Adab-Adab Berpuasa (2) : MAKAN SAHUR
Saudaraku
kaum muslimin, ketahuilah. Diantara adab yang juga harus selalu diperhatikan
dan dijaga oleh orang yang berpuasa adalah sahur atau makan sahur.
Hal
itu karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
تسحروا
فإن في السحور بركة
“Makan
sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapatbarokah/keberkahan.” (HR Imam
Al-Bukhori no. 1923 dan Muslim no. 1095, dari hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu)
Tentang
makna barokah yang terdapat dalam makan sahur, dijelaskan oleh Al-Imam
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh : “Sesungguhnya
keberkahan di dalam sahur itu bisa dicapai/diraih dari berbagai sisi,
(diantaranya) yaitu : (1) mengikuti sunnah (mencontoh sunnah/tuntunan Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam, edt.), (2) untuk menyelisihi/membedakan diri
dengan puasanya ahlul Kitab (Yahudi dan Nashoro, edt.),(3) untuk menguatkan
ibadah, (4) untuk menambah semangat, (5) menolak atau menghindari munculnya
akhlak yang jelek yang ditimbulkan karena lapar (seperti : keinginan untuk
membatalkan puasa, dll), (6) merupakan sebab untuk bersedekah kepada orang yang
minta-minta (yakni minta makan karena lapar), atau mengajaknya untuk makan
bersama dengannya (sahur bersama), (7) merupakan sebab untuk banyak berdzikir
dan berdoa di waktu yang diharapkan terkabulnya doa (karena waktu itu termasuk
akhir-akhir malam, yang merupakan salah satu waktu dikabulkannya doa bagi yang
mau berdoa, edt.), (8) untuk mendapatkan niat berpuasa, bagi orang yang lupa
berniat sebelum dia tidur malam………” (Fathul Bari, Syarh Shohih
Al-Bukhori,
4/164)
Al-Imam
Ibnu Daqiqil ‘Ied
rohimahulloh juga berkata : “Keberkahan ini, boleh jadi kembali kepada
perkara-perkara ukhrowi (akhirat), karena dengan menegakkan/mengamalkan sunnah (tuntunan Rosululloh, khususnya makan sahur ini, edt.) akan diberi
pahala dan tambahan (kebaikan yang banyak, edt.). Dan bisa jadi pula kembali
kepada urusan-urusan dunia, seperti kuatnya badan untuk melakukan puasa, dan
kemudahan lainnya tanpa adanya bahaya bagi orang yang berpuasa…” (Fathul
Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori, 4/164)
Mengingat
begitu besarnya keberkahan dalam sahur itu, maka tidak selayaknya kita
meninggalkannya. Sebagaimana hal ini juga ditunjukkan hadits sebagai berikut
ini. Salah seorang dari sahabat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah
bercerita : “Aku pernah masuk (menjumpai) Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam,
saat itu beliau sedang sahur, lalu beliau bersabda :
إنها
بركة أعطاكم الله إياها فلا تدعوه
“Sesungguhnya
dia (sahur itu) barokah, yang Alloh telah memberikannya untuk kalian, karena
itu janganlah kalian meninggalkannya.” (HR Imam
An-Nasa’i(4/145), dishohihkan oleh Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi
Al-Wadi’i rohimahulloh dalam Al-Jami’us Shohih, 2/422)
Bahkan
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menjadikan makan sahur itu sebagai pembeda
antara puasa kita kaum muslimin dengan puasanya Ahlul Kitab (orang-orang yahudi
dan nashoro), sebagaimana dalam sabda beliau :
فصل
ما بين صيامنا و صيام أهل الكتاب أكلة السحور
“Pemisah/pembeda
antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR Imam Muslim no. 1096, dari sahabat ‘Amru bin Al-Ash rodhiyallohu ‘anhu)
LALU,
APA HUKUMNYA MAKAN SAHUR ITU ?
Al-Imam
An-Nawawi
rohimahulloh mengatakan : “Ibnul Mundzir rohimahulloh dalam Al-Isyrof mengatakan : “Umat Islam ini telah sepakat, bahwa sahur itu
hukumnya sunnah, tidak ada dosa bagi orang yang meninggalkannya.” (Al-Majmu’
Syarh Al-Muhadzdzab, 6/360).
