AQIDAH KITA TENTANG MUHARROM (SYURO) (Bagian ke-3)

HIKMAH DI BALIK HARI ASYURO 

Hasil gambar untuk bulan muharram


A.  PENGERTIAN HARI ASYURO :

Yang dimaksud hari Asyuro adalah hari ke sepuluh dari bulan Muharrom (tanggal 10 Muharrom). Dan di hari ini, mempunyai banyak keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh hari-hari yang lainnya.

B.  HIKMAH DI BALIK HARI ASYURO :

Hari Asyuro mempunyai keutamaan atau keistimewaan tersendiri, sampai-sampai para Nabi terdahulu sebelum Nabi kita Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, mereka mengagungkan hari asyuro ini, dengan melakukan puasa sunnah di hari ini. Diantaranya adalah Nabi Nuh dan Nabi Musa ‘alaihimas sholatu was salam.

Agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam pun juga memuliakan dan mengagungkan hari Asyuro ini, juga dalam bentuk melakukan puasa sunnah di hari ini.

Tetapi, terkait amalan ibadah puasa sunnah di hari Asyuro ini, Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam mengalami empat macam kondisi, yakni sebagai berikut :

PERTAMA  : Bahwa beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan puasa Asyuro ketika masih berada di Mekkah, tetapi beliau tidak memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa pada hari tersebut.

Hal itu berdasarkan hadits ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

كان عاشوراء يوما تصومه قريش في الجاهلية وكان النبي صلى الله عليه وسلم يصومه فلما قدم المدينة صامه وأمر بصيامه فلما نزلت فريضة شهر رمضان كان رمضان هو الذي يصومه فترك يوم عاشوراء فمن شاء صامه ومن شاء أفطره

“Dahulu hari ‘Asyuro’ adalah hari yang orang-orang Quroisy jahiliyah biasa berpuasa padanya. Demikian pula Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berpuasa juga pada hari itu. Kemudian ketika beliau tiba di Madinah (yakni ketika telah berhijrah), beliau tetap berpuasa (tiap hari Asyuro) dan memerintahkan manusia untuk berpuasa juga pada hari itu. Setelah turun kewajiban puasa bulan Romadhon, maka beliau berpuasa pada bulan (Romadhon) itu dan meninggalkan puasa ‘Asyuro’. Maka siapa yang tetap ingin berpuasa, maka silahkan berpuasa, dan yang tidak ingin, maka silahkan berbuka.” (HR Imam Al-Bukhori no. 2002 dan Imam Muslim no. 1126. Lihat juga Latho’iful Ma’arif (hal. 48), karya Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh)

KEDUA : Bahwa ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) juga biasa berpuasa pada hari itu untuk mengagungkannya. Maka beliau pun juga tetap berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin juga berpuasa pada hari itu, karena merasa lebih berhak untuk meneladani Nabi Musa ‘alaihis salam daripada Ahli Kitab tersebut.
Hal itu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma, bahwa beliau pernah bercerita :

“Rosululoh shollallohu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyuro. Lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka : “Hari apakah ini yang kalian berpuasa padanya ?” Mereka menjawab : “Ini adalah hari yang agung, dimana Alloh Ta’ala telah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya (dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya), dan hari ditenggelamkannya Fir’aun dan bala tentaranya tersebut (ke dalam lautan). Kemudian Musa berpuasa pada hari itu sebagai bentuk rasa syukur (kepada Alloh), sehingga kamipun berpuasa pada hari itu pula.” Lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pun bersabda : “Kami lebih berhak dan lebih utama (untuk mengikuti) Nabi Musa ‘alaihis salam daripada kalian.” Selanjutnya, beliau berpuasa pada hari itu, dan beliau memerintahkan (pada kaum muslimin) agarberpuasa pada hari itu.” (HR Imam Al-Bukhori no. 2004 dan Imam Muslim no. 1130). 


KETIGA : Ketika Alloh Ta’ala mewajibkan puasa pada bulan Romadhon, maka Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak lagi mewajibkan/menekankan untuk berpuasa pada hari Asyuro. Yang mau berpuasa dipersilahkan, bagi yang tidak berpuasa juga tidak dilarang.

Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abdulloh bin Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhuma, beliau mengatakan :

صام النبي صلى الله عليه وسلم عاشوراء وأمر بصيامه. فلما فرض رمضان ترك ذلك

“Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyuro, dan memerintahkan (para sahabat beliau) agar berpuasa pada hari itu. Tetapi ketika puasa Romadhon telah diwajibkan, maka beliau meninggalkan itu (yakni tidak mewajibkan puasa ‘Asyuro lagi).” (HR Imam Al-Bukhori no. 1892 dan Imam Muslim no. 1125)

Juga disebutkan dalam hadits Mu’awwiyah rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata :

هذا يوم عادشوراء، ولم يكتب الله عليكم صيامه، وأنا صائم، فمن شاء فليصم ومن شاء فليفطر

“Ini adalah hari Asyuro. Alloh tidak mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa pada hari ini. Tetapi aku akan berpuasa (sebagai ibadah sunnah). Barangsiapa yang mau berpuasa, maka silahkan dia berpuasa. Dan barangsiapa tidak mau, maka silahkan dia berbuka (tidak berpuasa).” (HR Imam Al-Bukhori no. 2003 dan Imam Muslim no. 1129)
  
Ya, setelah diwajibkannya puasa Romadhon, maka kedudukan/hukum puasa hari Asyuro adalah mustahab (sunnah). Tetapi fadhilahnya (keutamaannya) sangat besar, yakni dapat menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.

Disebutkan dalam hadits Abu Qotadah rodhiyallohu ‘anhu, bahwa ada seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang puasa hari Asyuro, maka beliau bersabda:

أحتسب على الله أن يكفر الستة التي قبله

“Aku berharap kepada Alloh, agar puasa tersebut dapat menghapus (dosa-dosa) satu tahun sebelumnya (yakni setahun yang lalu).” (HR Imam Muslim 1162).

Maka, mengingat keutamaan yang besar ini, tentunya kita tidak boleh meremehkan puasa ini begitu saja, meskipun hukumnya tidak lagi wajib.

KEEMPAT : Di akhir kehidupan Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau pernah berkeinginan untuk melaksanakan puasa di hari Asyuro tidak secara menyendiri, tetapi juga diiringi dengan puasa sehari sebelumnya, yaitu pada hari Tasu’ah (hari ke-sembilan dari bulan Muharrom). Hal ini beliau lakukan dalam rangka “menyelisihi” (membedakan diri) dengan puasanya Ahlul Kitab (Yahudi & Nasrani).

Hal itu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma yang menyatakan :

حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه قالوا : يا رسول الله إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : فإذا كان العام المقبل – إن شاء الله – صمنا اليوم التاسع. قال : فلم يأت العام المقبل حتى توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Ketika Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyuro, dan memerintahkan (para sahabat) agar berpuasa pada hari itu, maka mereka berkata : “Wahai Rosululloh, sesungguhnya hari tersebut adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani.” Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pun bersabda : “Kalau begitu, tahun depan insya Alloh kita juga akan berpuasa pada hari ke-sembilannya.” Perowi hadits ini (yakni Ibnu Abbas) berkata : “Tetapi belum tiba tahun depan, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sudah wafat lebih dulu.” (HR Imam Muslim no. 1134)  

Dalam hadits lainnya juga dari Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, dengan lafadz :

لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع

“Sungguh jika aku masih hidup tahun depan, niscaya aku juga akan berpuasa pada hari ke-sembilannya.” (HR Imam Muslim no. 1134)

Demikianlah. Hal itu menunjukkan, kita “disunnahkan” untuk berpuasa dua hari, yakni tanggal 9 dan 10 Muharrom. Hal ini dalam rangka untuk menyelisihi puasanya Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani). Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama (mayoritas pada ulama), diantaranya : Imam Ahmad, As-Syafi’i, dan Ishaq rohimahumulloh.

(lihat : Syarh Shohih Muslim (8/12-13) karya Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh, Taudhihul Ahkam Min Bulughil Marom (3/201) karya Syaikh Abdulloh Al-Bassam rohimahulloh)

Diriwayatkan dari Atho’, bahwa dia pernah mendengar Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma berkata ketika hari Asyuro : “Selisihilah orang-orang Yahudi, dan berpuasalah pada hari ke-sembilan dan ke-sepuluh.”

Adapun Abu Hanifah, beliau “memakruhkan” bila berpuasa hanya pada hari Asyuro saja. Sedangkan para ulama lainnya, mengingat begitu pentingnya dan besarnya keutamaan puasa di hari Asyuro ini, ada yang sengaja tetap berpuasa meskipun sedang “safar” (bepergian jauh). Diantara mereka adalah Ibnu Abbas, Abu Ishaq As-Sabi’i dan Az-Zuhri rohimahumulloh. Sampai-sampai Az-Zuhri rohimahulloh berkata : “Kalau bulan Romadhon itu mempunyai pengganti di hari-hari yang lainnya. Sedangkan hari Asyuro, akan lewat/berlalu begitu saja (tanpa ada hari pengganti yang lainnya)…” Imam Ahmad juga berpendapat, boleh melakukan puasa Asyuro ketika safar ……( Latho’iful Ma’arif, karya Al-Imam Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh)

C.      BID’AH-BID’AH DI HARI ASYURO  :

Di hari Asyuro ini, ada dua kelompok besar yang terjatuh pada bid’ah dan kesesatan. Yang mana, dua kelompok ini saling bertolak belakang satu dengan yang lainnya. Tetapi intinya sama, mereka terjatuh pada penyimpangan. Mereka itu adalah :

Kelompok Pertama :  AN-NAWASHIB  (mereka adalah para pembenci Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhu dan selainnya dari para shahabat Rosululloh).

Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Khowarij. Mereka dalam hal ini menyerupai Yahudi. Mereka menjadikan hari Asyuro sebagai hari raya dan kebahagiaan, dengan menampakkan syiar-syiar kebahagiaan dengan berhias diri di hari itu layaknya hari raya, seperti : menyemir rambut, memakai celak mata, banyak berbelanja, membuat aneka macam makanan di luar kebiasaannya dan sebagainya yang banyak dilakukan pula oleh orang-orang jahil. (Al A’yad wa Atsaruha, hal. 273)

Kelompok Kedua :  AR-ROFIDHOH atau SYI’AH. Mereka menjadikan hari Asyuro sebagai hari berkabung, kesedihan dan niyahah (meratapi mayit), dalam rangka mengenang kematian Al-Husain bin Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhuma, dengan cara menampakkan syiar-syiar kesedihan “ala jahiliyah”, seperti : menampar-nampar pipi sendiri, merobek-robek baju yang dikenakannya, memukul-mukul badan dan punggung dengan rantai besi sampai berdarah-darah, melantunkan syair-syair kesedihan dan duka cita, serta membaca cerita-cerita yang banyak kedustaan di dalamnya, serta diadakan sandiwara-sandiwara tentang mengenang kematian Al-Husain dan sebagainya.

Tidak cukup dengan itu saja, mereka juga menjadikan hal-hal itu sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan pahala yang besar serta sebagai penghapus dosa-dosa dan mendatangkan rahmat, serta menyangka bahwa inilah yang bisa menjaga Islam! Tujuan semuanya itu adalah membuka pintu-pintu fitnah dan memecah belah umat, serta upaya menanamkan aqidah mereka yang rusak di benak-benak kaum muslimin. Ini semua adalah amalan orang-orang yang telah tersesat di kehidupan dunianya, sedangkan mereka menyangka telah melakukan suatu kebaikan. (Latho’iful Ma’arif (hal. 54) dan Al A’yad wa Atsaruha, hal. 263, 265-266)

Alhamdulillah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah beda dengan mereka para Ahli Bid’ah. Sungguh, Alloh Ta’ala telah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita dapat berbuat adil dan pertengahan di antara dua kelompok sesat tersebut (khususnya dalam menyikapi hari Asyuro ini, dan umumnya dalam banyak perkara-perkara agama).

Di hari Asyuro ini, Ahlussunnah melakukan hal-hal yang disyariatkan dan diperintahkan oleh Nabi mereka shollallohu ‘alaihi wa sallam berupa ibadah puasa yang sangat besar keutamaannya, disertai dengan penyelisihan terhadap ahli kitab dalam pelaksanaannya, dan tidak menyerupai mereka dalam hal ini, serta menjauhi apa yang telah dibisikkan oleh syaithon berupa bid’ah-bid’ah dan kemaksiatan lainnya. Maka bagi Allohlah segala pujian dan sanjungan dari hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal sholeh.

Para ulama sunnah telah menetapkan, bahwa tidak ada amalan-amalan yang disyariatkan oleh Islam pada hari ‘Asyuro’ tersebut, melainkan ibadah puasa pada hari itu dan hari sebelumnya. Sedangkan amalan perbuatan selainnya yang telah tersebut sebagiannya di atas, maka tidaklah ada tuntunan atau dalil yang shohih dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menurut kesepakatan ulama ahli hadits, bahkan kebanyakannya adalah riwayat-riwayat palsu yang disandarkan kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. (Al A’yad wa Atsaruha, hal. 274, 277)

D.     IBROH (PELAJARAN) DARI HARI ASYURO

Beberapa ‘ibroh dan pelajaran yang dapat diambil secara umum dari kejadian di bulan suci Muharrom ini di sepanjang perjalanan sejarah adalah sebagai berikut:

1.  Pentingnya rasa syukur ketika mendapatkan kesenangan, kebahagiaan serta jalan keluar setelah sebelumnya mengalami kesedihan, kesusahan serta kebuntuan dalam kehidupan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada Alloh.”

2. Perasaan senang dan gembira dengan pertolongan Alloh ta’ala bagi kaum mukminin ketika Alloh menyelamatkan Musa ‘alaihis salam dan kaumnya pada hari itu dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya.

3.  Besarnya nilai ibadah puasa dan kedudukannya yang tinggi di sisi Alloh, sebagaimana dalam sebuah hadits qudsi  : “Setiap amalan anak Adam itu untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya itu adalah untuk-Ku dan Aku akan membalasinya sendiri dengannya.” (HR. Bukhori dan Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu)

4. Bahwasanya seberapa lama pun orang-orang dholim itu berkuasa, maka akibat yang baik dan pertolongan itu akan kembali juga kepada kaum mukminin dengan ijin Alloh ta’ala, akan tetapi terlebih dahulu memang harus melalui tahap ujian kesabaran dan cobaan.

5. Semangat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan kemanfaatan bagi umatnya dengan mensyariatkan bagi mereka amalan-amalan yang tidak terlalu berat untuk dikerjakan, akan tetapi mendapatkan pahala yang besar dan berlipat ganda, yaitu dengan berpuasa sehari saja dapat menghapuskan dosa-dosa kecil selama setahun penuh dengan ijin Alloh.

6. Keutamaan dan kenikmatan Alloh ta’ala tidaklah terhitung jumlahnya lagi. Bagi siapa yang banyak berbuat dosa selama setahun yang telah lewat, maka janganlah ia terlewatkan dari mengambil kesempatan untuk bisa menghapuskan dosa-dosanya pada hari itu.

7. Bahwasanya sebaik-baik makhluk adalah para Nabi ‘alaihimus salam yang telah diberikan hidayah oleh Alloh kepada mereka. Kita diperintahkan untuk meneladani mereka, sebagaimana firman Alloh: “Mereka para Nabi tersebut adalah orang-orang yang telah diberi taufiq oleh Alloh ta’ala dalam agamanya yang haq, maka ikutilah petunjuk mereka -wahai Rosul- dan titilah jalan mereka.” (Tafsir Muyassar, tafsir surat Al An’am: 90)

8. Tidaklah mereka mendapatkan keutamaan sebesar itu, melainkan disebabkan oleh kejujuran mereka terhadap Alloh serta kesabaran dalam menaati-Nya serta menerima takdir-Nya. Siapa yang ingin meneladani mereka, musti melakukan kesabaran dan kesungguhan karena Alloh ta’ala. (Syahrillah Al Muharrom, hal. 14)

9.  Akhirnya, marilah kita menggunakan kesempatan berharga pada hari-hari ini dan memakmurkannya dengan apa yang diridhoi oleh Alloh ‘azza wa jalla, sehingga kita termasuk hamba yang dirahmati oleh-Nya subhanahu wa ta’ala. Semoga Alloh ta’ala menolong kita untuk melakukan perbaikan diri-diri kita dengan ikhlash untuk mendapatkan hidayah-Nya yang sempurna. Sesungguhnya Alloh tidaklah mengingkari janji-Nya terhadap hamba-hamba yang berbuat kebaikan.


Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby.