FIQH PUASA ROMADHON


ADAB-ADAB BERPUASA (1) : NIAT UNTUK BERPUASA ROMADHON

Image result for piring,sendok dan garpu
Salah satu adab yang harus diperhatikan oleh orang yang berpuasa adalah “berniat” untuk melakukan ibadah puasa Romadhon.

Yang dimaksud dengan “niat” disini adalah “bermaksud” atau “berkeinginan” untuk melakukan suatu perbuatan. Atau “menyengaja” untuk melakukan suatu perbuatan. Niat itu tempatnya adalah di hati, bukan di lisan.

Dengan niat, suatu amalan atau perbuatan itu bisa dibedakan, apakah hal itu termasuk suatu ibadah dan ketaatan kepada Alloh, atau hanya sekedar adat/kebiasaan saja. Dengan niat itu juga, bisa dibedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya. Hal itu karena Nabi kita Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

إنما الأعمال بالنيات

“Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) dengan niat-niatnya…” (HR Imam Al-Bukhori no. 1 dan Imam Muslim no. 1907)

Dalam melakukan ibadah puasa juga, tanpa niat, tidak sah puasa yang dilakukan seseorang. Sama saja, apakah itu puasa wajib maupun puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits tersebut di atas. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Bahkan dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh tentang adanya ijma’ (kesepakatan) para ulama tentang hal tersebut (lihat Al-Mughni, 3/7). Tetapi yang benar, dalam masalah ini ada khilaf (perbedaan pendapat) diantara para ulama.   

Tentang niat bagi orang yang akan berpuasa, juga perlu diperhatikan perbedaan antara puasa yang fardhu (wajib) dengan puasa nafilah (sunnah). Rinciannya adalah sebagai berikut :

PERTAMA  : Bila puasanya tersebut puasa fardhu (wajib), maka wajib bagi orang yang berpuasa itu untuk menetapkan niatnya pada malam harinya sebelum dia berpuasa. Bila dia sengaja untuk meninggalkan niatnya, maka batal/tidak sah puasanya. Dalilnya adalah hadits Hafshoh bintu Umar Ummul Mu’minin rodhiyallohu ‘anha, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من لم يبيت الصيام قبل الفجر فلا صيام له

“Barangsiapa yang tidak berniat untuk berpuasa pada malam harinya sebelum terbitnya fajar (waktu shubuh), maka tidak ada puasa baginya.” ( HR Abu Dawud no. 2454, At-Tirmidzi no. 370, An-Nasa’i no. 2331, Ibnu Majah no. 1700 dan yang lainnya)   

Tentang hadits tersebut, guru kami, As-Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh menyatakan : “Yang rojih, hadits ini adalah mauquf (berhenti sanadnya) sampai kepada Hafshoh rodhiyallohu ‘anha (tidak sampai marfu’ kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam). Tetapi ada juga riwayat lainnya yang juga mauquf sampai kepada Ibnu Umar rodhiyallohu ‘alhuma. (lihat Bulughul Marom (no. 638) hal. 207, dengan Tahqiq dan Takhrij hadits oleh Syaikh Muhammad bin Hizam hafidzhohulloh, juga kitab Ithaful Anaam bi Ahkami wa Masailis Shiyam, hal. 36, juga karya beliau)

Para ulama yang juga merojihkan mauquf-nya hadits tersebut diantaranya : Al-Imam Al-Bukhori, Abu Hatim Ar-Rozi, An-Nasa’i, Ad-Daruquthni, Abu Dawud dan At-Tirmidzi rohimahumulloh ajma’in.

Kemudian masih ada dalil lainnya yang menunjukkan wajibnya menetapkan niat sebelum berpuasa fardhu, yakni hadits yang masyhur :

إنما الأعمال بالنيات

“Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) dengan niat-niatnya…” (HR Imam Al-Bukhori no. 1 dan Imam Muslim no. 1907)

Sebenarnya ada pendapat lainnya dari sebagian ulama yang menyatakan tidak wajibnya berniat di malam hari, tetapi pendapat yang rojih (kuat lagi terpilih) adalah pendapat pertama tersebut di atas. Pendapat inilah yang dirojihkan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah, Imam An-Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, As-Shon’ani, dan juga As-Syaukani rohimahumulloh ajma’in. (lihat : Al-Mughni (3/7), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/289-290), Nailul Author (4/196) dan Al-Muhalla no. 728)

MASALAH : “Bagaimana bila seseorang lupa berniat di malam hari ?”

Bila dia lupa melakukannya di malam hari, maka hendaknya dia bersegera untuk berniat ketika dia ingat, dan puasanya tidak mengapa (tidak batal), puasanya tetap sah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :

إن الله وضع عن أمتي الخطأ و النسيان و ما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Alloh meletakkan (pena catatan amal, edt.) dari umatku (karena) kesalahan/kekeliruan (yang tidak disengaja), dan (karena) lupa, serta (karena) dipaksa (untuk melakukan perbuatan yang tidak ingin dilakukannya, edt.).” (HR Ibnu Majah, no. 2045, sanadnya shohih). Wallohu a’lamu bis showab. (lihat : Al-Ilmam bi Ahkam wa Aadaabi As-Shiyaam (hal. 21), karya As-Syaikh Syamir bin Amin Az-Zuhairy)

KEDUA : Bila puasanya tersebut puasa nafilah (sunnah), maka puasa seseorang itu dianggap sah meskipun niatnya dilakukan kapan saja, tidak harus dilakukan di malam hari. Hal itu dengan catatan, sepanjang paginya dia belum makan atau minum apapun. Sehingga, ketika di siang hari dia baru berniat untuk berpuasa, maka yang demikian ini boleh.

Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, beliau menceritakan : “Pada suatu hari, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku, lalu beliau bersabda : “Apakah kamu mempunyai sesuatu (makanan) ?”. Kami menjawab : “Tidak.” Beliau berkata : “Kalau begitu aku akan berpuasa.” Kemudian pada hari yang lainnya beliau juga mendatangi kami, maka kami berkata kepada beliau : “Wahai Rosululloh, kami telah diberi hadiah berupa “hais” (yakni sejenis makanan yang terbuat dari campuran tepung, kurma dan minyak samin, edt.).” Maka beliau bersabda : “Bawalah kemari. Sungguh, tadinya aku telah berpuasa.” Lalu beliaupun makan (makanan tersebut).” (HR Imam Muslim no. 1154).

Maka berdasarkan hadits tersebut, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat tidak wajibnya menetapkan niat di malam hari bagi orang yang akan berpuasa sunnah. Cukup bagi mereka memulai niat untuk berpuasa meskipun di waktu siang hari, selama dia belum makan atau minum apapun.

Ini adalah juga pendapatnya para imam fuqoha’ (ahli fiqh), seperti Imam Ahmad, Imam As-Syafi’i dan Abu Hanifah rohimahumulloh. Diantara para sahabat Nabi yang juga berpendapat seperti ini diantaranya Abu Darda’, Abu Tholhah, Hudzaifah ibnul Yaman, Ibnu Mas’ud, Anas bin Malik, Mu’adz bin Jabal rodhiyallohu ‘anhum ajma’in, dan masih banyak yanag lainnya. (lihat : Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah (3/28, 29 dan 31), Mushonnaf Abdurrozzaq (4/272-273), Ath-Thohawi dalam Syarh Al-Ma’aani Al-Atsar (2/56).

Pendapat itu pula yang dirojihkan oleh Syaikh Al-‘Allamah Al-Albani, Syaikh Al-‘Allamah Ibnu Baaz, dan Syaikh Al-‘Allamah Ibnu Utsaimin rohmatulloh ‘alaihim ajma’in. Wallohu a’lamu bis showab.


MASALAH  : “Apakah niat itu wajib dilakukan setiap hari, ataukah cukup dilakukan sekali saja di awal Romadhon ?”

Telah disebujtkan pada pembahasan di atas, hadits Hafshoh bintu Umar Ummul Mu’minin rodhiyallohu ‘anha, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من لم يبيت الصيام قبل الفجر فلا صيام له

“Barangsiapa yang tidak berniat untuk berpuasa pada malam harinya sebelum terbitnya fajar (waktu shubuh), maka tidak ada puasa baginya.” ( HR Abu Dawud no. 2454, At-Tirmidzi no. 370, An-Nasa’i no. 2331, Ibnu Majah no. 1700 dan yang lainnya)   

Maka berdasarkan hadits ini, jumhur ulama berpendapat : wajibnya berniat setiap hari bagi orang yang akan berpuasa, khususnya pada malam hari, hingga sebelum terbit fajar shodiq di waktu shubuh. Ini juga pendapatnya Imam As-Syafi’i, Abu Hanifah dan satu pendapat dari Ishaq rohimahulloh.

Mereka mengatakan, sebabnya adalah bahwa setiap hari itu adalah ibadah yang tersendiri (terpisah-pisah), sehingga seandainya puasa hari ahad rusak/batal – misalnya, maka hal itu tidak menyebabkan batalnya/rusaknya puasa pada hari senin atau hari yang lainnya.

Para ulama yang lainnya berpendapat : bahwa bulan romadhon dan seluruh rangkaian ibadah yang ada di dalamnya yang saling berkaitan dan terus berkelanjutan, cukup dengan berniat sekali saja meskipun hanya di awal Romadhon saja, selama hal itu tidak terputus karena udzur tertentu, sehingga membutuhkan untuk memperbarui niatnya tersebut. Ini adalah pendapat Imam Malik, dan satu pendapat dari Imam Ahmad sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Aqil, juga satu pendapat dari Ishaq, dan ini juga pendapat yang dirojihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh.

Lalu mana pendapat yang rojih ?

Tentang hal ini, guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh berkata : “Pendapat (yang terakhir) inilah pendapat yang rojih. Dan pendapat ini pula yang juga dirojihkan oleh Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah keumuman sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya amal-amal itu hanyalah (tergantung) dengan niat-niatnya.” Disamping itu juga, puasa Romadhon itu adalah satu jenis ibadah (satu kesatuan ibadah), sehingga cukup dengan satu kali niat saja.” Wallohu a’lam bis showab. (Ithaful Anam bi Ahkami wa Masailis Shiyam, hal. 40-41)

(lihat permasalahan di atas pada kitab rujukan sebagai berikut : Al-Mughni (3/9), Al-Majmu’ (6/302), Kitabus Shiyaam (1/198-199) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, As-Syarhul Mumti’ (6/369), dan Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom (3/151) dan lain-lain)
    

Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby