FIQH PUASA ROMADHON


Image result for MASJID
BEBEPAPA MASALAH TENTANG MEMBAYAR HUTANG PUASA ROMADHON

Saudaraku kaum muslimin rohimakumulloh....... 

Romadhon hampir tiba. Tetapi mungkin diantara kita pada Romadhon tahun lalu ada yang mempunyai hutang puasa, dan hutang puasa tersebut belum semuanya dilunasi sampai hari ini. Maka kewajiban kita adalah segera untuk membayar hutang puasa tersebut sebelum datangnya bulan Romadhon tahun ini, dengan cara kita segera berpuasa, sebanyak hari-hari yang kita tidak berpuasa ketika Romadhon tahun lalu, baik itu karena kita sakit, atau karena safar (bepergian jauh) atau karena sebab yang lainnya.

Hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Alloh Ta’ala dalam firman-Nya :

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ ١٨٤ 

“Maka barangsiapa diantara kalian sakit atau sedang safar/bepergian jauh (sehingga tidak mampu berpuasa karenanya, maka boleh baginya tidak berpuasa), tetapi dia (wajib mengganti hutang puasanya itu) sebanyak hari-hari (yang dia tidak berpuasa) pada bulan-bulan yang lainnya (selain Romadhon)....” (QS Al-Baqoroh : 184)

Nah, terkait dengan permasalahan membayar hutang puasa Romadhon inilah, ada beberapa permasalahan fiqih yang penting untuk kita ketahui bersama. Diantaranya adalah sebagai berikut :

Masalah (1) : “Orang yang sengaja meninggalkan puasa Romadhon pada tahun-tahun yang lalu (baik karena malas, mengikuti hawa nafsu atau karena kebodohannya), apakah ada kewajiban bagi dia untuk mengqodho’ puasa Romadhon yang telah ditinggalkannya tersebut ?”

Jawabannya, bahwa dalam masalah ini ada dua pendapat para ulama, diantaranya adalah :

Pertama : Jumhur ulama dan para imam yang empat berpendapat wajib bagi orang tersebut untuk mengqodho’ puasa yang telah ditinggalkannya, karena puasa itu adalah suatu tanggungan (kewajiban), tidak bisa dilepaskan (dari tanggungan tersebut) kecuali dengan cara menunaikannya (membayarnya).

Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata : “Wajib bagi dia meng-qodho’ (membayar hutang puasanya tersebut), dan kami tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan pendapat) dalam masalah tersebut.” (Al-Mughni, 3/22)  

Komentar : Bila yang dimaksud beliau adalah tidak adanya khilaf dalam madzhab beliau (yakni madzhab Hanabilah), maka hal itu benar. Tetapi kenyataannya ada madzhab lain yang menyelisihi pendapat beliau tersebut, insya Alloh akan disebutkan setelah ini.

Kedua : Sebagian sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, diantaranya Abu bakar Ash-Shiddiq (seperti disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, tetapi sanadnya mungqothi’/terputus), Abdulloh bin Mas’ud (seperti disebutkan dalam Mushonnaf Abdurrozzaq (no 7476) dan Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah (3/105), dan sanadnya shohih), Abu Huroiroh (disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (no. 735) dengan sanad yang shohih), dan Ali bin Abi Tholib (dalam Mushonnaf Ibnu Abi Sayiabah (3/106) tetapi sanadnya dho’if), mereka rodhiyallohu anhum semuanya berpendapat tidak perlu untuk mengqodho’.

Pendapat yang kedua ini dirojihkan (dikuatkan) oleh Ibnu Hazm rohimahulloh dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh (dan juga guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh ta’ala).

Alasannya, karena Alloh telah mewajibkan puasa itu pada hari-hari yang telah ditentukan, maka barangsiapa tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Alloh untuk mengerjakannya (dengan sengaja saat itu), maka dia telah menyia-nyiakan/mengabaikan (kewajiban tersebut), dan disana tidak ada dalil (shohih) yang menunjukkan apabila seseorang berpuasa sehari sebagai ganti dari puasa yang ditinggalkannya, maka hal itu berarti telah mencukupi/memenuhinya.

Sebenarnya, ada dalil yang menunjukkan hal tersebut, tetapi tidak shohih, yakni hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu secara marfu’, yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa berbuka (tidak berpuasa) sehari tanpa adanya udzur (di bulan Romadhon), maka tidak bisa dibayar/diganti dengan puasa selama setahun.”

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh berkata : “Dalam hadits ini ada tiga cacat (kelemahan), yaitu : (1) Di dalam sanadnya ada perowi yang bernama Abul Muthowwis, dia ini adalah orang yang majhul (tidak dikenal), (2) Sanadnya Idhthirob (goncang), khususnya pada perowi bernama Habib bin Abi Tsabit, (3) Abul Muthowwis tidak pernah mendengar hadits ini dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu. (Ithaaful Anam, hal. 169)

Adapun pendapat pertama yang mengatakan bahwa : “puasa itu adalah suatu tanggungan (kewajiban), tidak bisa dilepaskan (dari tanggungan tersebut) kecuali dengan cara menunaikannya (membayarnya)”, maka bantahannya adalah sebagai berikut :

“Bahwasannya Alloh telah menentukan hukum/batasan adalah untuk ditunaikan/dilaksanakan. Maka barangsiapa tidak menunaikannya pada waktu ketika diperintahkannya, maka berarti dia telah melalaikannya/menyia-nyiakannya dan telah berbuat maksiat (durhaka terhadap perintah Alloh ta’ala tersebut).Dan tidak ada dalil yang menunjukkan kemungkinan untuk bisa mendapatkan perintah tersebut (yakni berpuasa) setelah keluarnya waktu yang telah ditentukan oleh Alloh ta’ala.Wallohu a’lam.“

(lihat Ithaaful Anam bi Ahkaami wa Masaailis Shiyaam (hal. 169), karya Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh)

Kemudian sebenarnya masih ada pendapat-pendapat para ulama yang lainnya, diantaranya Robi’ah bin Abi Abdirrohman, beliau berpendapat wajib bagi orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja untuk berpuasa 12 hari, lalu Al-Imam Sa’id bin Al-Musayyab rohimahulloh berpendapat wajib berpuasa 30 hari (satu bulan), tetapi kedua pendapat tersebut tidak ada dalilnya sama sekali. Maka pendapat yang shohih (benar) insya Alloh adalah pendapat yang kedua, wallohu a’lam bis showab.

(Maroji’ : Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/329), karya An-Nawawi rohimahulloh, Al-Mughni (3/22) karya Ibnu Qudamah rohimahulloh, Al-Muhalla (no. 735) karya Ibnu Hazm rohimahulloh, dan Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (no. 1935), karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh)



MASALAH (2) : “Seseorang mengakhirkan (menunda-nunda) qodho’ puasa Romadhon tanpa adanya udzur, hingga datang Romadhon berikutnya dan dia masih mempunyai hutang puasa Romadhon tahun yang sebelumnya. Apa kewajiban yang harus dia lakukan ?”

Jawabannya, ketahuilah wahai saudaraku, ...... bahwa dalam permasalahan ini, ada tiga pendapat para ulama yang masyhur, diantaranya adalah sebagai berikut :

PERTAMA : Kewajibannya adalah dia melakukan puasa yang sekarang, setelah itu dia tetap wajib mengqodho’ (mengganti/membayar hutang puasa) tahun yang lalu, ditambah lagi memberikan makan kepada seorang fakir miskin setiap harinya sebanyak hutang puasanya (yakni membayar fidyah).

Ini adalah pendapat Jumhur Fuqoha’, diantara mereka adalah para shahabat Rosululloh, yaitu Abu Huroiroh, Ibnu Abbas dan Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhum (lihat Al-Baihaqi (4/253) dan Ad-Daruquthni (2/197), sanad-sanadnya shohih, juga Al-Muhalla (no. 767), tetapi sanadnya terputus).

Al-Imam Ath-Thohawi menukilkan dari Yahya bin Al-Aktsam rohimahulloh, ia berkata : “Saya mendapati dari enam orang shahabat Rosululloh, dan aku tidak mengetahui adanya khilaf/perselisihan tentang masalah ini diantara mereka.” (disebutkan oleh Al-Jashshosh dalam Ahkamul Qur’an, 1/292)

KEDUA : Kewajibannya tetap mengqodho’ saja, tetapi tanpa membayar fidyah. Ini adalah pendapatnya Al-Hasan Al-Bashri, An-Nakho’i, dan Ashhabur Ro’yi (Abu Hanifah dan para sahabatnya). Mereka berdalil dengan firman Alloh ta’ala : (فعدة من ايام اخر) “Maka hendaknya dia mengganti (hutang puasanya tersebut) di hari-hari yang lainnya.” (QS Al-Baqoroh : 184). Pendapat ini dirojihkan oleh Al-Imam Al-Bukhori rohimahulloh, lalu beliau berkata : “(Di dalam ayat tersebut) Alloh tidak menyebutkan (perintah) untuk memberi makan (bagi orang yang punya tanggungan hutang puasa), hanya saja Dia berfirman : “Maka hendaknya dia mengganti (hutang puasanya tersebut) di hari-hari yang lainnya.”

KETIGA : Kewajibannya hanya memberi makan (kepada seorang miskin setiap harinya) tanpa adanya qodho’ (yakni fidyah saja tanpa qodho’).Ini adalah pendapatnya Sa’id bin Jubair dan Qotadah rohimahumalloh. Tetapi pendapat ini menyelisi dhohirnya Al-Qur’an, sehingga pendapat ini adalah pendapat yang lemah.

Dari ketiga pendapat tersebut di atas, yang insya Alloh rojih (kuat dan terpilih) adalah pendapat yang kedua. Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzohulloh ta’ala menegaskan : “Yang rojih adalah pendapat kedua, dan ini adalah yang ditarjih (dirojihkan) oleh Ibnu Hazm, As-Syaukani, Al-Wadi’i (yakni Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I rohimahulloh) dan Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahumulloh ajma’in.” (Ithaaful Anam bi Ahkaami wa Masaailis Shiyaam, hal. 173)

Pendapat yang kedua itu pula yang juga dirojihkan oleh guru kami, Syaikh Al-‘Allamah Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh.

Beliau hafidzhohulloh pernah ditanya : “Seseorang mempunyai hutang puasa, dan dia tidak mampu menunaikan hutang puasanya tersebut sampai dia menjumpai Romadhon yang kedua (yakni Romadhon berikutnya), maka apa yang harus dia lakukan ?”

Beliau hafidzhohulloh menjawab : “Bila dia menjumpai Romadhon yang kedua, maka hendaknya dia berpuasa pada Romadhon yang kedua tersebut, setelah Romadhon itu usai, maka segera mungkin dia mengqodho’ (hutang puasanya yang lalu), berdasarkan hadits : ( “بادروا بالاعمال”) “bersegeralah kalian untuk beramal”, dan juga karena Firman Alloh ta’ala : (فاستبقوا الخيرات) “Maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan”, dan juga firman Alloh ta’ala : (وسارعوا الى مغفرة من ربكم وجنة) “Dan bersegeralah kalian menuju kepada ampunan dari Robb kalian dan (kepada ) surga..”.

Wajib atas dia untuk mengqodho’ (hutang puasanya tersebut), dikarenakan firman Alloh ta’ala :

(فمن كان منكم مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر)

“Maka barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam keadaan safar (kemudian tidak mampu puasa karena hal-hal tersebut), maka hendaknya dia mengganti (puasanya tersebut) pada hari-hari yang lainnya (selain bulan Romadhon).”

