AQIDAH : BULAN SYA'BAN, KEUTAMAANNYA & BID'AH-BID'AH YANG ADA PADANYA

Image result for SENJA TEMARAM 
TENTANG KEUTAMAAN BULAN SYA’BAN


MASALAH (1) : Adakah dalil shohih yang menunjukkan keutamaan bulan Sya’ban, serta anjuran beramal dengan amal-amal tertentu di bulan ini ?

Jawab :

Benar, banyak sekali dalil-dalil yang menjelaskan keutamaan bulan Sya’ban dan beribadah dengan ibadah tertentu di dalamnya, yaitu BERPUASA SUNNAH. Kami akan sebutkan sebagiannya, diantaranya adalah sebagai berikut :

PERTAMA : Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, dia berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak berbuka (yakni karena seringnya dan terus menerusnya berpuasa). Dan beliau berbuka (tidak berpuasa) sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak pernah berpuasa.Aku tidak pernah melihat beliau berpuasa sempurna sebulan penuh kecuali puasa di bulan Romadhon, dan aku tidak pernah melihat beliau banyak melakukan puasa sunnah (kecuali) di bulan Sya’ban.” (HR Imam Al-Bukhori, sebagaimana dalam Fathul Bari (4/213) no. hadits 1969, dan Imam Muslim no. 1156)

Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh mengatakan : “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan berpuasa (sunnah) di bulan Sya’ban.” (Fathul Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori, 4/253)

Al-Imam As-Shon’ani rohimahulloh juga menjelaskan : “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa beliau mengkhususkan memperbanyak puasa (sunnah) di bulan Sya’ban ini, tidak sebagaimana pada bulan-bulan yang lainnya.” (Subulus Salam Syarh Bulughil Marom 2/342)    

Al-Imam Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh juga mengatakan : “Adapun puasa (sunnah) beliau sepanjang satu tahun, beliau banyak puasa (sunnah) di bulan Sya’ban, tidak sebagaimana pada bulan-bulan yang lainnya.” (Latho’iful Ma’arif, hal. 186)

Kemudian guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh juga mengatakan dan menjelaskan : “Di dalam hadits ini terdapat petunjuk disunnahkannya memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya’ban, dan tidaklah shohih hadits-hadits yang menjelaskan tentang hikmah memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya’ban, kecuali hadits ini (saja). Dimungkinkan, hikmah disunnahkannya hal tersebut adalah untuk mengagungkan/memuliakan bulan Romadhon dan berpuasa di dalamnya (yang akan dilakukan pada bulan yang setelahnya), dan menjadikan puasa sunnah (di bulan Sya’ban ini) seperti sholat sunnah rowatib sebelum melaksanakan sholat fardhu.

Boleh jadi juga hikmahnya adalah untuk latihan (melatih diri) dan mempersiapkan diri untuk menghadapi puasa Romadhon, sehingga jangan sampai ketika Romadhon tiba jiwa kita belum siap untuk berpuasa.Sebagian ulama ada yang berkata, hikmahnya adalah karena bulan Sya’ban itu banyak dilupakan oleh manusia, karena letaknya yang berada di antara dua bulan yang agung, yaitu Rojab dan Romadhon. Al-Imam As-Shon’ani rohimahulloh berkata : “Dimungkinkan pula bahwa disunnahkan puasa adalah karena untuk semua hikmah tersebut. Wallohu a’lam.” (Ithaaful Anam, bi Ahkaami wa Masaaili Ash-Shiyaam, hal. 196-197)

Lihat juga penjelasan hikmah-hikmah tersebut di atas, dalam kitab-kitab sebagai berikut : Fathul Bari (hadits no. 1970) karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani, As-Sailul Jaror (4/160-161) karya Imam As-Syaukani, At-Taudhihul Ahkam (3/207) karya As-Syaikh Alu Bassam rohimahulloh, Lathoiful Ma’arif(hal. 258) karya Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh, dan lain-lain.

Jadi, diantara petunjuk Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam di bulan Sya’ban ini adalah dengan memperbanyak puasa sunnah.


KEDUA : Dari Usamah bin Zaid rodhiyallohu ‘anhuma ia berkata : “Wahai Rosululloh, aku tidak pernah melihat Anda berpuasa di suatu bulan seperti Anda berpuasa di bulan Sya’ban (karena seringnya berpuasa) ?” Beliau menjawab : “Itulah bulan dimana manusia banyak melalaikannya, yang terletak antara bulan Rojab dan Romadhon, yaitu suatu bulan dimana amal-amal akan diangkat kepada Robbul ‘Alamin (Robb seluruh alam semesta, yakni Alloh ta’ala), dan aku ingin agar amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa.”

(HR Imam Ahmad(5/20), Abu Daud (2/814), At-Tirmidzi (2/124), dan An-Nasa’i, (4/201-201), dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam As-Shohihah, 4/1898)

Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :“Itulah bulan dimana manusia banyak melalaikannya…..dst”, dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh, bahwa menghidupkan waktu-waktu yang telah dilalaikan oleh banyak manusia itu (sebagaimana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menghidupkannya dengan memperbanyak puasa sunnah, edt.) mempunyai beberapa faedah, diantaranya : Pertama, lebih tersembunyi dan jauh dari riya’ (pamer amal). Kedua, lebih berat bagi jiwa, karena tabi’at manusia itu ingin ikut kebanyakan manusia. Ketiga, untuk membela dan melindungi manusia dengan ketaatannya itu dari bencana (yang akan menimpa) (Latho’iful Ma’arif, hal. 258)

Demikianlah, hadits-hadits tersebut di atas menunjukkan keutamaan Bulan Sya’ban, yakni dengan cara memperbanyak ibadah puasa sunnah di dalamnya. Dan telah dijelaskan pula hikmah amalan puasa ini, wallohu a’lamu bis showab.

BID’AHNYA PERAYAAN NISHFU SYA’BAN

MASALAH (2) : Sebagian orang mengagungkan apa yang mereka sebut “Malam Nishfu Sya’ban” (Pertengahan Bulan Sya’ban), dengan melakukan ibadah sholat malam dan amal-amal tertentu lainnya, adakah dalil yang shohih tentang amalan tersebut ?

Jawab :

Sejauh yang kami ketahui, dalil-dalil yang dijadikan sandaran amalan pada Malam Nishfu Sya’ban tidak ada yang shohih dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama tentang kedudukan hadits-hadits yang menerangkan tentang hal tersebut.

Al-Imam Abu Syamah rohimahulloh berkata : “Al-Hafidz Abul Khoththob bin Dihyah berkata dalam kitabnya Maa Jaa-a Fii Syahri Sya’ban : “Ahli Al-Jarh wa At-Ta’dil berkata : “Tidak ada keutamaan pada malam Nishfu Sya’ban yang dijelaskan berdasarkan hadits yang shohih…” (Al-Baa’its, hal.33)

Al-Imam Ibnu Rojab rohimahulloh berkata : “Sholat pada malam Nishfu Sya’ban tidak ada dalilnya, baik dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam maupun para shahabat rodhiyallohu ‘anhum. Akan tetapi itu hanya merupakan tradisi peninggalan sebagian tabi’in dan fuqoha’ penduduk Syam.” (Latho’iful Ma’arif, hal. 145)

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rohimahulloh juga menegaskan : “Yang menjelaskan tentang keutamaan/kemuliaan malam Nishfu Sya’ban hanyalah hadits-hadits dho’if, yang tidak boleh dijadikan sandaran atasnya. Adapun hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan sholat di dalamnya adalah hadits-hadits maudhu’, seperti yang diingatkan oleh mayoritas ahli ilmu/ulama.” (At-Tahdzir minal Bida’, hal. 11) 

Demikianlah. Dan berikut ini akan kami sebutkan sebagian hadits-hadits yang masyhur dan tersebar di masyarakat tentang keutamaan ibadah di malam nishfu sya’ban, tetapi semuanya dho’if (lemah) atau bahkan maudhu’ (palsu).

عن علي بن ابي طالب رضي الله عنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم, اذا كانت ليلة النصف من شعبان, فقوموا ليلها وصوموا نهارها, فان الله ينزل فيها لغروب الشمس الى سماء الدنيا, فيقول الا من مستغفر فاغفر له, الا مسترزق فارزقه, الا مبتلى فاعافيه, الا كذا الا كذا, حتى يطلع الفجر (رواه ابن ماجه)

“Dari Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhu ia berkata, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila tiba malam nishfu sya’ban, maka sholatlah  pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena sesungguhnya Alloh turun ke langit dunia saat tenggelamnya matahari pada hari itu, lalu Dia berfirman : “Adakah yang meminta ampun kepada-Ku.., niscaya Aku akan mengampuninya. Adakah yang meminta rejeki kepada-Ku.., niscaya Aku akan memberinya rejeki. Adakah orang sakit…, niscaya Aku akan menyembuhkannya. Adakah yang demikian….. Adakah yang demikian…”, sampai terbit fajar.”

Penjelasan : Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 1388, dan Al-Baihaqi dalam Fadho’ilul Auqot (hal. 24), didalam sanadnya ada rowi bernama Abu Bakar bin Muhammad bin Abi Sabroh, seorang rowi yang dho’if berdasarkan kesepakatan para ulama. Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh berkata : “Sanadnya dho’if.” (Latho’iful Ma’arif, hal. 1423) Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rohimahulloh menegaskan : “Hadits ini maudhu’ (palsu).” (Silsilah Al-Ahaadits Ad-Dho’ifah wal Maudhu’ah, no. 2123)

قال النبي صلى الله عليه وسلم : يا علي, من صلى ماءة ركعة ليلة النصف من شعبان يقرا في كل ركعة بفاتحة الكتاب وقل هو الله احد عشر مرات, الا قضى الله له كل حاجة

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Ali, barangsiapa sholat seratus roka’at pada malam nishfu sya’ban dengan membaca Surat Al-Fatihah dan Qul Huwallohu Ahad (Surat Al-Ikhlash) sepuluh kali pada setiap roka’atnya, maka Alloh akan memenuhi seluruh kebutuhannya.”

Penjelasan : Hadits ini disebutkan oleh Al-Imam Ibnul Jauzi dalam kitab beliau Al-Maudhu’aat (2/127-129), dan beliau berkata : “Ini adalah hadits yang tidak diragukan lagi sebagai hadits Maudhu’ (palsu).” Ibnul Qoyyim rohimahulloh juga berkata : “Diantara contoh-contoh hadits Maudhu’ (palsu) adalah hadits tentang sholat nishfu sya’ban…..” (Al-Manarul Munif, hal. 98 no. 175). Al-Imam Al-Iroqy rohimahulloh juga berkata : “Hadits tentang sholat nishfu sya’ban adalah bathil.” (Al-I’tibar fii Hamlil Asfar, hal. 29, karya As-Suwaidi)Hadits tersebut juga dinyatakan sebagai hadits yang maudhu’ oleh para ulama lainnya, diantaranya Al-Imam As-Suyuthi, Al-Imam As-Syaukani (Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hal. 51-52) dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rohimahulloh dalam Silsilatu al-Ahaadits Ad-Dho’ifah wal Maudhu’ah, no. 522 dan 1452).

Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang semisalnya, semuanya tidak ada satupun yang shohih, wallohu a’lam.

Oleh karena itu, mengkhususkan malam nishfu sya’ban dengan ibadah-ibadah tertentu yang tidak disyari’atkan dalam agama ini adalah suatu kebid’ahan, apapun bentuk ibadahnya. Apalagi setelah kita tahu bahwa ternyata keutamaan ibadah sholat lail pada malam nishfu sya’ban hanyalah berasal dari hadits-hadits yang maudhu’ (palsu).

BID’AHNYA SHOLAT ALFIYYAH

MASALAH (3) : Apa yang dimaksud dengan Sholat Alfiyah, yang banyak dilakukan oleh orang-orang pada malam nishfu sya’ban tersebut? Dan bagaimana hukum mengamalkannya ?

Jawab :

Sholat ini dinamai dengan sholat alfiyyah (yang artinya seribu), karena di dalam sholat ini dibaca surat Al-Ikhlas sebanyak seribu kali. Rinciannya, sholatnya dilakukan sebanyak seratus roka’at, setiap roka’at dibaca Al-Fatihah, lalu dilanjutkan membaca Surat Al-Ikhlas sepuluh kali, setiap dua roka’at salam.

Demikian itulah yang dinamakan Sholat Alfiyyah, seperti yang tersebut dalam kitab IHYA’ ULUMUDDIN (1/203) karya Al-Ghozali rohimahulloh wa ghoffarohulloh (semoga Alloh merohmati beliau dan mengampuni kesalahan-kesalahan beliau dengan pendapatnya yang salah dan keliru tersebut).

Al-Imam Ibnul Jauzi rohimahulloh juga menyebutkan tentang sifat sholat ini dan pahala yang akan diperoleh apabila seseorang melakukannya, dalam kitab beliau Al-Maudhu’aat (2/127-130), lalu beliau berkata :

“Ini adalah hadits-hadits yang tidak diragukan lagi sebagai hadits maudhu’ (palsu), dan kebanyakan para perowinya melalui tiga jalan yang semuanya majhul (tidak dikenal), ada yang sangat dho’if, sehingga hadits ini mustahil (untuk diamalkan).”

(lihat pula Al-‘Aali Al-Mashnu’ah (2/57-60) karya Al-Imam As-Suyuthi, dan Al-Qowaaid Al-Majmu’ah (hal. 51) karya Imam As-Syaukani rohimahulloh)

Oleh karena itu, hukum mengamalkan sholat alfiyyah pada malam nishfu sya’ban adalah BID’AH, yakni membuat-buat atau mengada-adakan perkara baru dalam agama, yang tidak disyari’atkan oleh Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah dilakukan oleh para Khulafa’ur Rosyidin, dan tidak pernah dianjurkan oleh para imam-imam kaum muslimin yang utama. Apalagi, sandaran amalan ini hanyalah riwayat-riwayat yang dipalsukan atas nama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.

(lihat Majmu’ Al-Fatawa (23/131-134) dan Iqtidho’ As-Shirotil Mustaqim (2/628) keduanya karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh,As-Sunan wal Mudtada’aat (hal. 148-149) karya Syaikh Muhammad Ahmad Abdis Salam,Al-Ibda’ fii Madhohiril Ibtida’ (hal. 286-288) karya Syaikh Ali Mahfudz,At-Tahdzir minal Bida’ (hal.1611) karya Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rohimahulloh, dan lain-lain) Wallohu a’lamu bis showab.


Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN,
www.darul-ilmi-sby.blogspot.co.id