FIQH PUASA ROMADHON

Adab-Adab Berpuasa (2) : MAKAN SAHUR

Image result for makan kurma
Saudaraku kaum muslimin, ketahuilah. Diantara adab yang juga harus selalu diperhatikan dan dijaga oleh orang yang berpuasa adalah sahur atau makan sahur.
Hal itu karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

تسحروا فإن في السحور بركة

“Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapatbarokah/keberkahan.” (HR Imam Al-Bukhori no. 1923 dan Muslim no. 1095, dari hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu)

Tentang makna barokah yang terdapat dalam makan sahur, dijelaskan oleh Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh : “Sesungguhnya keberkahan di dalam sahur itu bisa dicapai/diraih dari berbagai sisi, (diantaranya) yaitu : (1) mengikuti sunnah (mencontoh sunnah/tuntunan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, edt.), (2) untuk menyelisihi/membedakan diri dengan puasanya ahlul Kitab (Yahudi dan Nashoro, edt.),(3) untuk menguatkan ibadah, (4) untuk menambah semangat, (5) menolak atau menghindari munculnya akhlak yang jelek yang ditimbulkan karena lapar (seperti : keinginan untuk membatalkan puasa, dll), (6) merupakan sebab untuk bersedekah kepada orang yang minta-minta (yakni minta makan karena lapar), atau mengajaknya untuk makan bersama dengannya (sahur bersama), (7) merupakan sebab untuk banyak berdzikir dan berdoa di waktu yang diharapkan terkabulnya doa (karena waktu itu termasuk akhir-akhir malam, yang merupakan salah satu waktu dikabulkannya doa bagi yang mau berdoa, edt.), (8) untuk mendapatkan niat berpuasa, bagi orang yang lupa berniat sebelum dia tidur malam………” (Fathul Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori, 4/164)

Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rohimahulloh juga berkata : “Keberkahan ini, boleh jadi kembali kepada perkara-perkara ukhrowi (akhirat), karena dengan menegakkan/mengamalkan sunnah (tuntunan Rosululloh, khususnya makan sahur ini, edt.) akan diberi pahala dan tambahan (kebaikan yang banyak, edt.). Dan bisa jadi pula kembali kepada urusan-urusan dunia, seperti kuatnya badan untuk melakukan puasa, dan kemudahan lainnya tanpa adanya bahaya bagi orang yang berpuasa…” (Fathul Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori, 4/164)         

Mengingat begitu besarnya keberkahan dalam sahur itu, maka tidak selayaknya kita meninggalkannya. Sebagaimana hal ini juga ditunjukkan hadits sebagai berikut ini. Salah seorang dari sahabat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita : “Aku pernah masuk (menjumpai) Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, saat itu beliau sedang sahur, lalu beliau bersabda :

إنها بركة أعطاكم الله إياها فلا تدعوه
“Sesungguhnya dia (sahur itu) barokah, yang Alloh telah memberikannya untuk kalian, karena itu janganlah kalian meninggalkannya.” (HR Imam An-Nasa’i(4/145), dishohihkan oleh Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh dalam Al-Jami’us Shohih, 2/422)

Bahkan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menjadikan makan sahur itu sebagai pembeda antara puasa kita kaum muslimin dengan puasanya Ahlul Kitab (orang-orang yahudi dan nashoro), sebagaimana dalam sabda beliau :

فصل ما بين صيامنا و صيام أهل الكتاب أكلة السحور

“Pemisah/pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR Imam Muslim no. 1096, dari sahabat ‘Amru bin Al-Ash rodhiyallohu ‘anhu)


LALU, APA HUKUMNYA MAKAN SAHUR ITU ?

Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh mengatakan : “Ibnul Mundzir rohimahulloh dalam Al-Isyrof mengatakan : “Umat Islam ini telah sepakat, bahwa sahur itu hukumnya sunnah, tidak ada dosa bagi orang yang meninggalkannya.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/360).

Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh juga menyatakan : “Kami tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan) di antara para ulama (yakni tentang sunnahnya hal tersebut).” (Al-Mughni, 3/54) Lihat juga Fathul Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori (1922)


KAPAN WAKTUNYA MAKAN SAHUR ITU ?

Waktu makan sahur itu disunnahkan untuk diakhirkan, yakni beberapa saat menjelang datangnya waktu shubuh (terbitnya fajar shodiq di waktu shubuh tersebut). Dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dari Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu, dia bercerita :

 “Kami pernah sahur bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, kemudian kami sholat (yakni sholat Shubuh, edt.)” Saya (Anas bin Malik) bertanya : “Berpakah jarak antara waktu adzan dan sahur ?” Dia (Zaid) menjawab : “Kira-kira lima puluh ayat (yakni kira-kira selama orang membaca lima puluh ayat dari Al-Qur’an, kurang lebih 10-15 menit, wallohu a’lam, edt.).” (HR Imam Al-Bukhori no. 1921 dan Muslim no. 1097)

Sahl bin Sa’ad rodhiyallohu ‘anhu juga bercerita : “Aku pernah sahur di rumah keluargaku, kemudian aku cepat-cepat untuk mendapatkan sholat Shubuh bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.” (HR Imam Al-Bukhori no. 577)

Dari hadits-hadits tersebut di atas, para ulama menyimpulkan dan menyatakan disunnahkannya untuk mengakhirkan makan sahur bagi orang yang hendak berpuasa. (Al-Majmu’ (6/360), Al-Mughni (3/54), Fathul Bari (4/165) )


FIQH PUASA ROMADHON


ADAB-ADAB BERPUASA (1) : NIAT UNTUK BERPUASA ROMADHON

Image result for piring,sendok dan garpu
Salah satu adab yang harus diperhatikan oleh orang yang berpuasa adalah “berniat” untuk melakukan ibadah puasa Romadhon.

Yang dimaksud dengan “niat” disini adalah “bermaksud” atau “berkeinginan” untuk melakukan suatu perbuatan. Atau “menyengaja” untuk melakukan suatu perbuatan. Niat itu tempatnya adalah di hati, bukan di lisan.

Dengan niat, suatu amalan atau perbuatan itu bisa dibedakan, apakah hal itu termasuk suatu ibadah dan ketaatan kepada Alloh, atau hanya sekedar adat/kebiasaan saja. Dengan niat itu juga, bisa dibedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya. Hal itu karena Nabi kita Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

إنما الأعمال بالنيات

“Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) dengan niat-niatnya…” (HR Imam Al-Bukhori no. 1 dan Imam Muslim no. 1907)

Dalam melakukan ibadah puasa juga, tanpa niat, tidak sah puasa yang dilakukan seseorang. Sama saja, apakah itu puasa wajib maupun puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits tersebut di atas. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Bahkan dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh tentang adanya ijma’ (kesepakatan) para ulama tentang hal tersebut (lihat Al-Mughni, 3/7). Tetapi yang benar, dalam masalah ini ada khilaf (perbedaan pendapat) diantara para ulama.   

Tentang niat bagi orang yang akan berpuasa, juga perlu diperhatikan perbedaan antara puasa yang fardhu (wajib) dengan puasa nafilah (sunnah). Rinciannya adalah sebagai berikut :

PERTAMA  : Bila puasanya tersebut puasa fardhu (wajib), maka wajib bagi orang yang berpuasa itu untuk menetapkan niatnya pada malam harinya sebelum dia berpuasa. Bila dia sengaja untuk meninggalkan niatnya, maka batal/tidak sah puasanya. Dalilnya adalah hadits Hafshoh bintu Umar Ummul Mu’minin rodhiyallohu ‘anha, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من لم يبيت الصيام قبل الفجر فلا صيام له

“Barangsiapa yang tidak berniat untuk berpuasa pada malam harinya sebelum terbitnya fajar (waktu shubuh), maka tidak ada puasa baginya.” ( HR Abu Dawud no. 2454, At-Tirmidzi no. 370, An-Nasa’i no. 2331, Ibnu Majah no. 1700 dan yang lainnya)   

Tentang hadits tersebut, guru kami, As-Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh menyatakan : “Yang rojih, hadits ini adalah mauquf (berhenti sanadnya) sampai kepada Hafshoh rodhiyallohu ‘anha (tidak sampai marfu’ kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam). Tetapi ada juga riwayat lainnya yang juga mauquf sampai kepada Ibnu Umar rodhiyallohu ‘alhuma. (lihat Bulughul Marom (no. 638) hal. 207, dengan Tahqiq dan Takhrij hadits oleh Syaikh Muhammad bin Hizam hafidzhohulloh, juga kitab Ithaful Anaam bi Ahkami wa Masailis Shiyam, hal. 36, juga karya beliau)

Para ulama yang juga merojihkan mauquf-nya hadits tersebut diantaranya : Al-Imam Al-Bukhori, Abu Hatim Ar-Rozi, An-Nasa’i, Ad-Daruquthni, Abu Dawud dan At-Tirmidzi rohimahumulloh ajma’in.

Kemudian masih ada dalil lainnya yang menunjukkan wajibnya menetapkan niat sebelum berpuasa fardhu, yakni hadits yang masyhur :

إنما الأعمال بالنيات

“Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) dengan niat-niatnya…” (HR Imam Al-Bukhori no. 1 dan Imam Muslim no. 1907)

Sebenarnya ada pendapat lainnya dari sebagian ulama yang menyatakan tidak wajibnya berniat di malam hari, tetapi pendapat yang rojih (kuat lagi terpilih) adalah pendapat pertama tersebut di atas. Pendapat inilah yang dirojihkan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah, Imam An-Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, As-Shon’ani, dan juga As-Syaukani rohimahumulloh ajma’in. (lihat : Al-Mughni (3/7), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/289-290), Nailul Author (4/196) dan Al-Muhalla no. 728)

MASALAH : “Bagaimana bila seseorang lupa berniat di malam hari ?”

Bila dia lupa melakukannya di malam hari, maka hendaknya dia bersegera untuk berniat ketika dia ingat, dan puasanya tidak mengapa (tidak batal), puasanya tetap sah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :

إن الله وضع عن أمتي الخطأ و النسيان و ما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Alloh meletakkan (pena catatan amal, edt.) dari umatku (karena) kesalahan/kekeliruan (yang tidak disengaja), dan (karena) lupa, serta (karena) dipaksa (untuk melakukan perbuatan yang tidak ingin dilakukannya, edt.).” (HR Ibnu Majah, no. 2045, sanadnya shohih). Wallohu a’lamu bis showab. (lihat : Al-Ilmam bi Ahkam wa Aadaabi As-Shiyaam (hal. 21), karya As-Syaikh Syamir bin Amin Az-Zuhairy)

KEDUA : Bila puasanya tersebut puasa nafilah (sunnah), maka puasa seseorang itu dianggap sah meskipun niatnya dilakukan kapan saja, tidak harus dilakukan di malam hari. Hal itu dengan catatan, sepanjang paginya dia belum makan atau minum apapun. Sehingga, ketika di siang hari dia baru berniat untuk berpuasa, maka yang demikian ini boleh.

Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, beliau menceritakan : “Pada suatu hari, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku, lalu beliau bersabda : “Apakah kamu mempunyai sesuatu (makanan) ?”. Kami menjawab : “Tidak.” Beliau berkata : “Kalau begitu aku akan berpuasa.” Kemudian pada hari yang lainnya beliau juga mendatangi kami, maka kami berkata kepada beliau : “Wahai Rosululloh, kami telah diberi hadiah berupa “hais” (yakni sejenis makanan yang terbuat dari campuran tepung, kurma dan minyak samin, edt.).” Maka beliau bersabda : “Bawalah kemari. Sungguh, tadinya aku telah berpuasa.” Lalu beliaupun makan (makanan tersebut).” (HR Imam Muslim no. 1154).

Maka berdasarkan hadits tersebut, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat tidak wajibnya menetapkan niat di malam hari bagi orang yang akan berpuasa sunnah. Cukup bagi mereka memulai niat untuk berpuasa meskipun di waktu siang hari, selama dia belum makan atau minum apapun.

Ini adalah juga pendapatnya para imam fuqoha’ (ahli fiqh), seperti Imam Ahmad, Imam As-Syafi’i dan Abu Hanifah rohimahumulloh. Diantara para sahabat Nabi yang juga berpendapat seperti ini diantaranya Abu Darda’, Abu Tholhah, Hudzaifah ibnul Yaman, Ibnu Mas’ud, Anas bin Malik, Mu’adz bin Jabal rodhiyallohu ‘anhum ajma’in, dan masih banyak yanag lainnya. (lihat : Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah (3/28, 29 dan 31), Mushonnaf Abdurrozzaq (4/272-273), Ath-Thohawi dalam Syarh Al-Ma’aani Al-Atsar (2/56).

Pendapat itu pula yang dirojihkan oleh Syaikh Al-‘Allamah Al-Albani, Syaikh Al-‘Allamah Ibnu Baaz, dan Syaikh Al-‘Allamah Ibnu Utsaimin rohmatulloh ‘alaihim ajma’in. Wallohu a’lamu bis showab.

FIQH PUASA ROMADHON

DENGAN APAKAH KITA MENENTUKAN AWAL PUASA ROMADHON & BERHARI RAYA ?


Image result for MASJID & BULAN
Saudaraku kaum Muslimin rohimakumulloh.....
Alhamdulillah, sebentar lagi kita akan memasuki bulan Romadhon. Tentunya kita semua tahu, bahwa di bulan yang mulia ini, Alloh Ta’ala mewajibkan pada kita untuk melaksanakan ibadah yang mulia juga, yaitu Puasa Romadhon.

Berikut ini adalah sebagian pembahasan tentang hal-hal yang perlu kita ketahui, khususnya tentang apa dasar utama disyari’atkannya puasa Romadhon tersebut. Atau dengan kata lain, perkara apa yang menentukan bagi kita untuk memasuki ibadah puasa Romadhon tersebut. Semoga pembahasan ringkas ini bermanfaat bagi kami dan anda sekalian, barokallohu fiikum.


MASALAH (1) : “KAPANKAH DIWAJIBKAN BAGI KITA SEMUA UNTUK MELAKSANAKAN PUASA ROMADHON ? APA DASAR PENENTUANNYA ?

Saudaraku, ketahuilah .....

Wajib atas kita melaksanakan ibadah Puasa Romadhon berdasarkan Ru’yatul Hilal (yakni melihat terbitnya hilal/bulan sabit tanggal 1 Romadhon), atau dengan Ikmal (menyempurnakan) hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhu dalam As-Shohihain, bahwa nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غم عليكم فاقدروا له

“Apabila kamu telah melihatnya (yakni hilal Romadhon) maka berpuasalah, dan apabila kamu telah melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah/berharirayalah. Jika tertutup mendung atas kalian, maka kira-kirakanlah.”

Dalam riwayat Imam Muslim dengan lafadz :

ففاقدروا له ثلاثين

“Maka kira-kirakanlah/takdirkanlah 30 hari.” (HR Imam Al-Bukhori no. 1900 dan Imam Muslim no. 1080)

Kemudian seperti hadits itu pula diriwayatkan oleh Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu (HR Imam Al-Bukhori no. 1909 dan Imam Muslim no. 1081), dengan lafadz : “Sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka penentuan masuknya bulan Romadhon dan kewajiban berpuasa di dalamnya adalah dengan dua cara, yakni dengan Ru’yatul Hilal atau dengan cara Ikmal, wallohu a’lam.


MASALAH (2) : “BOLEHKAH MENENTUKAN MASUKNYA BULAN ROMADHON DENGAN BERDASARKAN PADA METHODE ATAU CARA HISAB (MENGHITUNG & MEMPERKIRAKAN TERBITNYA HILAL, BERDASARKAN PEREDARAN BULAN DAN BENDA-BENDA LANGIT LAINNYA), DENGAN MENINGGALKAN METHODE RU’YATUL HILAL YANG TELAH DIAJARKAN OLEH ROSULULOH ?

Jawabannya, ....telah disebutkan pada hadits-hadits yang terdahulu bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mengaitkan perintah untuk berpuasa adalah dengan berdasarkan Ru’yah. Oleh karena itu batallah (tidak sah/tidak benar) menentukan puasa Romadhon dengan menggunakan metode ahli hisab (ahli perhitungan bintang/benda-benda langit).

Tentang perkara ini, telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya adalah sebagai berikut :

AL-IMAM IBNU DAQIQIL ‘IED rohimahulloh  berkata : “Yang aku katakan adalah, sesungguhnya ilmu hisab tidak boleh dijadikan sandaran dalam menetapkan puasa, berdasarkan keterikatan bulan terhadap matahari menurut pandangan ahli-ahli perbintangan. Karena sesungguhnya mereka mendahulukan hisab (perhitungan) bulan daripada ru’yatul hilal, sehari atau dua hari. Ini berarti mereka membuat perkara baru dalam syari’at, yang tidak diijinkan oleh Alloh…” (Syarh Al-Umdah (2/206), karya beliau rohimahulloh)

AL-IMAM IBNU BATTHOL rohimahulloh berkata : “Dalam hadits ini terdapat bantahan/penolakan terhadap pandangan  Ahli Ilmu Nujum (ilmu perbintangan atau ilmu hisab), dan sesungguhnya hanyalah yang mengalihkan (menolak) hal itu adalah ru’yatul hilal, dan sungguh kita dilarang dari takalluf (memberat-beratkan diri, khususnya dengan ilmu perbintangan, edt.).” (Subulus Salam (4/110), karya As-Shon’ani rohimahulloh) 

AL-IMAM IBNU BAZIZAH rohimahulloh berkata : “(Hisab itu) adalah madzhab yang bathil, sungguh syari’at ini telah melarang dari menceburkan diri (masuk) dalam ilmu nujum, karena (hisab) itu hanyalah mengira-ngira/menduga-menduga dan perkiraan-perkiraan saja, tidak ada kepastian padanya.” (Subulus Salam, 4/110)

AL-IMAM ASH-SHON’ANI rohimahulloh setelah menukilkan perkataan para ulama tersebut di atas dalam kitabnya Subulus Salam(4/110), beliau kemudian menegaskan : “Jawaban yang gamblang/jelas atas mereka (orang-orang ahli hisab) adalah sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhori dari Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma, bahwasannya Nabi shollallohu ‘alihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya kita ini adalah ummat yang ummi, kita tidak membaca dan tidak menulis. Bulan itu adalah begini (yakni beliau menampakkan sepuluh jari jemari tangannya semuanya, edt.) , begini (menampakkan sepuluh jari tangannya) dan begini (yang ketiga ini beliau juga menampakkan sepuluh jari tangannya, hanya saja beliau melipatkan jari telunjuknya,yang menunjukkan angka sembilan, sehingga bulan itu jumlahnya 29 hari, edt.) Lalu beliau juga bersabda : “Bulan itu begini, begini dan begini (beliau menampakkan sepuluh jarinya tiga kali, yang menunjukkan angka 30, artinya terkadang bulan itu 30 hari,edt.)”.  (HR Imam Al-Bukhori no. 1913, juga Imam Muslim no. 1080)

AS-SYAIKH AL-‘ALLAMAH SHIDDIQ HASAN KHON rohimahulloh berkata : “Menetapkan hari-hari dan bulan-bulan berdasarkan hisab (perhitungan) terhadap peredaran bulan adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan umat.” (Ar-Roudhotun Nadhiyyah, 1/224)

LAJNAH AD-DAIMAH (lembaga tetap untuk urusan fatwa kerajaan Saudi Arabia, yang saat itu diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rohimahulloh) pernah ditanya tentang permasalahan ini (yakni menentukan puasa atau berhari raya berdasarkan hisab semata), maka mereka menjawab sebagai berikut : “Penetapan bulan-bulan qomariyyah dengan kembali kepada ilmu nujum/ilmu hisab, terutama dalam menentukan awal berbagai peribadatan (seperti berpuasa atau berhari raya) atau keluar darinya dengan tanpa menggunakan ru’yah (yakni ru’yatul hilal), ini termasuk bid’ah yang tidak ada kebaikan di dalamnya dan tidak ada sandarannya dari syari’at agama ini.” (Fatawa Lajnah Ad-Daimah, no. 386) 

Demikianlah pandangan beberapa ulama tentang masalah penggunaan hisab untuk menentukan amalan suatu ibadah, semuanya menegaskan bahwa hal itu adalah bid’ah. Tetapi telah diriwayatkan, bahwa sebagian ulama ada yang berpendapat bolehnya menggunakan hisab untuk menentukan awal atau akhir Romadhon, seperti pendapatnya Muthorrif bin Abdillah rohimahulloh dari kalangan tabi’in, dan juga Ibnu Qutaibah rohimahulloh. Namun tentang masalah ini Al-Imam Ibnu Abdil Barr rohimahulloh mengatakan : “Tidaklah shohih (riwayat tersebut) dari Muthorrif rohimahulloh. Adapun Ibnu Qutaibah, maka dia termasuk orang yang tidak perlu ditoleh/dipedulikan (pendapatnya) seperti dalam permasalahan ini.”(At-Tamhid, 7/156).


(Maroji’ : Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (no. 1911), Subulus Salam Syarh Bulughil Barom (4/110),Majmu’ Al-Fatawa (25/132-133) dan At-Tamhid (7/156), Fathul ‘Allam fii Dirisah Ahaadits Bulughil Marom (2/557-558) dan Ithaaful Anam bi Ahkaami wa Masaaili As-Shiyaam (hal. 16-17), keduanya karya guru kami Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh)

FIQH PUASA ROMADHON


Image result for MASJID
BEBEPAPA MASALAH TENTANG MEMBAYAR HUTANG PUASA ROMADHON

Saudaraku kaum muslimin rohimakumulloh....... 

Romadhon hampir tiba. Tetapi mungkin diantara kita pada Romadhon tahun lalu ada yang mempunyai hutang puasa, dan hutang puasa tersebut belum semuanya dilunasi sampai hari ini. Maka kewajiban kita adalah segera untuk membayar hutang puasa tersebut sebelum datangnya bulan Romadhon tahun ini, dengan cara kita segera berpuasa, sebanyak hari-hari yang kita tidak berpuasa ketika Romadhon tahun lalu, baik itu karena kita sakit, atau karena safar (bepergian jauh) atau karena sebab yang lainnya.

Hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Alloh Ta’ala dalam firman-Nya :

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ ١٨٤ 

“Maka barangsiapa diantara kalian sakit atau sedang safar/bepergian jauh (sehingga tidak mampu berpuasa karenanya, maka boleh baginya tidak berpuasa), tetapi dia (wajib mengganti hutang puasanya itu) sebanyak hari-hari (yang dia tidak berpuasa) pada bulan-bulan yang lainnya (selain Romadhon)....” (QS Al-Baqoroh : 184)

Nah, terkait dengan permasalahan membayar hutang puasa Romadhon inilah, ada beberapa permasalahan fiqih yang penting untuk kita ketahui bersama. Diantaranya adalah sebagai berikut :

Masalah (1) : “Orang yang sengaja meninggalkan puasa Romadhon pada tahun-tahun yang lalu (baik karena malas, mengikuti hawa nafsu atau karena kebodohannya), apakah ada kewajiban bagi dia untuk mengqodho’ puasa Romadhon yang telah ditinggalkannya tersebut ?”

Jawabannya, bahwa dalam masalah ini ada dua pendapat para ulama, diantaranya adalah :

Pertama : Jumhur ulama dan para imam yang empat berpendapat wajib bagi orang tersebut untuk mengqodho’ puasa yang telah ditinggalkannya, karena puasa itu adalah suatu tanggungan (kewajiban), tidak bisa dilepaskan (dari tanggungan tersebut) kecuali dengan cara menunaikannya (membayarnya).

Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata : “Wajib bagi dia meng-qodho’ (membayar hutang puasanya tersebut), dan kami tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan pendapat) dalam masalah tersebut.” (Al-Mughni, 3/22)  

Komentar : Bila yang dimaksud beliau adalah tidak adanya khilaf dalam madzhab beliau (yakni madzhab Hanabilah), maka hal itu benar. Tetapi kenyataannya ada madzhab lain yang menyelisihi pendapat beliau tersebut, insya Alloh akan disebutkan setelah ini.

Kedua : Sebagian sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, diantaranya Abu bakar Ash-Shiddiq (seperti disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, tetapi sanadnya mungqothi’/terputus), Abdulloh bin Mas’ud (seperti disebutkan dalam Mushonnaf Abdurrozzaq (no 7476) dan Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah (3/105), dan sanadnya shohih), Abu Huroiroh (disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (no. 735) dengan sanad yang shohih), dan Ali bin Abi Tholib (dalam Mushonnaf Ibnu Abi Sayiabah (3/106) tetapi sanadnya dho’if), mereka rodhiyallohu anhum semuanya berpendapat tidak perlu untuk mengqodho’.

Pendapat yang kedua ini dirojihkan (dikuatkan) oleh Ibnu Hazm rohimahulloh dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh (dan juga guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh ta’ala).

Alasannya, karena Alloh telah mewajibkan puasa itu pada hari-hari yang telah ditentukan, maka barangsiapa tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Alloh untuk mengerjakannya (dengan sengaja saat itu), maka dia telah menyia-nyiakan/mengabaikan (kewajiban tersebut), dan disana tidak ada dalil (shohih) yang menunjukkan apabila seseorang berpuasa sehari sebagai ganti dari puasa yang ditinggalkannya, maka hal itu berarti telah mencukupi/memenuhinya.

Sebenarnya, ada dalil yang menunjukkan hal tersebut, tetapi tidak shohih, yakni hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu secara marfu’, yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa berbuka (tidak berpuasa) sehari tanpa adanya udzur (di bulan Romadhon), maka tidak bisa dibayar/diganti dengan puasa selama setahun.”

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh berkata : “Dalam hadits ini ada tiga cacat (kelemahan), yaitu : (1) Di dalam sanadnya ada perowi yang bernama Abul Muthowwis, dia ini adalah orang yang majhul (tidak dikenal), (2) Sanadnya Idhthirob (goncang), khususnya pada perowi bernama Habib bin Abi Tsabit, (3) Abul Muthowwis tidak pernah mendengar hadits ini dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu. (Ithaaful Anam, hal. 169)

Adapun pendapat pertama yang mengatakan bahwa : “puasa itu adalah suatu tanggungan (kewajiban), tidak bisa dilepaskan (dari tanggungan tersebut) kecuali dengan cara menunaikannya (membayarnya)”, maka bantahannya adalah sebagai berikut :

“Bahwasannya Alloh telah menentukan hukum/batasan adalah untuk ditunaikan/dilaksanakan. Maka barangsiapa tidak menunaikannya pada waktu ketika diperintahkannya, maka berarti dia telah melalaikannya/menyia-nyiakannya dan telah berbuat maksiat (durhaka terhadap perintah Alloh ta’ala tersebut).Dan tidak ada dalil yang menunjukkan kemungkinan untuk bisa mendapatkan perintah tersebut (yakni berpuasa) setelah keluarnya waktu yang telah ditentukan oleh Alloh ta’ala.Wallohu a’lam.“

(lihat Ithaaful Anam bi Ahkaami wa Masaailis Shiyaam (hal. 169), karya Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh)

Kemudian sebenarnya masih ada pendapat-pendapat para ulama yang lainnya, diantaranya Robi’ah bin Abi Abdirrohman, beliau berpendapat wajib bagi orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja untuk berpuasa 12 hari, lalu Al-Imam Sa’id bin Al-Musayyab rohimahulloh berpendapat wajib berpuasa 30 hari (satu bulan), tetapi kedua pendapat tersebut tidak ada dalilnya sama sekali. Maka pendapat yang shohih (benar) insya Alloh adalah pendapat yang kedua, wallohu a’lam bis showab.

(Maroji’ : Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/329), karya An-Nawawi rohimahulloh, Al-Mughni (3/22) karya Ibnu Qudamah rohimahulloh, Al-Muhalla (no. 735) karya Ibnu Hazm rohimahulloh, dan Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (no. 1935), karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh)

AQIDAH : BULAN SYA'BAN, KEUTAMAANNYA & BID'AH-BID'AH YANG ADA PADANYA

Image result for SENJA TEMARAM 
TENTANG KEUTAMAAN BULAN SYA’BAN


MASALAH (1) : Adakah dalil shohih yang menunjukkan keutamaan bulan Sya’ban, serta anjuran beramal dengan amal-amal tertentu di bulan ini ?

Jawab :

Benar, banyak sekali dalil-dalil yang menjelaskan keutamaan bulan Sya’ban dan beribadah dengan ibadah tertentu di dalamnya, yaitu BERPUASA SUNNAH. Kami akan sebutkan sebagiannya, diantaranya adalah sebagai berikut :

PERTAMA : Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, dia berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak berbuka (yakni karena seringnya dan terus menerusnya berpuasa). Dan beliau berbuka (tidak berpuasa) sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak pernah berpuasa.Aku tidak pernah melihat beliau berpuasa sempurna sebulan penuh kecuali puasa di bulan Romadhon, dan aku tidak pernah melihat beliau banyak melakukan puasa sunnah (kecuali) di bulan Sya’ban.” (HR Imam Al-Bukhori, sebagaimana dalam Fathul Bari (4/213) no. hadits 1969, dan Imam Muslim no. 1156)

Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh mengatakan : “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan berpuasa (sunnah) di bulan Sya’ban.” (Fathul Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori, 4/253)

Al-Imam As-Shon’ani rohimahulloh juga menjelaskan : “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa beliau mengkhususkan memperbanyak puasa (sunnah) di bulan Sya’ban ini, tidak sebagaimana pada bulan-bulan yang lainnya.” (Subulus Salam Syarh Bulughil Marom 2/342)    

Al-Imam Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh juga mengatakan : “Adapun puasa (sunnah) beliau sepanjang satu tahun, beliau banyak puasa (sunnah) di bulan Sya’ban, tidak sebagaimana pada bulan-bulan yang lainnya.” (Latho’iful Ma’arif, hal. 186)

Kemudian guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh juga mengatakan dan menjelaskan : “Di dalam hadits ini terdapat petunjuk disunnahkannya memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya’ban, dan tidaklah shohih hadits-hadits yang menjelaskan tentang hikmah memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya’ban, kecuali hadits ini (saja). Dimungkinkan, hikmah disunnahkannya hal tersebut adalah untuk mengagungkan/memuliakan bulan Romadhon dan berpuasa di dalamnya (yang akan dilakukan pada bulan yang setelahnya), dan menjadikan puasa sunnah (di bulan Sya’ban ini) seperti sholat sunnah rowatib sebelum melaksanakan sholat fardhu.

Boleh jadi juga hikmahnya adalah untuk latihan (melatih diri) dan mempersiapkan diri untuk menghadapi puasa Romadhon, sehingga jangan sampai ketika Romadhon tiba jiwa kita belum siap untuk berpuasa.Sebagian ulama ada yang berkata, hikmahnya adalah karena bulan Sya’ban itu banyak dilupakan oleh manusia, karena letaknya yang berada di antara dua bulan yang agung, yaitu Rojab dan Romadhon. Al-Imam As-Shon’ani rohimahulloh berkata : “Dimungkinkan pula bahwa disunnahkan puasa adalah karena untuk semua hikmah tersebut. Wallohu a’lam.” (Ithaaful Anam, bi Ahkaami wa Masaaili Ash-Shiyaam, hal. 196-197)

Lihat juga penjelasan hikmah-hikmah tersebut di atas, dalam kitab-kitab sebagai berikut : Fathul Bari (hadits no. 1970) karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani, As-Sailul Jaror (4/160-161) karya Imam As-Syaukani, At-Taudhihul Ahkam (3/207) karya As-Syaikh Alu Bassam rohimahulloh, Lathoiful Ma’arif(hal. 258) karya Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh, dan lain-lain.

Jadi, diantara petunjuk Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam di bulan Sya’ban ini adalah dengan memperbanyak puasa sunnah.