FIQH PUASA ROMADHON

ADAB-ADAB BERPUASA (3) : MENYEGERAKAN BERBUKA PUASA

Image result for BUKA PUASA ES DEGAN

Diantara adab lainnya yang juga harus selalu diperhatikan dan dijaga oleh orang yang berpuasa adalah menyegerakan berbuka puasa. Artinya, apabila benar-benar telah tiba waktu untuk berbuka, maka orang yang berpuasa itu hendaknya bersegera berbuka dan tidak menunda-nundanya.

Hal itu karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر

“Manusia itu akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR Imam Al-Bukhori no. 1957 dan Muslim no. 1098, dari hadits Sahl bin Sa’ad rodhiyallohu ‘anhu)

Dalam hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لا يزال الدين ظاهرا ما عجل الناس الفطر للأن اليهود والنصارى يؤخرون

“Agama ini akan senantiasa berada dalam keadaan nampak (menang dan ditolong oleh Alloh) selama manusia menyegerakan berbuka puasa, karena sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashoro mereka mengakhirkan (berbuka).”  (HR Imam Abu Dawud no. 2353, dishohihkan oleh Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rohimahulloh dalam Al-Jami’ush Shohih, 2/420)

Hadits tersebut menunjukkan, agama Islam ini akan senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Alloh Ta’ala atas agama-agama lain, selama umat Islam itu sendiri mau menetapi kebaikan (berada dalam kebaikan secara terus menerus), diantaranya adalah dengan “bersegera” dalam berbuka puasa. Untuk bisa “menyegerakan” berbuka seperti itu, tentunya kita harus tahu waktunya, yakni kapan kita dibolehkan segera berbuka puasa.


LALU KAPAN WAKTUNYA ?

Dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh : “Para ulama telah sepakat, bahwa tempatnya/waktunya yang demikian itu adalah apabila matahari benar-benar telah tenggelam, baik karena berdasarkan penglihatan sendiri atau karena berita dari dua orang yang adil, demikian pula berita yang datang meskipun dari satu orang yang adil menurut pendapat yang paling rojih (kuat).” (Fathul Bari, no. hadits 1957)

Al-Imam Ibnu Abdil Barr rohimahulloh juga berkata : “Menyegerakan berbuka puasa itu, sesungguhnya bisa terwujud setelah “meyakini” tenggelamnya matahari. Tidak boleh bagi seseorang untuk berbuka dalam keadaan syak (ragu-ragu), apakah matahari telah tenggelam ataukah belum ? Sesungguhnya kewajiban itu, apabila masih tetap berjalan, tidaklah keluar dari hukumnya tersebut kecuali tetap berlakunya hukum tersebut, Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya) : (“Kemudian sempurnakan puasa itu sampai malam…”) (QS Al-Baqoroh : 187).

Dan awal malam itu adalah dengan tenggelamnya matahari di ufuk seluruhnya (seluruh bundarannya) berdasarkan pandangan mata orang-orang yang melihatnya. Barangsiapa ragu-ragu, wajib baginya tetap terus berpuasa, sampai dia tidak ragu-ragu lagi terhadap tenggelamnya matahari tersebut.” (At-Tamhid, 7/181)


APA HUKUMNYA BERBUKA PUASA SEBELUM MATAHARI TENGGELAM ?

Orang yang berbuka puasa dengan sengaja sebelum matahari tenggelam, atau orang yang memang sengaja tidak berpuasa, maka dia dianggap/dinilai telah melakukan dosa yang besar.

Disebutkan dalam hadits Abu Umamah rodhiyallohu ‘anhu dalam hadits yang panjang, di dalamnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

“……..kemudian aku pun pergi/berlalu, tiba-tiba aku melihat suatu kaum yang digantung kaki-kaki mereka (di dalam nereka, edt.), sedangkan dari mulut-mulut mereka mengalirkan darah. Maka aku pun bertanya (kepada dua orang Malaikat yang membawaku, edt.) : “Siapakah mereka ini ?” Dia (malaikat itu) menjawab : “Mereka itu adalah orang-orang yang berbuka sebelum dihalalkan bagi mereka berbuka puasa (sebelum tiba waktunya, edt.).” (HR Al-Hakim (1/430) dan (2/209), dishohihkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh dalam Al-Jami’us Shohih, 2/421-422)


BOLEHKAH BERBUKA PUASA BILA MENURUT SANGKAAN KITA MATAHARI TELAH TENGGELAM ?

Dalam masalah ini, mayoritas (kebanyakan) ulama membolehkan kita berbuka puasa ketika tidak ada kemampuan bagi kita untuk meyakini/memastikan apakah matahari telah tenggelam ataukah belum, misalnya karena adanya mendung, sehingga dikira sudah gelap.

Dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadits Asma’ bintu Abi Bakar rodhiyallohu ‘anha, dia berkata : “Kami pernah berbuka pada jaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari yang mendung, kemudian (setelah hilang mendungnya/gelapnya) ternyata matahari muncul (masih ada dan belum tenggelam, edt.).” (HR Imam Al-Bukhori no. 1959)

Dalam riwayat lainnya juga disebutkan bahwa hal itu juga pernah terjadi di masa kekholifahan Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhu (HR Ibnu Abi Syaibah (3/23 dst), Al-Baihaqi (4/217) dan yang selain keduanya, sanad-sanadnya shohih). Lihat juga permasalahan ini dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/306), karya Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh. 



TERUS, APA HUKUM PUASANYA BILA TERJADI SEPERTI ITU ?

Dalam masalah ini, ada dua pendapat di kalangan para ulama. Sebagian berpendapat : wajib baginya untuk menahan diri dari makan dan minum, dan wajib pula baginya untuk mengqodho’ (mengganti) puasanya (karena dia telah makan dan minum sebelum waktunya, sehingga puasanya tersebut dianggap batal). 

Ini adalah pendapat jumhur ulama, dan juga pendapatnya Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Tsaur, dan dirojihkan oleh Syaikh Bin Baaz rohimahulloh. Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :

a.      Alloh Ta’ala berfirman :

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ                

“….kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS Al-Baqoroh : 187)

b. Hisyam bin Urwah rohimahulloh , salah satu perowi hadits dari Asma’ rodhiyallohu ‘anhu di atas, tatkala ditanya : “Apakah mereka (orang yang terlanjur berbuka, padahal matahari ternyata masih terang, edt.) diperintah untuk mengqodho’ puasanya ?” Dia menjawab : “Ya, harus mengqodho’.”

c.  Telah shohih dari Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhu, bahwasannya dia berkata ketika setelah kejadian tersebut di atas : “Perkara ini mudah, kami berijtihad untuk mengqodho’ satu hari.”

d.   Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh berkata : “Dan yang dirojihkan – apabila hilal Romadhon tertutup mendung kemudian orang-orang masih berbuka (tidak puasa, padahal sebenarnya hilal Romadhon telah tampak), maka wajib bagi mereka untuk mengqodho’ (puasa yang ditinggalkannya itu) berdasarkan kesepakatan para ulama. Demikian pula dalam kasus ini… (yakni mereka yang mengira matahari telah tenggelam karena mendung, lalu mereka berbuka, setelah itu barulah tahu ternyata matahari masih bersinar, edt.)

Sebagian ulama lainnya berpendapat : wajib baginya untuk menahan diri dari makan dan minum, tetapi tidak wajib baginya untuk mengqodho’. Ini adalah pendapatnya Ishaq, Imam Ahmad dalam salah satu pendapat dari beliau, Dawud Ad-Dhohiri, Al-Muzani dari kalangan Malikiyyah, dan pendapat ini yang dirojihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan juga Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahumulloh ajma’in.

Dalil-dalil mereka diantaranya :

a.      Firman Alloh Ta’ala :

رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

"Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS Al-Baqoroh : 286)

b.  Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa lupa ketika dia sedang berpuasa, lalu dia makan dan minum, maka hendaknya dia menyempurnakan puasanya.” (HR Imam Al-Bukhori no. 1933 dan Muslim no. 1155)

Maka diqiyaskan dari hadits ini, termasuk di dalamnya adalah orang yang berbuka karena menyangka matahari telah tenggelam (hal ini sebagai bentuk kekeliruan/kesalahan tanpa kesengajaan), insya Alloh hal ini dimaafkan. Hal itu karena keduanya (yakni orang yang makan karena lupa dan yang karena menyangka matahari telah tenggelam karena mendung) mereka tidak tahu (jahil) dengan keadaan yang mestinya mereka dilarang dari makan dan minum.

c.  Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “(Pena catatan amal) diangkat dari umatku (yakni tidak dianggap sebagai suatu dosa atau diberi pahala, edt.) karena tersalah/keliru dan lupa.”

d.   Hukum asal segala sesuatu itu tidaklah diwajibkan, kecuali bila adanya dalil, lalu apa dalil yang mewajibkan mengqodho’ bagi orang yang mengalami keadaan seperti di atas ?


e.  Bahwa dalam hadits tersebut di atas (hadits Asma’ rodhiyallohu ‘anha), tidak disebutkan adanya perintah kepada mereka untuk mengqodho’, seandainya ada pasti akan dinukilkan hal tersebut.

Inilah beberapa alasan atau dalil pendapat kedua. 

Dari dua pendapat tersebut, yang insya Alloh rojih (kuat dan terpilih) adalah pendapat kedua, yakni bila seseorang menyangka matahari telah tenggelam dan telah tiba waktu berbuka, padahal matahari masih ada tetapi tertutup mendung yang gelap, maka setelah mengetahui ternyata matahari belum tenggelam, wajib bagi dia untuk tetap menahan diri dari makan dan minum, dan puasanya tetap sah, tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengqodho’ puasanya.

Adapun bantahan untuk dalil-dalil pendapat pertama adalah sebagai berikut :

a.  Adapun firman Alloh (yang artinya) : (“Kemudian sempurnakanlah puasa kalian sampai malam…”), dhohirnya ayat menunjukkan bila puasanya tidak disempurnakan sampai tenggelamnya matahari (awal datangnya malam), maka puasanya tidak sah. Tetapi dalam permasalahan ini (orang yang berbuka karena menyangka matahari telah tenggelam karena mendung), dia mengira sudah datang malam, dalam keadaan seperti ini boleh baginya berbuka kalau dia kuat sangkaanya matahari telah tenggelam.

b.  Perkataan Hisyam bin Urwah rohimahulloh : “Harus mengqodho’ baginya.” Hal ini dijawab : Bahwa Imam Al-Bukhori telah meriwayatkan juga dalam shohihnya, bahwa Hisyam ditanya tentang hal itu, maka dia menjawab : “Aku tidak tahu, apakah mereka mengqodho’ ataukah tidak.” Maka ini menunjukkan bahwa dia berkata demikian adalah karena ijtihad darinya sendiri, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh menjelaskan : “Bahwa bapaknya Hisyam (yakni Urwah bin Az-Zubair) lebih mengetahui darinya, sedangkan dia pernah berkata : “Tidak ada qodho’ atas mereka.”

c.   Adapun atsar dari Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhu, itupun juga ijtihad dari beliau, sedangkan hujjah (dalil) itu adalah berdarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, bukan berdasarkan ijtihadnya seorang sahabat semata, apalagi ijtihad ini menyelisihi pendapat yang lainnya, wallohu a’lam.

d.  Adapun “kesepakatan” yang dinukilkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh adalah tidak shohih, karena dalam masalah ini ada khilaf (perbedaan pendapat) diantara para ulama (sebagaimana hal itu nampak pada penjelasan para ulama di kitab-kitab sebagai berikut : Majmu’ Al-Fatawa (25/109), Al-Inshof (3/254), dan Al-Muhalla (4/293-294) (729) ) Wallohu a’lam

Jadi, kesimpulannya adalah yang shohih dalam masalah ini adalah pendapat kedua seperti yang tersebut di atas. 

Selanjutnya, bila ada masalah seperti itu juga, misalnya : “Bila ada seseorang makan dan minum (sahur) atau melakukan hubungan suami istri (jima’) , dalam keadaan menyangka bahwa fajar shodiq belum terbit (padahal sudah terbit), lalu baru tahu setelah itu”.  Maka dalam hal seperti ini hukumnya sama seperti permasalahan tersebut di atas. Wallohu a’lam bis showab.


DENGAN APAKAH KITA DISUNNAHKAN BERBUKA PUASA ?

Disunnahkan bagi kita untuk berbuka dengan ruthob (buah kurma yang baru masak/kurma muda). Kalau tidak ada, boleh dengan tamr (buah kurma yang sudah tua). Bila tidak ada, hendaknya berbuka dengan minum air.

Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata : “Adalah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka sebelum sholat (maghrib) dengan beberapa ruthob. Bila tidak ada ruthob, maka beliau makan beberapa tamr. Bila tidak ada tamr, maka beliau minum beberapa teguk air.” (HR Imam At-Tirmidzi no. 696, dihasankan oleh As-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rohimahulloh Al-Jami’us Shohih Mimma Laisa fis Shohihain, 2/419-420).

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh berkata : “Kemudian aku melihat, Al-Imam Abu Hatim dan Abu Zur’ah rohimahumalloh mengingkari (keshohihan) hadits ini, sebagaimana dalam kitab Al-‘Ilal (1/224-225) karya Al-Imam Ibnu Abi Hatim rohimahulloh. Kedua imam tersebut berkata : “Kami tidak mengetahui yang meriwayatkan hadits ini kecuali Abdur Rozzaq, dan kami tidak mengetahui dari manakah Abdur Rozzaq mengambilnya.”

Saya (Syaikh Muhammad bin Hizam) mengatakan : “Hadits ini, jalan perputarannya ada pada Abdur Rozzaq, dari Ja’far bin Sulaiman, dari Tsabit, dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu. Al-Imam Adz-Dzahabi telah menyebutkan biografi Ja’far bin Sulaiman, dan beliau menyebutkan bahwa hadits ini termasuk yang diingkari oleh beliau (sehingga hadits ini sebenarnya dho’if, wallohu a’lam, edt.).”

Karena hadits ini dho’if (sehingga tidak bisa dijadikan sandaran), maka berbuka itu boleh dengan apa saja yang mudah baginya, sampai-sampai meskipun berbuka dengan sekedar meminum air.

Telah tsabit (shohih) sebuah hadits dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata : “Tidak pernah aku melihat sama sekali beliau sholat maghrib sampai beliau berbuka (lebih dulu), meskipun beliau hanya meminum seteguk air.” (HR Abu Ya’la no. 3792, dan Ibnu Hibban no. 3504)….. (lihat Ithaaful Anam bi Ahkaami wa Masailis Shiyam, hal. 62)

Telah berpendapat seperti itu pula guru kami, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidhzohulloh, bahkan beliau juga berkata : “Hadits ini (yakni anjuran berbuka dengan ruthob ataupun tamr, edt.), bukanlah suatu keharusan/yang dituntut untuk dilakukan. Maka sungguh jauh orang yang berpendapat wajibnya hal tersebut, seperti Ad-Dhohiriyyah, dan jauh pula pendapat orang yang mengatakan bahwa berbuka dengan hal-hal tersebut (yakni dengan kurma atau ruthob) adalah sunnah yang (harus) dibuang/ditinggalkan. Maka ini semua nadhor (suatu pendapat yang masih harus dipertimbangkan/tidak bisa diterima secara mentah-mentah, edt.). 

(Disebutkannya berbuka dengan ruthob dan tamr dalam hadits tersebut, edt.), karena inilah kebanyakan makanan pokok penduduk negeri mereka (bangsa Arab), yakni tamr (kurma). Jika didapati ruthob, maka hendaknya dia berbuka dengannya. Jika ada tamr, hendaknya berbuka dengannya. Jika tidak ada, maka hendaknya dia minum beberapa teguk air…….” (Ithaful Kirom bi Ajwibati Ahkamiz Zakati wal Hajji was Shiyam, hal. 359-360)


ADAKAH DOA KHUSUS UNTUK BERBUKA PUASA ?

Di tengah masyarakat kita, banyak sekali beredar bacaan dzikir atau doa ketika berbuka puasa. Bahkan sebagiannya telah banyak kita hapal dan tertanam di benak kita sejak kecil hingga sekarang ini. Tetapi masalahnya, shohih atau tidakkah hadits-haditsnya ? Untuk mengetahuinya, insya Alloh di bawah ini akan kami sebutkan dzikir-dzikir dan doa-doa tersebut, berikut penjelasan keshohihannya ataukah tidak (catatan : penshohihan atau pendho’ifan di sini, menurut guru kami dalam kitabnya Ithaful Anam, hal. 63-64)

PERTAMA  : Hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, bahwasannya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda (berdoa ketika berbuka puasa) :

اللهم لك صمنا و على رزقك أفطرنا فتقبل منا إنك أنت السميع العليم

“Ya Alloh, untuk-Mu-lah kami berpuasa, dan atas rejeki dari-Mu-lah kami berbuka, maka terimalah (puasa) kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (HR Imam Ad-Daruquthni (2/185), di dalam sanadnya ada Abdul Malik bin Harun bin ‘Antaroh, dia meriwayatkan dari bapaknya, dan dia (Abdul Malik) adalah rowi yang MATRUK (ditinggalkan haditsnya), sedangkan bapaknya DHO’IF (lemah). Sehingga hadits ini sangat lemah, wallohu a’lam)

KEDUA  : Hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh berdoa dengan lafadz :

اللهم لك صمت و على رزقك افطرت

“Ya Alloh, untuk-Mu-lah aku berpuasa, dan atas rejeki dari-Mu-lah aku berbuka.”(HR Imam Ath-Thobroni dalam Al-Ausath (no. 7545) dan Mu’jam As-Shoghir (no. 912), di dalam sanadnya ada Isma’il bin Amru, dia ini DHO’IF, juga ada Dawud bin Az-Zibriqon, dia ini MATRUK, sehingga sanadnya sangat lemah)    

KETIGA : Hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma secara marfu’, bahwasannya dia berkata (berdoa ketika berbuka puasa) :


ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إنشاء الله

“Telah hilang dahaga (rasa haus), telah basah urat-urat tenggorokan, dan telah tetap pahala, insya Alloh (bila Alloh menghendaki).” (HR Imam Abu Dawud no. 2357, di dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Al-Muqfi’, dia ini rowi yang MAJHUL (tidak dikenal keadaannya, sehingga hadist ini pun DHO’IF

Demikianlah doa-doa yang masyhur tentang doa bagi orang yang berbuka puasa, tetapi tidak ada satupun yang shohih dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Lihat juga pembahasan ini dalam kitab  IRWA’UL GHOLIL (no. 919-920), karya Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rohimahulloh.


Lalu, bila tidak ada dalil khusus yang shohih tentang doa ketika akan berbuka puasa, doa apa yang harus kita baca ? Dalam hal ini, kita kembalikan kepada hukum asal tentang doa ketika akan makan dan minum secara umum, yakni membaca BASMALAH (yakni bacaan Bismillah), wallohu a’lamu bis showab.


MASALAH : DI SEBAGIAN NEGARA, WAKTU SIANGNYA ADA YANG LEBIH DARI 24 JAM (YAKNI SEPANJANG HARI SIANG TERUS, MALAMNYA HANYA SEBENTAR), APAKAH DIA WAJIB MENAHAN DIRI DARI MAKAN DAN MINUM SEPANJANG SIANG HARI TERSEBUT ?


Tentang hal ini, para ulama menjelaskan : “Apabila negara tersebut masih mempunyai waktu siang dan malam dalam kurun waktu 24 jam tersebut, maka wajib bagi mereka menahan diri dari makan dan minum (yakni berpuasa) pada seluruh waktu siangnya, meskipun waktu siangnya 20 jam (misalnya). Hal ini karena keumuman dalil-dalilnya, sebagaimana firman Alloh Ta’ala :

ِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…..” (QS Al-Baqoroh : 187).
Juga berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :

إذا أقبل الليل من هاهنا و غربت الشمس فقد أفطر الصائم

“Apabila malam datang dari arah sini (yakni timur, edt.) dan matahari telah tenggelam, maka telah berbuka bagi orang yang berpuasa.” (HR Imam Al-Bukhori no. 1954 dan Muslim no. 1100, dari hadits Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhu)

Adapun apabila waktu siangnya lebih panjang dari 24 jam, sehingga seolah-olah siang ini berjalan terus sampai mendekati dua hari atau tiga hari, atau lebih banyak atau lebih sedikit dari itu, maka malamnya dan siangnya dikira-kirakan sesuai dengan waktu yang ada pada negara terdekat yang mempunyai waktu malam dan siang. Hal ini sebagaimana dalam hadits An-Nawwas bin Sam’an rodhiyallohu ‘anhu tentang kisahnya dajjal (dalam hadits yang panjang).

Setelah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menceritakan bahwa (pada masa dajjal muncul nanti) ada sebagian hari yang panjangnya sama dengan setahun, ada yang panjangnya sama dengan sebulan. Maka para sahabat bertanya kepada beliau : “Pada hari itu, sehari sama dengan setahun, apakah pada waktu itu cukup bagi kami sholat sehari saja ?” Beliau menjawab : “Tidak, (tetapi) hendaknya kalian kira-kirakanlah waktunya yang sesuai…!” (HR Imam Muslim no. 2937).

Dengan pendapat seperti di atas itulah Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rohimahulloh berfatwa. Demikian pula Hai’ah Kibaril Ulama (Majelis Ulama) di Kerajaan Saudi Arabia. Dan ini pendapat Syaikh kami, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri dalam sebuah dars (pelajaran) yang pernah kami ikuti dari beliau hafidzhohulloh.

(Lihat masalah ini dalam kitab : Tuhfatul Ikhwan (hal. 164-169), Fatawa Romadhon (1/127-128) ) Lihat pula : Ithaful Anam, hal. 64-65.     

Demikianlah pembahasan yang ringkas ini, semoga bermanfaat untuk penulisnya dan segenap saudara kami semua kaum muslimin dimana saja.

(Catatan : Pembahasan tersebut di atas, dinukil dan diolah dari Kitab ITHAFUL ANAM BI MASAAILIS SHIYAM, hal. 56-65, karya guru kami As-Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh, dan sumber lainnya)


Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby
www.darul-ilmi-sby.blogspot.co.id