ADAB-ADAB BERPUASA (3) : MENYEGERAKAN BERBUKA
PUASA
Diantara adab lainnya yang juga harus selalu
diperhatikan dan dijaga oleh orang yang berpuasa adalah menyegerakan berbuka
puasa. Artinya, apabila benar-benar telah tiba waktu untuk berbuka, maka orang
yang berpuasa itu hendaknya bersegera berbuka dan tidak menunda-nundanya.
Hal itu karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
لا يزال الناس
بخير ما عجلوا الفطر
“Manusia itu akan senantiasa berada dalam
kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR Imam Al-Bukhori no. 1957
dan Muslim no. 1098, dari hadits Sahl bin Sa’ad rodhiyallohu
‘anhu)
Dalam hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu,
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا يزال الدين
ظاهرا ما عجل الناس الفطر للأن اليهود والنصارى يؤخرون
“Agama ini akan senantiasa berada dalam
keadaan nampak (menang dan ditolong oleh Alloh) selama manusia menyegerakan
berbuka puasa, karena sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashoro mereka
mengakhirkan (berbuka).” (HR Imam Abu Dawud no. 2353,
dishohihkan oleh Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rohimahulloh dalam Al-Jami’ush
Shohih, 2/420)
Hadits tersebut menunjukkan, agama Islam ini
akan senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Alloh Ta’ala atas agama-agama
lain, selama umat Islam itu sendiri mau menetapi kebaikan (berada dalam
kebaikan secara terus menerus), diantaranya adalah dengan “bersegera” dalam
berbuka puasa. Untuk bisa “menyegerakan” berbuka seperti itu, tentunya kita
harus tahu waktunya, yakni kapan kita dibolehkan segera berbuka puasa.
LALU KAPAN WAKTUNYA ?
Dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-Asqolani rohimahulloh : “Para ulama telah sepakat, bahwa tempatnya/waktunya
yang demikian itu adalah apabila matahari benar-benar telah tenggelam,
baik karena berdasarkan penglihatan sendiri atau karena berita dari dua orang
yang adil, demikian pula berita yang datang meskipun dari satu orang yang adil
menurut pendapat yang paling rojih (kuat).” (Fathul Bari, no.
hadits 1957)
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rohimahulloh juga
berkata : “Menyegerakan berbuka puasa itu, sesungguhnya bisa terwujud setelah
“meyakini” tenggelamnya matahari. Tidak boleh bagi seseorang untuk berbuka
dalam keadaan syak (ragu-ragu), apakah matahari telah tenggelam ataukah
belum ? Sesungguhnya kewajiban itu, apabila masih tetap berjalan, tidaklah
keluar dari hukumnya tersebut kecuali tetap berlakunya hukum tersebut, Alloh
‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya) : (“Kemudian sempurnakan puasa itu
sampai malam…”) (QS Al-Baqoroh : 187).
Dan awal malam itu adalah dengan tenggelamnya
matahari di ufuk seluruhnya (seluruh bundarannya) berdasarkan pandangan mata
orang-orang yang melihatnya. Barangsiapa ragu-ragu, wajib baginya tetap terus
berpuasa, sampai dia tidak ragu-ragu lagi terhadap tenggelamnya matahari
tersebut.” (At-Tamhid, 7/181)
APA HUKUMNYA BERBUKA PUASA SEBELUM MATAHARI
TENGGELAM ?
Orang yang berbuka puasa dengan sengaja
sebelum matahari tenggelam, atau orang yang memang sengaja tidak berpuasa, maka
dia dianggap/dinilai telah melakukan dosa yang besar.
Disebutkan dalam hadits Abu Umamah
rodhiyallohu ‘anhu dalam hadits yang panjang, di dalamnya Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam bersabda :
“……..kemudian aku pun pergi/berlalu, tiba-tiba
aku melihat suatu kaum yang digantung kaki-kaki mereka (di dalam nereka, edt.),
sedangkan dari mulut-mulut mereka mengalirkan darah. Maka aku pun bertanya
(kepada dua orang Malaikat yang membawaku, edt.) : “Siapakah mereka ini ?” Dia
(malaikat itu) menjawab : “Mereka itu adalah orang-orang yang berbuka sebelum
dihalalkan bagi mereka berbuka puasa (sebelum tiba waktunya, edt.).” (HR Al-Hakim
(1/430) dan (2/209), dishohihkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh
dalam Al-Jami’us Shohih, 2/421-422)
BOLEHKAH BERBUKA PUASA BILA MENURUT SANGKAAN
KITA MATAHARI TELAH TENGGELAM ?
Dalam masalah ini, mayoritas (kebanyakan)
ulama membolehkan kita berbuka puasa ketika tidak ada kemampuan bagi kita untuk
meyakini/memastikan apakah matahari telah tenggelam ataukah belum, misalnya
karena adanya mendung, sehingga dikira sudah gelap.
Dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadits
Asma’ bintu Abi Bakar rodhiyallohu ‘anha, dia berkata : “Kami pernah berbuka
pada jaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari yang mendung,
kemudian (setelah hilang mendungnya/gelapnya) ternyata matahari muncul (masih
ada dan belum tenggelam, edt.).” (HR Imam Al-Bukhori no.
1959)
Dalam riwayat lainnya juga disebutkan bahwa
hal itu juga pernah terjadi di masa kekholifahan Amirul Mu’minin Umar bin
Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhu (HR Ibnu Abi Syaibah (3/23 dst), Al-Baihaqi
(4/217) dan yang selain keduanya, sanad-sanadnya shohih). Lihat juga
permasalahan ini dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/306),
karya Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh.
TERUS, APA HUKUM PUASANYA BILA TERJADI
SEPERTI ITU ?
Dalam masalah ini, ada dua pendapat di
kalangan para ulama. Sebagian berpendapat : wajib baginya untuk menahan diri
dari makan dan minum, dan wajib pula baginya untuk mengqodho’ (mengganti)
puasanya (karena dia telah makan dan minum sebelum waktunya, sehingga puasanya
tersebut dianggap batal).
Ini adalah pendapat jumhur ulama, dan juga
pendapatnya Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Tsaur, dan dirojihkan oleh Syaikh Bin
Baaz rohimahulloh. Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :
a.
Alloh Ta’ala berfirman :
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“….kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS
Al-Baqoroh : 187)
b. Hisyam bin Urwah
rohimahulloh , salah satu perowi hadits dari Asma’ rodhiyallohu ‘anhu di atas,
tatkala ditanya : “Apakah mereka (orang yang terlanjur berbuka, padahal
matahari ternyata masih terang, edt.) diperintah untuk mengqodho’ puasanya ?”
Dia menjawab : “Ya, harus mengqodho’.”
c. Telah shohih dari Umar bin
Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhu, bahwasannya dia berkata ketika setelah
kejadian tersebut di atas : “Perkara ini mudah, kami berijtihad untuk
mengqodho’ satu hari.”
d. Al-Hafidz Ibnu Hajar
rohimahulloh berkata : “Dan yang dirojihkan – apabila hilal Romadhon tertutup
mendung kemudian orang-orang masih berbuka (tidak puasa, padahal sebenarnya
hilal Romadhon telah tampak), maka wajib bagi mereka untuk mengqodho’ (puasa
yang ditinggalkannya itu) berdasarkan kesepakatan para ulama. Demikian pula
dalam kasus ini… (yakni mereka yang mengira matahari telah tenggelam karena
mendung, lalu mereka berbuka, setelah itu barulah tahu ternyata matahari masih
bersinar, edt.)
Sebagian ulama lainnya berpendapat : wajib
baginya untuk menahan diri dari makan dan minum, tetapi tidak wajib baginya
untuk mengqodho’. Ini adalah pendapatnya Ishaq, Imam Ahmad dalam salah satu
pendapat dari beliau, Dawud Ad-Dhohiri, Al-Muzani dari kalangan Malikiyyah, dan
pendapat ini yang dirojihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan juga Syaikh
Ibnu Utsaimin rohimahumulloh ajma’in.
Dalil-dalil mereka diantaranya :
a.
Firman Alloh Ta’ala :
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ
نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
"Ya
Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS
Al-Baqoroh : 286)
b. Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa
lupa ketika dia sedang berpuasa, lalu dia makan dan minum, maka hendaknya dia
menyempurnakan puasanya.” (HR Imam Al-Bukhori no. 1933 dan Muslim
no. 1155)
Maka diqiyaskan dari hadits ini,
termasuk di dalamnya adalah orang yang berbuka karena menyangka matahari telah
tenggelam (hal ini sebagai bentuk kekeliruan/kesalahan tanpa kesengajaan),
insya Alloh hal ini dimaafkan. Hal itu karena keduanya (yakni orang yang makan
karena lupa dan yang karena menyangka matahari telah tenggelam karena mendung)
mereka tidak tahu (jahil) dengan keadaan yang mestinya mereka dilarang dari
makan dan minum.
c. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “(Pena
catatan amal) diangkat dari umatku (yakni tidak dianggap sebagai suatu dosa
atau diberi pahala, edt.) karena tersalah/keliru dan lupa.”
d. Hukum asal segala sesuatu itu tidaklah diwajibkan,
kecuali bila adanya dalil, lalu apa dalil yang mewajibkan mengqodho’ bagi orang
yang mengalami keadaan seperti di atas ?
e. Bahwa dalam hadits tersebut di atas (hadits Asma’
rodhiyallohu ‘anha), tidak disebutkan adanya perintah kepada mereka untuk
mengqodho’, seandainya ada pasti akan dinukilkan hal tersebut.
Inilah beberapa alasan atau dalil pendapat
kedua.
Dari dua pendapat tersebut, yang insya Alloh rojih (kuat
dan terpilih) adalah pendapat kedua, yakni bila seseorang menyangka
matahari telah tenggelam dan telah tiba waktu berbuka, padahal matahari masih
ada tetapi tertutup mendung yang gelap, maka setelah mengetahui ternyata
matahari belum tenggelam, wajib bagi dia untuk tetap menahan diri dari makan
dan minum, dan puasanya tetap sah, tidak ada kewajiban bagi dia untuk
mengqodho’ puasanya.
Adapun bantahan untuk dalil-dalil pendapat
pertama adalah sebagai berikut :
a. Adapun firman Alloh (yang artinya) : (“Kemudian
sempurnakanlah puasa kalian sampai malam…”), dhohirnya ayat menunjukkan
bila puasanya tidak disempurnakan sampai tenggelamnya matahari (awal datangnya
malam), maka puasanya tidak sah. Tetapi dalam permasalahan ini (orang yang
berbuka karena menyangka matahari telah tenggelam karena mendung), dia mengira
sudah datang malam, dalam keadaan seperti ini boleh baginya berbuka kalau dia
kuat sangkaanya matahari telah tenggelam.
b. Perkataan Hisyam bin Urwah rohimahulloh : “Harus
mengqodho’ baginya.” Hal ini dijawab : Bahwa Imam Al-Bukhori telah meriwayatkan
juga dalam shohihnya, bahwa Hisyam ditanya tentang hal itu, maka dia menjawab :
“Aku tidak tahu, apakah mereka mengqodho’ ataukah tidak.” Maka ini menunjukkan
bahwa dia berkata demikian adalah karena ijtihad darinya sendiri, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh menjelaskan : “Bahwa bapaknya Hisyam (yakni
Urwah bin Az-Zubair) lebih mengetahui darinya, sedangkan dia pernah berkata :
“Tidak ada qodho’ atas mereka.”
c. Adapun atsar dari Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu
‘anhu, itupun juga ijtihad dari beliau, sedangkan hujjah (dalil) itu adalah
berdarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, bukan berdasarkan ijtihadnya seorang sahabat
semata, apalagi ijtihad ini menyelisihi pendapat yang lainnya, wallohu a’lam.
d. Adapun
“kesepakatan” yang dinukilkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh adalah
tidak shohih, karena dalam masalah ini ada khilaf (perbedaan pendapat)
diantara para ulama (sebagaimana hal itu nampak pada penjelasan para ulama di
kitab-kitab sebagai berikut : Majmu’ Al-Fatawa (25/109), Al-Inshof
(3/254), dan Al-Muhalla (4/293-294) (729) ) Wallohu a’lam
Jadi, kesimpulannya adalah yang shohih dalam
masalah ini adalah pendapat kedua seperti yang tersebut di atas.
Selanjutnya,
bila ada masalah seperti itu juga, misalnya : “Bila ada seseorang makan dan
minum (sahur) atau melakukan hubungan suami istri (jima’) , dalam keadaan
menyangka bahwa fajar shodiq belum terbit (padahal sudah terbit), lalu baru
tahu setelah itu”. Maka dalam hal
seperti ini hukumnya sama seperti permasalahan tersebut di atas. Wallohu a’lam
bis showab.
DENGAN APAKAH KITA DISUNNAHKAN BERBUKA PUASA
?
Disunnahkan bagi kita untuk berbuka dengan ruthob
(buah kurma yang baru masak/kurma muda). Kalau tidak ada, boleh dengan tamr
(buah kurma yang sudah tua). Bila tidak ada, hendaknya berbuka dengan minum
air.
Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik
rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata : “Adalah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
biasa berbuka sebelum sholat (maghrib) dengan beberapa ruthob. Bila tidak ada
ruthob, maka beliau makan beberapa tamr. Bila tidak ada tamr, maka beliau minum
beberapa teguk air.” (HR Imam At-Tirmidzi no. 696, dihasankan
oleh As-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rohimahulloh Al-Jami’us Shohih Mimma
Laisa fis Shohihain, 2/419-420).
Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam
hafidzhohulloh berkata : “Kemudian aku melihat, Al-Imam Abu Hatim dan Abu
Zur’ah rohimahumalloh mengingkari (keshohihan) hadits ini, sebagaimana dalam
kitab Al-‘Ilal (1/224-225) karya Al-Imam Ibnu Abi Hatim
rohimahulloh. Kedua imam tersebut berkata : “Kami tidak mengetahui yang
meriwayatkan hadits ini kecuali Abdur Rozzaq, dan kami tidak mengetahui dari
manakah Abdur Rozzaq mengambilnya.”
Saya (Syaikh Muhammad bin Hizam) mengatakan :
“Hadits ini, jalan perputarannya ada pada Abdur Rozzaq, dari Ja’far bin
Sulaiman, dari Tsabit, dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu. Al-Imam
Adz-Dzahabi telah menyebutkan biografi Ja’far bin Sulaiman, dan beliau
menyebutkan bahwa hadits ini termasuk yang diingkari oleh beliau (sehingga
hadits ini sebenarnya dho’if, wallohu a’lam, edt.).”
Karena hadits ini dho’if (sehingga tidak bisa
dijadikan sandaran), maka berbuka itu boleh dengan apa saja yang mudah
baginya, sampai-sampai meskipun berbuka dengan sekedar meminum air.
Telah tsabit (shohih) sebuah hadits dari Anas
bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata : “Tidak pernah aku melihat sama
sekali beliau sholat maghrib sampai beliau berbuka (lebih dulu), meskipun
beliau hanya meminum seteguk air.” (HR Abu Ya’la no. 3792,
dan Ibnu Hibban no. 3504)….. (lihat Ithaaful Anam bi
Ahkaami wa Masailis Shiyam, hal. 62)
Telah berpendapat seperti itu pula guru kami,
Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidhzohulloh, bahkan beliau juga berkata :
“Hadits ini (yakni anjuran berbuka dengan ruthob ataupun tamr, edt.), bukanlah
suatu keharusan/yang dituntut untuk dilakukan. Maka sungguh jauh orang yang
berpendapat wajibnya hal tersebut, seperti Ad-Dhohiriyyah, dan jauh pula
pendapat orang yang mengatakan bahwa berbuka dengan hal-hal tersebut (yakni
dengan kurma atau ruthob) adalah sunnah yang (harus)
dibuang/ditinggalkan. Maka ini semua nadhor (suatu pendapat yang masih
harus dipertimbangkan/tidak bisa diterima secara mentah-mentah, edt.).
(Disebutkannya berbuka dengan ruthob dan tamr
dalam hadits tersebut, edt.), karena inilah kebanyakan makanan pokok penduduk
negeri mereka (bangsa Arab), yakni tamr (kurma). Jika didapati ruthob, maka
hendaknya dia berbuka dengannya. Jika ada tamr, hendaknya berbuka dengannya.
Jika tidak ada, maka hendaknya dia minum beberapa teguk air…….” (Ithaful
Kirom bi Ajwibati Ahkamiz Zakati wal Hajji was Shiyam, hal. 359-360)
ADAKAH DOA KHUSUS UNTUK BERBUKA
PUASA ?
Di
tengah masyarakat kita, banyak sekali beredar bacaan dzikir atau doa ketika
berbuka puasa. Bahkan sebagiannya telah banyak kita hapal dan tertanam di benak
kita sejak kecil hingga sekarang ini. Tetapi masalahnya, shohih atau tidakkah
hadits-haditsnya ? Untuk mengetahuinya, insya Alloh di bawah ini akan kami
sebutkan dzikir-dzikir dan doa-doa tersebut, berikut penjelasan keshohihannya
ataukah tidak (catatan : penshohihan atau pendho’ifan di sini, menurut guru
kami dalam kitabnya Ithaful
Anam, hal. 63-64)
PERTAMA
: Hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, bahwasannya Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda (berdoa ketika berbuka puasa) :
اللهم
لك صمنا و على رزقك أفطرنا فتقبل منا إنك أنت السميع العليم
“Ya
Alloh, untuk-Mu-lah kami berpuasa, dan atas rejeki dari-Mu-lah kami berbuka,
maka terimalah (puasa) kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (HR Imam Ad-Daruquthni (2/185), di dalam sanadnya ada Abdul Malik bin Harun bin ‘Antaroh,
dia meriwayatkan dari bapaknya, dan dia (Abdul Malik) adalah rowi yang MATRUK (ditinggalkan haditsnya), sedangkan bapaknya DHO’IF (lemah). Sehingga hadits ini sangat lemah, wallohu a’lam)
KEDUA
: Hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh
berdoa dengan lafadz :
اللهم
لك صمت و على رزقك افطرت
“Ya
Alloh, untuk-Mu-lah aku berpuasa, dan atas rejeki dari-Mu-lah aku berbuka.”(HR Imam Ath-Thobroni dalam Al-Ausath (no. 7545) dan Mu’jam As-Shoghir (no. 912), di dalam sanadnya ada Isma’il bin Amru, dia ini DHO’IF, juga ada Dawud bin Az-Zibriqon, dia ini MATRUK, sehingga sanadnya sangat lemah)
KETIGA
:
Hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma secara marfu’, bahwasannya dia berkata
(berdoa ketika berbuka puasa) :
ذهب
الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إنشاء الله
“Telah
hilang dahaga (rasa haus), telah basah urat-urat tenggorokan, dan telah tetap
pahala, insya Alloh (bila Alloh menghendaki).” (HR Imam Abu
Dawud no. 2357, di dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Al-Muqfi’, dia
ini rowi yang MAJHUL (tidak dikenal keadaannya, sehingga
hadist ini pun DHO’IF)
Demikianlah
doa-doa yang masyhur tentang doa bagi orang yang berbuka puasa, tetapi tidak
ada satupun yang shohih dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Lihat
juga pembahasan ini dalam kitab
IRWA’UL GHOLIL (no. 919-920), karya Syaikh
Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rohimahulloh.
Lalu,
bila tidak ada dalil khusus yang shohih tentang doa ketika akan berbuka puasa,
doa apa yang harus kita baca ? Dalam hal ini, kita kembalikan kepada hukum asal
tentang doa ketika akan makan dan minum secara umum, yakni membaca BASMALAH (yakni bacaan Bismillah), wallohu a’lamu bis showab.
MASALAH : DI SEBAGIAN NEGARA, WAKTU SIANGNYA
ADA YANG LEBIH DARI 24 JAM (YAKNI SEPANJANG HARI SIANG TERUS, MALAMNYA HANYA
SEBENTAR), APAKAH DIA WAJIB MENAHAN DIRI DARI MAKAN DAN MINUM SEPANJANG SIANG
HARI TERSEBUT ?
Tentang hal ini, para ulama menjelaskan :
“Apabila negara tersebut masih mempunyai waktu siang dan malam dalam kurun
waktu 24 jam tersebut, maka wajib bagi mereka menahan diri dari makan dan minum
(yakni berpuasa) pada seluruh waktu siangnya, meskipun waktu siangnya 20 jam
(misalnya). Hal ini karena keumuman dalil-dalilnya, sebagaimana firman Alloh
Ta’ala :
ِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam…..” (QS
Al-Baqoroh : 187).
Juga berdasarkan sabda Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam :
إذا أقبل الليل
من هاهنا و غربت الشمس فقد أفطر الصائم
“Apabila malam datang dari arah sini (yakni
timur, edt.) dan matahari telah tenggelam, maka telah berbuka bagi orang yang
berpuasa.” (HR Imam
Al-Bukhori no. 1954 dan Muslim no. 1100, dari hadits Umar
bin Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhu)
Adapun apabila waktu siangnya lebih panjang
dari 24 jam, sehingga seolah-olah siang ini berjalan terus sampai mendekati dua
hari atau tiga hari, atau lebih banyak atau lebih sedikit dari itu, maka
malamnya dan siangnya dikira-kirakan sesuai dengan waktu yang ada pada negara
terdekat yang mempunyai waktu malam dan siang. Hal ini sebagaimana dalam hadits
An-Nawwas bin Sam’an rodhiyallohu ‘anhu tentang kisahnya dajjal (dalam hadits
yang panjang).
Setelah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
menceritakan bahwa (pada masa dajjal muncul nanti) ada sebagian hari yang
panjangnya sama dengan setahun, ada yang panjangnya sama dengan sebulan. Maka
para sahabat bertanya kepada beliau : “Pada hari itu, sehari sama dengan
setahun, apakah pada waktu itu cukup bagi kami sholat sehari saja ?” Beliau
menjawab : “Tidak, (tetapi) hendaknya kalian kira-kirakanlah waktunya yang
sesuai…!” (HR Imam Muslim no. 2937).
Dengan pendapat seperti di atas itulah
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rohimahulloh berfatwa. Demikian pula Hai’ah
Kibaril Ulama (Majelis Ulama) di Kerajaan Saudi Arabia. Dan ini
pendapat Syaikh kami, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri dalam sebuah dars
(pelajaran) yang pernah kami ikuti dari beliau hafidzhohulloh.
(Lihat masalah ini dalam kitab : Tuhfatul
Ikhwan (hal. 164-169), Fatawa Romadhon (1/127-128) )
Lihat pula : Ithaful Anam, hal. 64-65.
Demikianlah pembahasan yang ringkas ini,
semoga bermanfaat untuk penulisnya dan segenap saudara kami semua kaum muslimin
dimana saja.
(Catatan : Pembahasan tersebut di atas,
dinukil dan diolah dari Kitab ITHAFUL ANAM BI MASAAILIS SHIYAM,
hal. 56-65, karya guru kami As-Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam
hafidzhohulloh, dan sumber lainnya)
Akhukum
fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby
www.darul-ilmi-sby.blogspot.co.id