Al-Imam
Ibnu Qudamah
rohimahulloh juga menyatakan : “Kami tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan) di antara para ulama (yakni tentang sunnahnya hal
tersebut).” (Al-Mughni, 3/54) Lihat juga Fathul
Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori (1922)
KAPAN
WAKTUNYA MAKAN SAHUR ITU ?
Waktu
makan sahur itu disunnahkan untuk diakhirkan, yakni beberapa saat menjelang
datangnya waktu shubuh (terbitnya fajar shodiq di waktu shubuh tersebut). Dalam
hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dari Zaid bin Tsabit rodhiyallohu
‘anhu, dia bercerita :
“Kami
pernah sahur bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, kemudian kami
sholat (yakni sholat Shubuh, edt.)” Saya (Anas bin Malik) bertanya : “Berpakah
jarak antara waktu adzan dan sahur ?” Dia (Zaid) menjawab : “Kira-kira lima
puluh ayat (yakni kira-kira selama orang membaca lima puluh ayat dari
Al-Qur’an, kurang lebih 10-15 menit, wallohu a’lam, edt.).” (HR Imam Al-Bukhori no. 1921 dan Muslim no. 1097)
Sahl
bin Sa’ad rodhiyallohu ‘anhu juga bercerita : “Aku pernah sahur di
rumah keluargaku, kemudian aku cepat-cepat untuk mendapatkan sholat Shubuh
bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.” (HR Imam
Al-Bukhori no. 577)
Dari
hadits-hadits tersebut di atas, para ulama menyimpulkan dan menyatakan
disunnahkannya untuk mengakhirkan makan sahur bagi orang yang hendak berpuasa.
(Al-Majmu’ (6/360), Al-Mughni (3/54), Fathul Bari (4/165) )
DENGAN
APAKAH MAKAN SAHUR ITU ?
Para
ulama, diantaranya Al-Imam Ibnu Qudamah dan Al-Hafidz Ibnu
Hajar Al-Asqolani rohimahumalloh menegaskan : “Sahur itu sudah bisa
terpenuhi dengan sesuatu yang sedikit, baik itu yang dimakan atau diminum oleh
seseorang.” (tidak mesti dengan makan atau minum yang banyak, edt.).
Hal
itu ditunjukkan dalam sebuah hadits Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu
secara marfu’, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
السحور
بركة فلا تدعوه ولو أن يجرع أحدكم جرعة من ماء فإن الله و ملاءكته يصلون على
المتسحرين
“Sahur
itu barokah, karena itu janganlah kamu meninggalkannya (yakni tidak mau makan
sahur), meskipun salah seorang dari kamu (hanya sekedar) minum dengan seteguk
air. Kerena sesungguhnya Alloh dan para Malaikatnya bersholawat (yakni
mendoakan kebaikan, edt.) kepada orang-orang yang makan sahur.” (HR Imam Ahmad dalam Al-Musnad, 3/12)
Tentang
hadits tersebut, guru kami, Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam
hafidzhohulloh mengatakan : “Tetapi di dalam sanad hadits ini ada Rifa’ah Abu
Rifa’ah, dia ini keadaannya Majhul (tidak diketahui/tidak dikenal), juga di dalam hadits ini ada ‘an’anah Yahya bin Abi Katsir. Hadits tersebut juga mempunyai jalan-jalan
yang lain di sisi Imam Ahmad (3/44), tetapi di dalam sanadnya ada Abdurrohman bin Zaid bin
Aslam, dia ini disepakati akan kedho’ifannya.
Akan
tetapi lafadz hadits : “Sahur
itu barokah”, mempunyai banyak penguat dan telah disebutkan sebagiannya di
depan. Adapun lafadz : “meskipun salah seorang dari kamu (hanya
sekedar) minum dengan seteguk air”, juga mempunyai penguat (yakni)
hadits Abdullah bin ‘Amru bin Al-Ash rodhiyallohu ‘anhuma di sisi Ibnu
Hibban (no. 3476), tetapi dalam sanadnya ada ‘Imron
Al-Qoththon, yang rojih dia ini didho’ifkan. Adapun bagian akhir hadits
tersebut : (“Kerena sesungguhnya Alloh dan para Malaikatnya
bersholawat (yakni mendoakan kebaikan, edt.) kepada orang-orang yang makan
sahur”), tidak aku temukan penguat yang bagus untuk
menguatkan hadits tersebut. Sehingga (kesimpulannya), hadits ini HASAN
tanpa bagian akhirnya.” (Ithaaful Anam bi Ahkami wa
Masaailis Shiyaam, hal. 50-51)
Jadi,
kalau seseorang hanya mampu sekedar minum seteguk air untuk sahur (baik karena
tidak ada makanan atau karena waktu yang sempit atau karena sebab-sebab yang
lainnya), maka hal itu sudah mencukupi. Tetapi bila seseorang mampu untuk makan
sahur (dengan makanan apapun), maka hal itu lebih baik. Sebagaimana kata Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh : “Dan yang jelas, bahwa bila
(seseorang) mampu untuk makan, maka hal itu (lebih sesuai) dengansunnah.”
(Kitabus Shiyaam, 1/520-521) (Lihat juga
masalah ini dalam : Al-Mughni (3/55), Fathul Bari (no. 1922)
BENARKAH
BAHWA DOANYA ORANG YANG BERPUASA ITU MAQBUL ?
Tentang
hal ini, ada sebuah hadits yang menjelaskan seperti itu, yakni doanya orang
yang berpuasa itu maqbul (akan dikabulkan oleh Alloh Ta’ala), khususnya bila
dilakukan doa itu ketika sedang berbuka puasa.
Hadits
yang dimaksud adalah hadits Abdulloh bin ‘Amru bin Al-Ash rodhiyallohu ‘anhuma,
bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إن
للصائم عند فطره دعوة لا ترد
“Sesungguhnya
orang yang berpuasa itu mempunyai doa yang tidak ditolak ketika sedang berbuka
puasa.”(HR Imam Ibnu Majah no. 1753)
Hadits
ini tidak tsabit/kokoh atau kuat, karena di dalam sanadnya ada Ishaq bin
‘Ubaidillah bin Abil Muhajir, dia ini rowi yang MAJHUL, dan hadits ini mempunyai jalan-jalan sanad yang lainnya di sisi Ath-Thoyalisi (no. 2262), tetapi di dalam sanadnya ada Abu Muhammad
Al-Maliki.
As-Syaikh
Al-Albani
rohimahulloh berkata tentangnya : “Aku tidak mengenalnya. Mungkin saja dia itu
Abdurrahman bin Abi Bakr bin ‘Ubaidillah bin Abi Mulaikah Al-Madani. Bila itu
adalah dia, maka dia itu DHO’IF, sebagaimana dalam At-Taqrib, bahkan An-Nasa’i berkata : “Dia bukanlah rowi yang tsiqoh (kuat atau terpercaya).” Dalam lafadz lainnya dia berkata : “Dia MATRUKUL
HADITS(ditinggalkan haditsnya).”
Kesimpulannya,
hadits tersebut didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam IRWA’UL GHOLIL (no. 921), dan juga didho’ifkan oleh Syaikh Muqbil Al-Wadi’i
rohimahulloh dalam ta’liq beliau atas kitab Tafsir Ibnu
Katsir, terhadap firman Alloh Ta’ala di surat Al-Baqoroh ayat 186.
Namun
ada hadits lain yang lebih shohih, yang menjelaskan tentang salah satu doa yang
akan dikabulkan oleh Alloh Ta’ala adalah doanya orang yang sedang berpuasa,
sampai dia berbuka.
Hadits
tersebut adalah hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam bersabda :
“Ada
tiga (golongan manusia) yang doa mereka tidak akan ditolak : (1) Imam yang
adil, (2) orang yang berpuasa sampai dia berbuka, (3) dan doanya
orang yang teraniaya/terdholimi. Alloh akan mengangkatnya (doanya tersebut,
edt.) di atas awan pada hari kiamat. Dan akan dibukakan untuknya pintu langit,
kemudian Alloh akan berfirman : “Demi keagungan-Ku, sungguh Aku benar-benar
akan menolongmu, meskipun setelah beberapa waktu.” (HR Ibnu
Majah, dishohihkan oleh Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rohimahulloh dalam Al-Jami’us
Shohih, 2/506)
Hadits
tersebut menunjukkan, bahwa doanya orang yang sedang berpuasa itu akan
dikabulkan oleh Alloh Ta’ala, hingga waktu ketika dia berbuka. Karena itu,
semangatlah kita untuk selalu berdoa kepada Alloh di saat kita berpuasa sampai
ketika kita berbuka.
MASALAH
: “BILA
SESEORANG SEDANG MAKAN SAHUR, LALU TERDENGAR SUARA ADZAN SHUBUH, ORANG YANG
BELUM SELESAI MAKAN SAHUR ITU BOLEH MENERUSKAN MAKAN SAHURNYA, ATAUKAH DIA
WAJIB MENGHENTIKANNYA ?”
Masalah
seperti ini pernah ditanyakan kepada guru kami yang mulia, Asy-Syaikh
Al-‘Allamah Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh
Ta’ala, maka beliau menjawab sebagai berikut :
“Alloh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan
makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS Al-Baqoroh : 187).
Dan
di dalam As-Shohihain, dari hadits Adi bin Hatim rodhiyallohu ‘anhu dia berkata :
“Ketika
turun ayat : “Dan
makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”, maka aku mengambil dua buah
benang (satu berwarna hitam dan satunya lagi berwarna putih, edt.), dan
aku meletakkan keduanya di bawah kepalaku (ketika tidur malam, edt.). Kemudian
aku melihat kepada keduanya hingga pagi hari, kemudian aku ceritakan hal itu
kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengabarkan
kepadaku (tentang pengertian yang benar dari ayat tersebut, edt.), lalu beliau
bersabda :“Sesungguhnya
bantalmu itu (wahai ‘Adi), benar-benar lebar…. ” (HR Imam Al-Bukhori no. 1916 dan Muslim no. 1090)
(Dari
sini), kemudian jelaslah bagi Adi bin Hatim rodhiyallohu ‘anhu bahwa yang
dimaksud dengan benang putih dan benang hitam adalah putihnya siang dan kegelapan
malam. Benang putih adalah siang dan benang hitam adalah malam.
Di
dalam As-Shohihain dari hadits Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhu datang dengan
(lafadz) seperti itu, kemudian juga hadits Abdullah bin Abi Aufa rodhiyallohu
‘anhuma, keduanya dalam As-Shohihain, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila
malam telah muncul dari arah sini – yakni dari arah timur, dan siang menghilang
dari arah sini – yakni beliau mengisyaratkan arah barat, sungguh telah berbuka
(yakni waktunya berbuka, edt.) bagi orang yang berpuasa.”
Telah
datang pula hadits dalam As-Shohihain, dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau bersabda : “Makan dan minumlah kamu sampai (terdengar)
Ibnu Ummi Maktum adzan, karena sesungguhnya tidaklah dia adzan (kecuali) sampai
dikatakan kepadanya : “Telah datang shubuh, telah datang shubuh..” (HR Imam Al-Bukhori no. 617 dan 622, dan Muslim no. 1092)(yakni, Ibnu Ummi Maktum adzan apabila telah benar-benar
masuk waktu shubuh, yakni dengan tampaknya fajar shodiq, edt.)
Beliau
shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : “Janganlah adzannya
Bilal menghalangi kalian dari sahur kalian…” (HR Imam
Al-Bukhori no. 621 danMuslim no. 1093) (yakni karena Bilal adzan ketika masih malam/adzan
pertama sebelum masuk waktu shubuh, untuk membangunkan orang-orang yang masih
tidur agar sholat lail atau segera makan sahur bagi yang akan berpuasa, edt.)
Maka
berdasarkan hadits-hadits tersebut, apabila seorang mu’adzin adzan pada
waktunya , atau seseorang telah benar-benar melihat terbitnya fajar shodiq
(sebagai tanda telah masuk waktu shubuh), maka wajib bagi dia untuk “imsak”(menahan diri dari makan dan minumnya) secara langsung, meskipun
bejana (yang berisi makanan atau minuman) masih ada di tangannya. Dia harus
meninggalkan makanan dan minumannya tersebut, meskipun masih ada satu suap
(makanan) di tangannya, dia harus meninggalkan (makanan atau minuman tersebut)
dan tidak boleh memasukkan ke mulutnya, dan (dengan begitu) puasanya tetap sah.
Selanjutnya
dalam masalah ini ada sebuah hadits :
إذا
سمع أحدكم النداء والإناء على يده فليأخذ منه حاجته
“Apabila
salah seorang dari kalian mendengar adzan, sedangkan bejana (yang berisi
makanan atau minuman) berada di tangannya, maka (tetap) ambillah/selesaikan
hajatnya.” (maksudnya, tetap teruskan saja makan atau minumnya tersebut
hingga selesai, edt.)
Hadits
ini dinyatakan cacat oleh Al-Imam Ibnu Abi Hatim rohimahulloh, dari bapaknya
(sebagaimana disebutkan dalam kitab ‘Ilalul Hadits, karya beliau) sebagai hadits yang mauquf pada Abu Huroiroh saja. Hadits ini tidak tsabit dari Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam. Karena itu tidak layak/pantas dipertentangkan
dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan atas wajibnya
bagi orang yang berpuasa untuk berhenti dari makan dan minum serta apa saja
yang bisa membatalkan puasa, apabila fajar telah terbit (telah tiba waktu
shubuh).” Wallohu a’lamu bis showab.
(lihat
kitab Ithaful
Kirom bi Ajwibati Ahkami Az-Zakati Wal Hajji Was Shiyam (hal. 343-344), karya guru kami, As-Syaikh Al-‘Allamah Yahya bin
Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh)
Guru
kami yang lainnya, yakni As-Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam
hafidzhohulloh juga menyatakan : “Apabila seorang mu’adzin tidaklah adzan
kecuali apabila dia benar-benar yakin telah terbit fajar (yakni masuk waktu
shubuh), maka wajib (bagi orang yang akan berpuasa) untuk imsak (menahan diri dari makan dan minum dan semua perkara yang
membatalkan puasa, edt.), karena sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Makan
dan minumlah kamu sampai Ibnu Ummi Maktum adzan….” (HR Imam Al-Bukhori no. 617 dan 622, dan Muslim no. 1092).
Bila
seorang mu’adzin adzan tetapi dia tidak yakin atau belum yakin terbitnya fajar
(yakni ragu-ragu telah masuk waktu shubuh atau belum), maka boleh bagi dia
(atau orang yang masih sahur lainnya, edt.) untuk makan sampai selesai, selama
belum yakin (telah masuk waktu shubuh yang sebenarnya). Karena hukum asalnya
adalah tetap masih malam, sedangkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan
makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS Al-Baqoroh : 187).
Tetapi,
yang lebih utama dan untuk lebih berhati-hati adalah hendaknya imsak (menahan diri dari makan dan minum dll), dalam rangka untuk Ihthiyath
(berhati-hati dan menjaga) agama ini. Karena Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Tinggalkan apa yang meragukanmu
kepada apa yang tidak meragukanmu…” (HR Imam
At-Tirmidzi no. 2518, An-Nasa’i (8/327), dan Imam Ahmad (1/200), dari hadits Al-Hasan bin Ali rodhiyallohu ‘anhuma,
sanadnya shohih)
Ini
adalah pendapat jumhur ulama terdahulu, dan dengan pendapat ini pula para ulama
masa kini berfatwa, seperti Samahatus Syaikh Ibnu Baaz, Asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin, dan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I rohimahumulloh. Kemudian aku
juga melihat Syaikhul Islam berfatwa seperti itu juga. (lihat : Fatawa Romadhon (1/201-203), Majmu’ Al-Fatawa (25/216), karya Syaikhul Islam rohimahulloh)
(Lihat
: Ithaful
Anam bi Ahkami wa Masailis Shiyaam (hal. 53-54), karya guru kami
tersebut di atas).
Semoga
pembahasan yang ringkas ini bermanfaat bagi kami, dan juga untuk seluruh kaum
muslimin di mana saja, walhamdu lillahi robbil ‘aalamiin.
Akhukum
fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN