiri,
merobek-robek baju yang dikenakannya, memukul-mukul badan dan punggung dengan
rantai besi sampai berdarah-darah, melantunkan syair-syair kesedihan dan duka
cita, serta membaca cerita-cerita yang banyak kedustaan di dalamnya, serta
diadakan sandiwara-sandiwara tentang mengenang kematian Al-Husain dan
sebagainya.
Tidak cukup dengan itu saja, mereka
juga menjadikan hal-hal itu sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan pahala yang
besar serta sebagai penghapus dosa-dosa dan mendatangkan rahmat, serta
menyangka bahwa inilah yang bisa menjaga Islam! Tujuan semuanya itu adalah
membuka pintu-pintu fitnah dan memecah belah umat, serta upaya menanamkan
aqidah mereka yang rusak di benak-benak kaum muslimin. Ini semua adalah amalan
orang-orang yang telah tersesat di kehidupan dunianya, sedangkan mereka
menyangka telah melakukan suatu kebaikan. (Latho’iful Ma’arif (hal. 54) dan Al A’yad wa
Atsaruha, hal. 263, 265-266)
Alhamdulillah, Ahlus Sunnah wal
Jama’ah beda dengan mereka para Ahli Bid’ah. Sungguh, Alloh Ta’ala telah
memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita dapat berbuat adil dan pertengahan di antara dua
kelompok sesat tersebut (khususnya dalam menyikapi hari Asyuro ini, dan umumnya
dalam banyak perkara-perkara agama).
Di hari Asyuro ini, Ahlussunnah
melakukan hal-hal yang disyariatkan dan diperintahkan oleh Nabi mereka shollallohu ‘alaihi wa sallam berupa ibadah puasa yang
sangat besar keutamaannya, disertai dengan penyelisihan terhadap ahli kitab
dalam pelaksanaannya, dan tidak menyerupai mereka dalam hal ini, serta menjauhi
apa yang telah dibisikkan oleh syaithon berupa bid’ah-bid’ah dan kemaksiatan lainnya. Maka bagi Allohlah segala pujian
dan sanjungan dari hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal sholeh.
Para ulama sunnah telah
menetapkan, bahwa tidak ada amalan-amalan yang disyariatkan oleh Islam pada
hari ‘Asyuro’ tersebut, melainkan ibadah puasa pada hari itu dan hari sebelumnya.
Sedangkan amalan perbuatan selainnya yang telah tersebut sebagiannya di atas,
maka tidaklah ada tuntunan atau dalil yang shohih dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menurut kesepakatan ulama ahli hadits, bahkan kebanyakannya
adalah riwayat-riwayat palsu yang disandarkan kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. (Al
A’yad wa Atsaruha, hal. 274, 277)
D. IBROH (PELAJARAN)
DARI HARI ASYURO
Beberapa ‘ibroh dan pelajaran yang dapat diambil secara umum dari kejadian
di bulan suci Muharrom ini di sepanjang perjalanan sejarah adalah sebagai
berikut:
1. Pentingnya rasa syukur ketika mendapatkan kesenangan, kebahagiaan
serta jalan keluar setelah sebelumnya mengalami kesedihan, kesusahan serta
kebuntuan dalam kehidupan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Maka
Musa berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada Alloh.”
2. Perasaan senang dan gembira dengan pertolongan Alloh ta’ala bagi
kaum mukminin ketika Alloh menyelamatkan Musa ‘alaihis salam dan kaumnya pada hari itu dari kejaran Fir’aun dan bala
tentaranya.
3. Besarnya nilai ibadah puasa dan kedudukannya yang tinggi di sisi
Alloh, sebagaimana dalam sebuah hadits qudsi : “Setiap amalan anak Adam itu untuk
dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya itu adalah untuk-Ku dan Aku akan
membalasinya sendiri dengannya.” (HR. Bukhori dan Muslim dari Abu Huroiroh
rodhiyallohu ‘anhu)
4. Bahwasanya seberapa lama pun orang-orang dholim itu berkuasa, maka
akibat yang baik dan pertolongan itu akan kembali juga kepada kaum mukminin
dengan ijin Alloh ta’ala, akan tetapi terlebih dahulu memang harus melalui
tahap ujian kesabaran dan cobaan.
5. Semangat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan kemanfaatan bagi umatnya dengan mensyariatkan
bagi mereka amalan-amalan yang tidak terlalu berat untuk dikerjakan, akan
tetapi mendapatkan pahala yang besar dan berlipat ganda, yaitu dengan berpuasa
sehari saja dapat menghapuskan dosa-dosa kecil selama setahun penuh dengan ijin
Alloh.
6. Keutamaan dan kenikmatan Alloh ta’ala tidaklah terhitung jumlahnya
lagi. Bagi siapa yang banyak berbuat dosa selama setahun yang telah lewat, maka
janganlah ia terlewatkan dari mengambil kesempatan untuk bisa menghapuskan
dosa-dosanya pada hari itu.
7. Bahwasanya sebaik-baik makhluk adalah para Nabi ‘alaihimus salam yang telah diberikan
hidayah oleh Alloh kepada mereka. Kita diperintahkan untuk meneladani mereka,
sebagaimana firman Alloh: “Mereka para Nabi tersebut
adalah orang-orang yang telah diberi taufiq oleh Alloh ta’ala dalam agamanya
yang haq, maka ikutilah petunjuk mereka -wahai Rosul- dan titilah jalan
mereka.” (Tafsir Muyassar, tafsir surat Al An’am: 90)
8. Tidaklah mereka mendapatkan keutamaan sebesar itu, melainkan
disebabkan oleh kejujuran mereka terhadap Alloh serta kesabaran dalam
menaati-Nya serta menerima takdir-Nya. Siapa yang ingin meneladani mereka,
musti melakukan kesabaran dan kesungguhan karena Alloh ta’ala. (Syahrillah Al Muharrom, hal.
14)
9. Akhirnya, marilah kita menggunakan kesempatan berharga pada
hari-hari ini dan memakmurkannya dengan apa yang diridhoi oleh Alloh ‘azza wa jalla, sehingga kita termasuk hamba
yang dirahmati oleh-Nya subhanahu wa ta’ala. Semoga Alloh ta’ala menolong kita untuk melakukan perbaikan
diri-diri kita dengan ikhlash untuk mendapatkan hidayah-Nya yang sempurna. Sesungguhnya
Alloh tidaklah mengingkari janji-Nya terhadap hamba-hamba yang berbuat
kebaikan.
Akhukum fillah, Abu Abdirrohman
Yoyok WN Sby.