Adapun membayar kaffaroh/denda (karena dianggap menunda-nunda kewajiban bersegera membayar hutang puasa, yang dibayarkan dalam bentuk fidyah, edt.), yang hal ini masyhur di sisi jumhur ulama, maka yang shohih adalah tidak ada kewajiban kaffaroh / membayar fidyah baginya.

Dari Ibrohim An-Nakho’i rohimahulloh, beliau berkata : “Tidak ada kaffaroh atas orang tersebut.” Al-Bukhori rohimahulloh berkata : “Alloh hanya memerintahkan orang tersebut untuk mengqodho’.”

Pendapat An-Nakho’i dan Al-Bukhori tersebut di atas yang menyatakan tidak ada kaffaroh (denda dengan membayar fifyah) adalah juga pendapatnya Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab dan juga pendapatnya sekelompok ahlul ilmi, sebagaimana disebutkan dalam As-Sailul Jaror oleh Al-Imam As-Syaukani, dan ini juga yang difatwakan oleh Syaikh Muqbil rohimahulloh, yakni tidak ada kewajiban baginya untuk membayar kaffaroh (yakni fidyah), berdasarkan dhohir Al-Qur’an.

Adapun perkataan/pendapat Ath-Thohawi rohimahulloh, maka aku telah meneliti hal itu dan aku telah melihatnya dari enam orang shahabat dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi hal itu, sebagaimana disebutkan dalam Syarh Al-Bukhori oleh Al-Imam Ibnu Bathol. Maka ibroh (yang dianggap/dijadikan pegangan) adalah dalil, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan apa saja yang beliau diam (tidak menjelaskannya) maka hal itu perkara yang dimaafkan, dan sungguh (perkara ini) telah terjadi khilaf (perselisihan di kalangan ulama) hingga tidak ada ijma’ (kesepakatan) dalam masalah ini, dan tidak ada dalil yang melazimkan/mengharuskan untuk membayar kaffaroh (denda dengan membayar fidyah).”

(Ithaaful Kirom bi Ajwibati Ahkaami Az-Zakah wal Hajj was Shiyaam (hal. 385-386), karya Syaikh Al-‘Allamah Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh)  

Wallohu a’lamu bis showab........

(Maroji’ : Syarhus Sunnah (3/506-507) karya Al-Baghowi rohimahulloh, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/364) karya An-Nawawi rohimahulloh, Al-Mughni (3/40) karya Ibnu Qudamah rohimahulloh, Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (no. 1950), karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh, Tafsir Al-Qurthubi (2/283) karya Imam Al-Qurthubi rohimahulloh, Al-Muhalla (no. 767) karya Ibnu Hazm rohimahulloh)


MASALAH (3) : “Apabila seseorang menunda-nunda mengqodho’ puasa Romadhon tetapi karena udzur (ada sebab syar’i yang menghalangi dia untuk menunaikan hutang puasanya dengan segera, seperti karena sakit atau safar dll), hingga masuk pada Romadhon berikutnya dalam keadaan masih punya hutang puasa tahun yang lalu, kewajiban apa yang dibebankan kepadanya ?”

Jawabannya, dalam masalah ini pun ada dua pendapat para ulama :
PERTAMA  : Wajib bagi dia untuk mengqodho’ saja, tanpa perlu memberi makan kepada fakir miskin (tanpa fidyah). Ibnul Mundzir rohimahulloh meriwayatkan pendapat ini dari Thowus, Al-Hasan Al-Bashri, An-Nakho’i, Hammad bin Abi Sulaiman, Al-Auza’i, Imam Malik, Imam Ahmad, Ishaq, dan ini juga pendapatnya Imam As-Syafi’i, Abu Hanifah, Daud Ad-Dhohiri dan Al-Muzani rohimahumulloh ajma’in.

KEDUA : Orang tersebut hendaknya berpuasa pada Romadhon yang hadir saat itu, lalu hutang puasa tahun yang lalu itu dianggap bebas/lunas (karena dia telah berusaha dan berkeinginan untuk membayar hutang puasanya tetapi terhalang oleh udzur syar’i, edt.), dan tidak ada kewajiban mengqodho’ lagi baginya. Disebutkan oleh Ibnul Mundzir rohimahulloh, bahwa ini adalah pendapatnya Ibnu Abbas, Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma, Sa’id bin Jubair, dan Qotadah rohimahumalloh.

Dan yang insya Alloh rojih (kuat dan terpilih) dari kedua pendapat di atas adalah pendapat yang pertama, yaitu tetap wajib qodho’ bagi orang tersebut di atas, karena firman Alloh subhanahu wa ta’ala :

(فعدة من ايام اخر )

“Maka hendaknya dia mengganti (hutang puasanya itu) di hari-hari yang lainnya.”

Dan perintah dalam ayat tersebut di atas sifatnya umum, baik bagi orang yang belum sempat membayar hutang puasanya karena sengaja/lalai atau karena adanya udzur tertentu, wallohu a’lam bis showab.

(Maroji’ :Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/366), karya Imam An-Nawawi rohimahulloh dll)


MASALAH (4) : “Seseorang meninggal dunia dalam keadaan masih mempunyai hutang puasa Romadhon. Apakah boleh bagi keluarganya membayarkan hutang puasanya tersebut, dengan cara keluarganya itu mempuasakan si mayyit (berpuasa dengan niat untuk membayar hutang puasanya orang yang telah meninggal) ?”

Dalam masalah inipun ada beberapa pendapat para ulama sebagai berikut :

PERTAMA : Tidak perlu membayarkan hutang puasanya si mayyit dengan cara mempuasakan untuknya, tetapi cukup dengan membayar fidyah (memberi makan satu orang miskin setiap harinya sebanyak hari-hari yang dia tidak berpuasa), tentunya jika dia/si mayyittelah memberikan wasiat akan hal tersebut. Ini adalah pendapatnya Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam As-Syafi’i dalam pendapatnya yang terbaru/terakhir.

Mereka berdalil dengan firman Alloh ta’ala :

 (وان ليس للانسان الا ما سعى)
“Dan bahwa manusia itu hanya memperoleh apa yang diusahakannya.” (QS An-Najm : 39).

 Juga berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :

(اذا مات ابن ادم انقطع عمله الا من ثلاث ......)

“Apabila anak Adam (yakni manusia) mati, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga golongan…..” (HR Imam Muslim no. 1631, dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu secara marfu’)

KEDUA : Tidak perlu mempuasakan untuknya (membayarkan hutang puasanya), kecuali bila hutang puasanya itu adalah Puasa Nadzar saja. Ini adalah pendapatnya Imam Ahmad bin Hambal, Al-Laits, Ishaq, Abu Ubaid, dan lain-lain.

Mereka berdalil dengan hadits ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang disepakati shohihnya oleh Imam Al-Bukhori dan Imam Muslim dalam shohih keduanya, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :(من مات وعليه صوم صام عنه وليه) “Barangsiapa mati dan dia mempunyai hutang puasa, maka hendaknya walinya mempuasakan untuknya.” (HR Al-Bukhori no. 1952 dan Muslim no. 1147)

Mereka mengatakan : “Hadits ‘Aisyah ini sifatnya masih umum (untuk semua jenis puasa), tetapi kemudian dikhususkan pengertiannya dengan hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma dalam As-Shohihain juga :

“Bahwa seorang wanita bertanya (kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) : “Wahai Rosululloh, sesungguhnya ibuku telah meninggal dan dia mempunyai hutang puasa nadzar, apakah aku harus mempuasakan untuknya ?” Beliau bersabda : “Apa pendapatmu apabila ibumu mempunyai hutang, apakah kamu yang akan membayarkan untuknya ?” Wanita itu menjawab : “Benar.” Rosululloh bersabda lagi : “Maka hutang terhadap Alloh, lebih berhak untuk ditunaikan/dibayarkan.” (HR Al-Bukhori no. 1953 dan Muslim no. 1148)

Berdasarkan dalil di atas, mereka mengatakan : “Hutang puasa yang boleh dibayarkan oleh walinya/keluarganya si mayit itu hanyalah hutang puasa nadzar saja (khusus puasa nadzar), sedangkan hutang puasa Romadhon cukup dengan memberi makan satu orang miskin (setiap harinya sebanyak hari-hari yang ditinggalkannya, yakni membayar fidyah).”

KETIGA : Hendaknya wali si mayyit mempuasakan untuk si mayyit, apapun jenis hutang puasa si mayyit tersebut, sama saja apakah itu puasa Romadhon, puasa Nadzar, puasa Qodho’ atau puasa Kaffaroh. (yakni semua jenis puasa yang wajib). Ini adalah pendapat para ulama Ahlul Hadits, Abu Tsaur, Al-Auza’i, para ulama yang lainnya.

Mereka berdalil dengan keumuman hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

(من مات وعليه صوم صام عنه وليه )

“Barangsiapa mati dan dia mempunyai hutang puasa, maka hendaknya walinya mempuasakan untuknya.”(HR Al-Bukhori no. 1952 dan Muslim no. 1147)

Guru kami, As-Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh berkata : “Pendapat inilah (yang ketiga) yang benar, ini adalah pendapat yang dirojihkan oleh Al-Baihaqi, Ibnu Hazm, kemudian Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani, As-Shon’ani, dan juga dirojihkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahumulloh ajma’in…… “ (Ittihaaful Anam, hal. 175).

Pendapat ini pula yang juga dirojihkan oleh guru kami yang mulia, Syaikh Al-‘Allamah Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh, sebagaimana disebutkan oleh beliau dalam kitab Ittihaaful Kirom bi Ajwibati Ahkaami Az-Zakah wal Hajj was Shiyaam (hal. 389, pada jawaban atas pertanyaan no. 69)

Adapun pendapat golongan yang pertama (pendapatnya Imam Malik, Abu Hanifah dan As-Syafi’i rohimahumulloh), yang berdalil dengan firman Alloh ta’ala :

(وان ليس للانسان الا ما سعى)

“Dan bahwa manusia itu hanya memperoleh apa yang diusahakannya.” (QS An-Najm : 39).

Maka hal ini dijawab oleh Al-Imam Ibnu Hazm rohimahulloh sebagai berikut : “Adapun firman Alloh ta’ala (QS. An-Najm ayat 39), ini adalah haq/benar, hanya saja (yang juga perlu diingat,edt.) bahwa yang telah menurunkan ayat tersebut (yakni Alloh subhanahu wa ta’ala) Dia-lah juga yang menurunkan firman-Nya kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam :

( لتبين للناس ما نزل إليهم )

“Agar kamu (wahai Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam) menjelaskan apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS An-Nahl : 45).

Dia pula yang telah berfirman :

(من يطع الرسول فقد أطاع الله)

“Barangsiapa mentaati Rosul sungguh dia telah mentaati Alloh.” (QS. An-Nisa’ : 80).

Maka memang benar bahwa seseorang itu hanyalah memperoleh (balasan) apa yang diusahakannya. Sedangkan apa yang telah ditetapkan oleh Alloh ta’ala atau yang telah ditentukan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam (sebagaimana dalam hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha, yakni perintah untuk mempuasakan orang yang punya hutang puasa, edt.), hal itu menunjukkan bolehnya seseorang mengusahakan (amalannya) untuk orang yang selainnya, termasuk dalam masalah puasa ini.” (Selesai perkataan Ibnu Hazm rohimahulloh.)

Adapun dalil golongan pertama dengan hadits :

(اذا مات ابن ادم انقطع عمله الا من ثلاث ......)

“Apabila anak Adam (yakni manusia) mati, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga golongan…..” (HR Imam Muslim no. 1631, dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu secara marfu’).

Maka hadits ini hanya menunjukkan bahwa yang terputus amalannya adalah si mayit itu saja, adapun amalan orang lain (yang mempuasakan untuk dirinya) tidaklah terputus secara asalnya…

Adapun pendalilan golongan kedua (yang menunjukkan bahwa hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha itu umum, lalu dikhususkan dengan hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, sehingga hutang puasa mayit yang boleh dibayarkan oleh orang lain dari walinya hanyalah puasa nadzar saja, edt.).

Maka hal ini dijawab oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh sebagai berikut : “Kedua hadits tersebut sebenarnya tidak saling bertentangan sehingga perlu untuk dijama’ (dikompromikan). Hadits Ibnu Abbas itu (sebenarnya) adalah suatu bentuk/gambaran (puasa) tersendiri (yakni keharusan membayar hutang puasa nadzar), sedangkan hadits ‘Aisyah adalah penetapan qo’idah/ketentuan umum (yakni perintah membayarkan hutang puasa secara umum bagi mayit), dan juga terdapat isyarat pada hadits Ibnu Abbas seperti keumuman tersebut (yang ada pada hadits Aisyah), yakni dari sisi perkataan pada akhir hadits tersebut :“Maka hutang terhadap Alloh, lebih berhak untuk ditunaikan/dibayarkan.”  (selesai penukilan dari ucapan Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh).

Jadi kesimpulannya adalah bahwa pendapat yang rojih (kuat dan terpilih) dari ketiga pendapat tersebut di atas adalah pendapat yang ketiga, wallohu a’lamu bis showab.

(Maroji’ : Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (no. 1952), Al-Muhalla (no. 775), Subulus Salam (2/336) karya As-Shon’ani rohimahulloh, As-Syarhul Mumti’ (6/456) karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh)

Perhatian !

Perbedaan pendapat dalam masalah tersebut di atas, hal itu khususnya dalam hal apabila mayit tersebut semasa hidupnya memungkinkan untuk mengqodho’ hutang puasanya, kemudian dia didahului kematian sebelum menunaikan qodho’nya.Adapun bagi orang yang punya hutang puasa, kemudian tidak memungkinkan baginya untuk mengqodho’nya semasa hidupnya (karena suatu udzur tertentu) sampai dia mati, sungguh telah dinukilkan tidak hanya dari satu orang saja dari kalangan para ulama yang mengatakan secara ijma’ (adanya kesepakatan), bahwa orang tersebut tidak perlu dipuasakan (dibayarkan puasa untuknya). Adapun tentang memberikan makanan kepada seorang miskin setiap harinya (yakni membayar fidyah), maka menurut Jumhur Fuqoha’, Malik, Syafi’i, dan Abu Hanifah, hal itu tidak ada apa-apanya (yakni tidak perlu dianggap)

Al-Abdari rohimahulloh berkata : “Ini adalah pendapatnya seluruh ulama, kecuali Thowus dan Qotadah, keduanya berpendapat : wajib untuk memberikan makan setiap harinya kepada orang miskin (yakni membayar fidyah), karena keadaan orang tersebut adalah lemah, sehingga (dihukumi) seperti orang yang telah lanjut usia.”

Namun yang shohih adalah pendapat yang sebelumnya (yakni tidak perlu dipuasakan dan tidak ada keharusan membayarkan fidyah baginya), karena sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :

“Apabila aku memerintahkan kalian dengan sesuatu perintah, maka laksanakanlah perintah itu sesuai kemampuan kalian…” (HR Al-Bukhori no. 7288 dan Muslim no. 1337 dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu).

Dan juga berdasarkan firman Alloh ta’ala :

 (فاتقوا الله ماستطعتم)

“Maka bertakwalah kamu kepada Alloh sesuai kemampuan kalian.” (QS At-Taghobun : 16).

Wallohu a’lamu bis showab. Semoga bermanfaat bagi semuanya.

(Maroji’ : Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/372) karya An-Nawawi rohimahulloh, dan Syarhus Sunnah (3/511) karya Al-Baghowi rohimahulloh)


(Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN)