Saudaraku kaum muslimin rohimakumulloh.......
Romadhon hampir tiba. Tetapi mungkin
diantara kita pada Romadhon tahun lalu ada yang mempunyai hutang puasa, dan
hutang puasa tersebut belum semuanya dilunasi sampai hari ini. Maka kewajiban
kita adalah segera untuk membayar hutang puasa tersebut sebelum datangnya bulan
Romadhon tahun ini, dengan cara kita segera berpuasa, sebanyak hari-hari yang
kita tidak berpuasa ketika Romadhon tahun lalu, baik itu karena kita sakit,
atau karena safar (bepergian jauh) atau karena sebab yang lainnya.
Hal ini sebagaimana yang
diperintahkan oleh Alloh Ta’ala dalam firman-Nya :
فَمَن
كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ ١٨٤
“Maka barangsiapa diantara kalian
sakit atau sedang safar/bepergian jauh (sehingga tidak mampu berpuasa
karenanya, maka boleh baginya tidak berpuasa), tetapi dia (wajib mengganti
hutang puasanya itu) sebanyak hari-hari (yang dia tidak berpuasa) pada
bulan-bulan yang lainnya (selain Romadhon)....” (QS Al-Baqoroh : 184)
Nah, terkait dengan permasalahan
membayar hutang puasa Romadhon inilah, ada beberapa permasalahan fiqih yang
penting untuk kita ketahui bersama. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Masalah (1) : “Orang yang
sengaja meninggalkan puasa Romadhon pada tahun-tahun yang lalu (baik karena
malas, mengikuti hawa nafsu atau karena kebodohannya), apakah ada kewajiban
bagi dia untuk mengqodho’ puasa Romadhon yang telah ditinggalkannya tersebut ?”
Jawabannya, bahwa dalam masalah ini
ada dua pendapat para ulama, diantaranya adalah :
Pertama : Jumhur ulama dan para
imam yang empat berpendapat wajib bagi orang tersebut untuk
mengqodho’ puasa yang telah ditinggalkannya, karena puasa itu adalah suatu
tanggungan (kewajiban), tidak bisa dilepaskan (dari tanggungan tersebut)
kecuali dengan cara menunaikannya (membayarnya).
Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh
berkata : “Wajib bagi dia meng-qodho’ (membayar hutang puasanya tersebut), dan kami
tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan pendapat) dalam masalah
tersebut.” (Al-Mughni, 3/22)
Komentar : Bila yang dimaksud beliau
adalah tidak adanya khilaf dalam madzhab beliau (yakni madzhab Hanabilah), maka
hal itu benar. Tetapi kenyataannya ada madzhab lain yang menyelisihi pendapat
beliau tersebut, insya Alloh akan disebutkan setelah ini.
Kedua : Sebagian sahabat
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, diantaranya Abu bakar Ash-Shiddiq
(seperti disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, tetapi
sanadnya mungqothi’/terputus), Abdulloh bin Mas’ud (seperti disebutkan dalam Mushonnaf
Abdurrozzaq (no 7476) dan Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah
(3/105), dan sanadnya shohih), Abu Huroiroh (disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla
(no. 735) dengan sanad yang shohih), dan Ali bin Abi Tholib (dalam Mushonnaf
Ibnu Abi Sayiabah (3/106) tetapi sanadnya dho’if), mereka rodhiyallohu
anhum semuanya berpendapat tidak perlu untuk mengqodho’.
Pendapat yang kedua ini dirojihkan
(dikuatkan) oleh Ibnu Hazm rohimahulloh dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
rohimahulloh (dan juga guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam
hafidzhohulloh ta’ala).
Alasannya, karena Alloh telah mewajibkan
puasa itu pada hari-hari yang telah ditentukan, maka barangsiapa tidak
melakukan apa yang diperintahkan oleh Alloh untuk mengerjakannya (dengan
sengaja saat itu), maka dia telah menyia-nyiakan/mengabaikan (kewajiban
tersebut), dan disana tidak ada dalil (shohih) yang menunjukkan apabila
seseorang berpuasa sehari sebagai ganti dari puasa yang ditinggalkannya, maka
hal itu berarti telah mencukupi/memenuhinya.
Sebenarnya, ada dalil yang
menunjukkan hal tersebut, tetapi tidak shohih, yakni hadits Abu Huroiroh
rodhiyallohu ‘anhu secara marfu’, yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan,
bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa berbuka (tidak
berpuasa) sehari tanpa adanya udzur (di bulan Romadhon), maka tidak bisa
dibayar/diganti dengan puasa selama setahun.”
Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali
bin Hizam hafidzhohulloh berkata : “Dalam hadits ini ada tiga cacat
(kelemahan), yaitu : (1) Di dalam sanadnya ada perowi yang bernama Abul
Muthowwis, dia ini adalah orang yang majhul (tidak dikenal), (2) Sanadnya Idhthirob
(goncang), khususnya pada perowi bernama Habib bin Abi Tsabit, (3) Abul
Muthowwis tidak pernah mendengar hadits ini dari Abu Huroiroh rodhiyallohu
‘anhu. (Ithaaful Anam, hal. 169)
Adapun pendapat pertama yang mengatakan
bahwa : “puasa itu adalah suatu tanggungan (kewajiban), tidak bisa dilepaskan
(dari tanggungan tersebut) kecuali dengan cara menunaikannya (membayarnya)”,
maka bantahannya adalah sebagai berikut :
“Bahwasannya Alloh telah menentukan
hukum/batasan adalah untuk ditunaikan/dilaksanakan. Maka barangsiapa tidak
menunaikannya pada waktu ketika diperintahkannya, maka berarti dia telah
melalaikannya/menyia-nyiakannya dan telah berbuat maksiat (durhaka terhadap
perintah Alloh ta’ala tersebut).Dan tidak ada dalil yang menunjukkan
kemungkinan untuk bisa mendapatkan perintah tersebut (yakni berpuasa) setelah
keluarnya waktu yang telah ditentukan oleh Alloh ta’ala.Wallohu a’lam.“
(lihat Ithaaful Anam bi Ahkaami
wa Masaailis Shiyaam (hal. 169), karya Syaikh Muhammad bin Ali bin
Hizam hafidzhohulloh)
Kemudian sebenarnya masih ada
pendapat-pendapat para ulama yang lainnya, diantaranya Robi’ah bin Abi
Abdirrohman, beliau berpendapat wajib bagi orang yang meninggalkan puasa dengan
sengaja untuk berpuasa 12 hari, lalu Al-Imam Sa’id bin Al-Musayyab rohimahulloh
berpendapat wajib berpuasa 30 hari (satu bulan), tetapi kedua pendapat tersebut
tidak ada dalilnya sama sekali. Maka pendapat yang shohih (benar) insya Alloh adalah
pendapat yang kedua, wallohu a’lam bis showab.
(Maroji’ : Al-Majmu’
Syarh Al-Muhadzdzab (6/329), karya An-Nawawi rohimahulloh, Al-Mughni
(3/22) karya Ibnu Qudamah rohimahulloh, Al-Muhalla (no. 735)
karya Ibnu Hazm rohimahulloh, dan Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (no.
1935), karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh)
MASALAH (2) : “Seseorang mengakhirkan (menunda-nunda)
qodho’ puasa Romadhon tanpa adanya udzur, hingga datang Romadhon berikutnya dan
dia masih mempunyai hutang puasa Romadhon tahun yang sebelumnya. Apa kewajiban
yang harus dia lakukan ?”
Jawabannya, ketahuilah wahai saudaraku,
...... bahwa dalam permasalahan ini, ada tiga pendapat para ulama yang masyhur,
diantaranya adalah sebagai berikut :
PERTAMA : Kewajibannya adalah dia melakukan puasa
yang sekarang, setelah itu dia tetap wajib mengqodho’ (mengganti/membayar
hutang puasa) tahun yang lalu, ditambah lagi memberikan makan kepada seorang
fakir miskin setiap harinya sebanyak hutang puasanya (yakni membayar fidyah).
Ini adalah pendapat Jumhur Fuqoha’, diantara
mereka adalah para shahabat Rosululloh, yaitu Abu Huroiroh, Ibnu Abbas dan Umar
bin Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhum (lihat Al-Baihaqi (4/253)
dan Ad-Daruquthni (2/197), sanad-sanadnya shohih, juga Al-Muhalla
(no. 767), tetapi sanadnya terputus).
Al-Imam Ath-Thohawi menukilkan dari Yahya bin
Al-Aktsam rohimahulloh, ia berkata : “Saya mendapati dari enam orang shahabat
Rosululloh, dan aku tidak mengetahui adanya khilaf/perselisihan tentang masalah
ini diantara mereka.” (disebutkan oleh Al-Jashshosh dalam Ahkamul Qur’an,
1/292)
KEDUA : Kewajibannya tetap mengqodho’ saja, tetapi
tanpa membayar fidyah. Ini adalah pendapatnya Al-Hasan Al-Bashri, An-Nakho’i,
dan Ashhabur Ro’yi (Abu Hanifah dan para sahabatnya). Mereka berdalil dengan
firman Alloh ta’ala : (فعدة من ايام اخر) “Maka hendaknya dia
mengganti (hutang puasanya tersebut) di hari-hari yang lainnya.” (QS
Al-Baqoroh : 184). Pendapat ini dirojihkan oleh Al-Imam Al-Bukhori
rohimahulloh, lalu beliau berkata : “(Di dalam ayat tersebut) Alloh tidak
menyebutkan (perintah) untuk memberi makan (bagi orang yang punya tanggungan
hutang puasa), hanya saja Dia berfirman : “Maka hendaknya dia mengganti
(hutang puasanya tersebut) di hari-hari yang lainnya.”
KETIGA : Kewajibannya hanya memberi makan (kepada
seorang miskin setiap harinya) tanpa adanya qodho’ (yakni fidyah saja tanpa
qodho’).Ini adalah pendapatnya Sa’id bin Jubair dan Qotadah rohimahumalloh.
Tetapi pendapat ini menyelisi dhohirnya Al-Qur’an, sehingga pendapat ini adalah
pendapat yang lemah.
Dari ketiga pendapat tersebut di atas, yang
insya Alloh rojih (kuat dan terpilih) adalah pendapat yang kedua. Guru
kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzohulloh ta’ala menegaskan : “Yang
rojih adalah pendapat kedua, dan ini adalah yang ditarjih (dirojihkan)
oleh Ibnu Hazm, As-Syaukani, Al-Wadi’i (yakni Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I
rohimahulloh) dan Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahumulloh ajma’in.” (Ithaaful
Anam bi Ahkaami wa Masaailis Shiyaam, hal. 173)
Pendapat yang kedua itu pula yang juga
dirojihkan oleh guru kami, Syaikh Al-‘Allamah Yahya bin Ali Al-Hajuri
hafidzhohulloh.
Beliau hafidzhohulloh pernah ditanya :
“Seseorang mempunyai hutang puasa, dan dia tidak mampu menunaikan hutang
puasanya tersebut sampai dia menjumpai Romadhon yang kedua (yakni Romadhon
berikutnya), maka apa yang harus dia lakukan ?”
Beliau hafidzhohulloh menjawab : “Bila dia
menjumpai Romadhon yang kedua, maka hendaknya dia berpuasa pada Romadhon yang
kedua tersebut, setelah Romadhon itu usai, maka segera mungkin dia mengqodho’
(hutang puasanya yang lalu), berdasarkan hadits : ( “بادروا بالاعمال”) “bersegeralah kalian untuk beramal”, dan juga karena
Firman Alloh ta’ala : (فاستبقوا الخيرات) “Maka
berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan”, dan juga firman Alloh ta’ala : (وسارعوا
الى مغفرة من ربكم وجنة) “Dan bersegeralah
kalian menuju kepada ampunan dari Robb kalian dan (kepada ) surga..”.
Wajib atas dia untuk mengqodho’ (hutang
puasanya tersebut), dikarenakan firman Alloh ta’ala :
(فمن كان منكم
مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر)
“Maka barangsiapa diantara kalian ada yang
sakit atau dalam keadaan safar (kemudian tidak mampu puasa karena hal-hal
tersebut), maka hendaknya dia mengganti (puasanya tersebut) pada hari-hari yang
lainnya (selain bulan Romadhon).”
Adapun membayar kaffaroh/denda (karena
dianggap menunda-nunda kewajiban bersegera membayar hutang puasa, yang
dibayarkan dalam bentuk fidyah, edt.), yang hal ini masyhur di sisi jumhur
ulama, maka yang shohih adalah tidak ada kewajiban kaffaroh / membayar fidyah
baginya.
Dari Ibrohim An-Nakho’i
rohimahulloh, beliau berkata : “Tidak ada kaffaroh atas orang tersebut.” Al-Bukhori
rohimahulloh berkata : “Alloh hanya memerintahkan orang tersebut untuk
mengqodho’.”
Pendapat An-Nakho’i dan Al-Bukhori tersebut
di atas yang menyatakan tidak ada kaffaroh (denda dengan membayar fifyah)
adalah juga pendapatnya Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarh
Al-Muhadzdzab dan juga pendapatnya sekelompok ahlul ilmi, sebagaimana
disebutkan dalam As-Sailul Jaror oleh Al-Imam As-Syaukani, dan ini
juga yang difatwakan oleh Syaikh Muqbil rohimahulloh, yakni tidak ada kewajiban
baginya untuk membayar kaffaroh (yakni fidyah), berdasarkan dhohir Al-Qur’an.
Adapun perkataan/pendapat Ath-Thohawi
rohimahulloh, maka aku telah meneliti hal itu dan aku telah melihatnya dari
enam orang shahabat dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi hal itu,
sebagaimana disebutkan dalam Syarh Al-Bukhori oleh Al-Imam Ibnu Bathol. Maka ibroh
(yang dianggap/dijadikan pegangan) adalah dalil, dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan apa saja yang
beliau diam (tidak menjelaskannya) maka hal itu perkara yang dimaafkan, dan
sungguh (perkara ini) telah terjadi khilaf (perselisihan di kalangan ulama)
hingga tidak ada ijma’ (kesepakatan) dalam masalah ini, dan tidak ada dalil
yang melazimkan/mengharuskan untuk membayar kaffaroh (denda dengan membayar
fidyah).”
(Ithaaful Kirom bi Ajwibati Ahkaami
Az-Zakah wal Hajj was Shiyaam (hal. 385-386), karya Syaikh Al-‘Allamah
Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh)
Wallohu a’lamu bis showab........
(Maroji’ : Syarhus Sunnah
(3/506-507) karya Al-Baghowi rohimahulloh, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab
(6/364) karya An-Nawawi rohimahulloh, Al-Mughni (3/40) karya Ibnu
Qudamah rohimahulloh, Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (no.
1950), karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh, Tafsir
Al-Qurthubi (2/283) karya Imam Al-Qurthubi rohimahulloh, Al-Muhalla
(no. 767) karya Ibnu Hazm rohimahulloh)
MASALAH (3) : “Apabila seseorang menunda-nunda
mengqodho’ puasa Romadhon tetapi karena udzur (ada sebab syar’i yang
menghalangi dia untuk menunaikan hutang puasanya dengan segera, seperti karena
sakit atau safar dll), hingga masuk pada Romadhon berikutnya dalam keadaan
masih punya hutang puasa tahun yang lalu, kewajiban apa yang dibebankan
kepadanya ?”
Jawabannya, dalam masalah
ini pun ada dua pendapat para ulama :
PERTAMA :
Wajib bagi dia untuk mengqodho’ saja, tanpa perlu memberi makan kepada fakir
miskin (tanpa fidyah). Ibnul Mundzir rohimahulloh meriwayatkan pendapat ini
dari Thowus, Al-Hasan Al-Bashri, An-Nakho’i, Hammad bin Abi Sulaiman,
Al-Auza’i, Imam Malik, Imam Ahmad, Ishaq, dan ini juga pendapatnya Imam
As-Syafi’i, Abu Hanifah, Daud Ad-Dhohiri dan Al-Muzani rohimahumulloh ajma’in.
KEDUA : Orang tersebut hendaknya berpuasa pada
Romadhon yang hadir saat itu, lalu hutang puasa tahun yang lalu itu dianggap
bebas/lunas (karena dia telah berusaha dan berkeinginan untuk membayar hutang
puasanya tetapi terhalang oleh udzur syar’i, edt.), dan tidak ada kewajiban
mengqodho’ lagi baginya. Disebutkan oleh Ibnul Mundzir rohimahulloh, bahwa ini
adalah pendapatnya Ibnu Abbas, Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma, Sa’id bin
Jubair, dan Qotadah rohimahumalloh.
Dan yang insya Alloh rojih (kuat dan
terpilih) dari kedua pendapat di atas adalah pendapat yang pertama, yaitu tetap
wajib qodho’ bagi orang tersebut di atas, karena firman Alloh subhanahu wa
ta’ala :
(فعدة من ايام
اخر )
“Maka hendaknya dia mengganti (hutang
puasanya itu) di hari-hari yang lainnya.”
Dan perintah dalam ayat tersebut di atas
sifatnya umum, baik bagi orang yang belum sempat membayar hutang puasanya
karena sengaja/lalai atau karena adanya udzur tertentu, wallohu a’lam bis
showab.
(Maroji’ :Al-Majmu’ Syarh
Al-Muhadzdzab (6/366), karya Imam An-Nawawi rohimahulloh dll)
MASALAH (4) : “Seseorang meninggal dunia dalam keadaan
masih mempunyai hutang puasa Romadhon. Apakah boleh bagi keluarganya
membayarkan hutang puasanya tersebut, dengan cara keluarganya itu mempuasakan
si mayyit (berpuasa dengan niat untuk membayar hutang puasanya orang yang telah
meninggal) ?”
Dalam masalah inipun ada beberapa pendapat
para ulama sebagai berikut :
PERTAMA : Tidak perlu membayarkan hutang puasanya si
mayyit dengan cara mempuasakan untuknya, tetapi cukup dengan membayar fidyah
(memberi makan satu orang miskin setiap harinya sebanyak hari-hari yang dia
tidak berpuasa), tentunya jika dia/si mayyittelah memberikan wasiat akan hal
tersebut. Ini adalah pendapatnya Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam As-Syafi’i
dalam pendapatnya yang terbaru/terakhir.
Mereka berdalil dengan firman Alloh ta’ala :
(وان
ليس للانسان الا ما سعى)
“Dan bahwa manusia itu hanya memperoleh apa
yang diusahakannya.” (QS An-Najm
: 39).
Juga
berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :
(اذا مات ابن ادم
انقطع عمله الا من ثلاث ......)
“Apabila anak Adam (yakni manusia) mati, maka
terputuslah amalannya, kecuali tiga golongan…..” (HR Imam Muslim no. 1631, dari
Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu secara marfu’)
KEDUA : Tidak perlu mempuasakan untuknya
(membayarkan hutang puasanya), kecuali bila hutang puasanya itu adalah Puasa
Nadzar saja. Ini adalah pendapatnya Imam Ahmad bin Hambal, Al-Laits, Ishaq, Abu
Ubaid, dan lain-lain.
Mereka berdalil dengan hadits ‘Aisyah rodhiyallohu
‘anha yang disepakati shohihnya oleh Imam Al-Bukhori dan Imam Muslim dalam
shohih keduanya, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :(من
مات وعليه صوم صام عنه وليه) “Barangsiapa mati
dan dia mempunyai hutang puasa, maka hendaknya walinya mempuasakan untuknya.”
(HR Al-Bukhori no. 1952 dan Muslim no. 1147)
Mereka mengatakan : “Hadits ‘Aisyah ini
sifatnya masih umum (untuk semua jenis puasa), tetapi kemudian dikhususkan
pengertiannya dengan hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma dalam As-Shohihain
juga :
“Bahwa seorang wanita bertanya (kepada Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam) : “Wahai Rosululloh, sesungguhnya ibuku telah
meninggal dan dia mempunyai hutang puasa nadzar, apakah aku harus mempuasakan
untuknya ?” Beliau bersabda : “Apa pendapatmu apabila ibumu mempunyai hutang,
apakah kamu yang akan membayarkan untuknya ?” Wanita itu menjawab : “Benar.”
Rosululloh bersabda lagi : “Maka hutang terhadap Alloh, lebih berhak untuk
ditunaikan/dibayarkan.” (HR Al-Bukhori
no. 1953 dan Muslim no. 1148)
Berdasarkan dalil di atas, mereka mengatakan
: “Hutang puasa yang boleh dibayarkan oleh walinya/keluarganya si mayit itu
hanyalah hutang puasa nadzar saja (khusus puasa nadzar),
sedangkan hutang puasa Romadhon cukup dengan memberi makan satu orang miskin
(setiap harinya sebanyak hari-hari yang ditinggalkannya, yakni membayar
fidyah).”
KETIGA : Hendaknya wali si mayyit mempuasakan untuk
si mayyit, apapun jenis hutang puasa si mayyit tersebut, sama saja apakah itu
puasa Romadhon, puasa Nadzar, puasa Qodho’ atau puasa Kaffaroh. (yakni semua
jenis puasa yang wajib). Ini adalah pendapat para ulama Ahlul Hadits, Abu
Tsaur, Al-Auza’i, para ulama yang lainnya.
Mereka berdalil dengan keumuman hadits Aisyah
rodhiyallohu ‘anha, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
(من مات وعليه
صوم صام عنه وليه )
“Barangsiapa mati dan dia mempunyai hutang
puasa, maka hendaknya walinya mempuasakan untuknya.”(HR Al-Bukhori no. 1952 dan Muslim
no. 1147)
Guru kami, As-Syaikh Muhammad bin Ali bin
Hizam hafidzhohulloh berkata : “Pendapat inilah (yang ketiga) yang benar, ini
adalah pendapat yang dirojihkan oleh Al-Baihaqi, Ibnu Hazm, kemudian Al-Hafidz
Ibnu Hajar Al-Asqolani, As-Shon’ani, dan juga dirojihkan oleh Syaikh Muqbil bin
Hadi Al-Wadi’i dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahumulloh
ajma’in…… “ (Ittihaaful Anam, hal. 175).
Pendapat ini pula yang juga dirojihkan oleh
guru kami yang mulia, Syaikh Al-‘Allamah Yahya bin Ali Al-Hajuri
hafidzhohulloh, sebagaimana disebutkan oleh beliau dalam kitab Ittihaaful
Kirom bi Ajwibati Ahkaami Az-Zakah wal Hajj was Shiyaam (hal. 389, pada
jawaban atas pertanyaan no. 69)
Adapun pendapat golongan yang pertama
(pendapatnya Imam Malik, Abu Hanifah dan As-Syafi’i rohimahumulloh), yang
berdalil dengan firman Alloh ta’ala :
(وان ليس للانسان
الا ما سعى)
“Dan bahwa manusia itu hanya memperoleh apa
yang diusahakannya.” (QS An-Najm
: 39).
Maka hal ini dijawab oleh Al-Imam Ibnu
Hazm rohimahulloh sebagai berikut : “Adapun firman Alloh ta’ala (QS.
An-Najm ayat 39), ini adalah haq/benar, hanya saja (yang juga perlu
diingat,edt.) bahwa yang telah menurunkan ayat tersebut (yakni Alloh subhanahu
wa ta’ala) Dia-lah juga yang menurunkan firman-Nya kepada Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam :
( لتبين للناس ما
نزل إليهم )
“Agar kamu (wahai Muhammad shollallohu
‘alaihi wa sallam) menjelaskan apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS An-Nahl : 45).
Dia pula yang telah berfirman :
(من يطع الرسول
فقد أطاع الله)
“Barangsiapa mentaati Rosul sungguh dia telah
mentaati Alloh.” (QS.
An-Nisa’ : 80).
Maka memang benar bahwa seseorang itu
hanyalah memperoleh (balasan) apa yang diusahakannya. Sedangkan apa yang telah
ditetapkan oleh Alloh ta’ala atau yang telah ditentukan oleh Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam (sebagaimana dalam hadits Aisyah rodhiyallohu
‘anha, yakni perintah untuk mempuasakan orang yang punya hutang puasa, edt.),
hal itu menunjukkan bolehnya seseorang mengusahakan (amalannya) untuk orang
yang selainnya, termasuk dalam masalah puasa ini.” (Selesai perkataan Ibnu Hazm
rohimahulloh.)
Adapun dalil golongan pertama dengan hadits :
(اذا مات ابن ادم
انقطع عمله الا من ثلاث ......)
“Apabila anak Adam (yakni manusia) mati, maka
terputuslah amalannya, kecuali tiga golongan…..” (HR Imam Muslim no. 1631, dari
Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu secara marfu’).
Maka hadits ini hanya menunjukkan bahwa yang
terputus amalannya adalah si mayit itu saja, adapun amalan orang lain (yang
mempuasakan untuk dirinya) tidaklah terputus secara asalnya…
Adapun pendalilan golongan kedua (yang
menunjukkan bahwa hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha itu umum, lalu dikhususkan
dengan hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, sehingga hutang puasa mayit yang
boleh dibayarkan oleh orang lain dari walinya hanyalah puasa nadzar saja,
edt.).
Maka hal ini dijawab oleh Al-Hafidz
Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh sebagai berikut : “Kedua hadits
tersebut sebenarnya tidak saling bertentangan sehingga perlu untuk dijama’
(dikompromikan). Hadits Ibnu Abbas itu (sebenarnya) adalah suatu
bentuk/gambaran (puasa) tersendiri (yakni keharusan membayar hutang puasa
nadzar), sedangkan hadits ‘Aisyah adalah penetapan qo’idah/ketentuan umum
(yakni perintah membayarkan hutang puasa secara umum bagi mayit), dan juga
terdapat isyarat pada hadits Ibnu Abbas seperti keumuman tersebut (yang ada
pada hadits Aisyah), yakni dari sisi perkataan pada akhir hadits tersebut :“Maka
hutang terhadap Alloh, lebih berhak untuk ditunaikan/dibayarkan.” (selesai penukilan dari ucapan Al-Hafidz Ibnu
Hajar rohimahulloh).
Jadi kesimpulannya adalah bahwa pendapat yang
rojih (kuat dan terpilih) dari ketiga pendapat tersebut di atas adalah pendapat
yang ketiga, wallohu a’lamu bis showab.
(Maroji’ : Fathul Bari Syarh
Shohih Al-Bukhori (no. 1952), Al-Muhalla (no. 775), Subulus
Salam (2/336) karya As-Shon’ani rohimahulloh, As-Syarhul Mumti’
(6/456) karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh)
Perhatian !
Perbedaan pendapat dalam masalah tersebut di
atas, hal itu khususnya dalam hal apabila mayit tersebut semasa hidupnya memungkinkan
untuk mengqodho’ hutang puasanya, kemudian dia didahului kematian sebelum
menunaikan qodho’nya.Adapun bagi orang yang punya hutang puasa, kemudian tidak
memungkinkan baginya untuk mengqodho’nya semasa hidupnya (karena suatu
udzur tertentu) sampai dia mati, sungguh telah dinukilkan tidak hanya dari satu
orang saja dari kalangan para ulama yang mengatakan secara ijma’ (adanya
kesepakatan), bahwa orang tersebut tidak perlu dipuasakan (dibayarkan puasa
untuknya). Adapun tentang memberikan makanan kepada seorang miskin setiap
harinya (yakni membayar fidyah), maka menurut Jumhur Fuqoha’, Malik, Syafi’i,
dan Abu Hanifah, hal itu tidak ada apa-apanya (yakni tidak perlu dianggap)
Al-Abdari rohimahulloh berkata : “Ini adalah
pendapatnya seluruh ulama, kecuali Thowus dan Qotadah, keduanya berpendapat :
wajib untuk memberikan makan setiap harinya kepada orang miskin (yakni membayar
fidyah), karena keadaan orang tersebut adalah lemah, sehingga (dihukumi)
seperti orang yang telah lanjut usia.”
Namun yang shohih adalah pendapat yang
sebelumnya (yakni tidak perlu dipuasakan dan tidak ada keharusan membayarkan
fidyah baginya), karena sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :
“Apabila aku memerintahkan kalian dengan
sesuatu perintah, maka laksanakanlah perintah itu sesuai kemampuan kalian…” (HR Al-Bukhori no. 7288 dan Muslim
no. 1337 dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu).
Dan juga berdasarkan firman Alloh ta’ala :
(فاتقوا
الله ماستطعتم)
“Maka bertakwalah kamu kepada Alloh sesuai
kemampuan kalian.” (QS
At-Taghobun : 16).
Wallohu a’lamu bis showab. Semoga bermanfaat
bagi semuanya.
(Maroji’ : Al-Majmu’ Syarh
Al-Muhadzdzab (6/372) karya An-Nawawi rohimahulloh, dan Syarhus
Sunnah (3/511) karya Al-Baghowi rohimahulloh)
(Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN)