REKAMAN DAKWAH

REKAMAN KHUTBAH JUM’AT & KHUTBAH IDUL FITRI BERSAMA SYAIKH HASAN BIN QOSIM AR-ROIMY HAFIDZHOHULLOH


Image result for mimbar khutbah jumat
Ikhwani fillah rohimaniyallohu wa iyyakum  …………..

Berikut ini adalah rekaman Khutbah Jum’at yang disampaikan oleh As-Syaikh Hasan bin Qosim Ar-Roimy hafidzhohulloh di Masjid Pondok Pesantren Darul Ilmi Surabaya, yang disampaikan beliau pada akhir bulan Romadhon 1438 H yang baru lalu.

Dalam khutbah jum’at tersebut, Syaikh mengingatkan kepada kita kaum muslimin, tentang keberadaan kita di akhir-alkhir Romadhon. Dan diantara petunjuk Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam di akhir Romadhon tersebut adalah dengan semakin bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Alloh , diantaranya dengan menghidupkan malam-malamnya, khususnya pada sepuluh hari terakhir tersebut dengan berbagai ibadah kepada Alloh, apakah itu berupa Sholat lail, membaca Al-Qur’an berdzikir, berdoa dan yang lainnya. Agar kita bisa memperoleh keutamaan “Lailatul Qodar”.

Disamping itu, masih di akhir Romadhon tersebut, Alloh Ta’ala juga mensyari’atkan amalan ibadah yang mulia, yakni berupa kewajiban mengeluarkan Zakat Fitri. Kemudian beliau menyebutkan beberapa hukum ringkas seputar Zakat Fitri tersebut. Selanjutnya beliau juga menyebutkan beberapa hukum ringkas seputar Hari Raya Idul Fitri dan adab-adab yang terkait dengannya.

Demikian beberapa hal disampaikan oleh Syaikh dalam khutbah jum’at ini. Untuk mengetahui selengkapnya, silahkan anda mendengarkan sendiri rekaman khutbah ini sampai selesai, atau yang ingin mendownloadnya, silahkan saja klik judul khutbah tersebut :


Jenis Kegiatan
T e m p a t
Judul/Tema Khutbah

Khutbah Jum’at

Masjid Pondok Pesantren Darul Ilmi Surabaya



Kemudian, berikut ini juga kami sampaikan rekaman Khutbah Idul Fitri 1438 H yang juga disampaikan oleh Syaikh hafidzhohulloh, di halaman Pondok Pesantren Darul Ilmi Surabaya.

Dalam khutbah Idul Fitri ini, beliau hafizdhohulloh mengingatkan kepada kaum muslimin, agar selalu istiqomah (lurus dan berpegang teguh) dengan agama Islam ini sampai akhir hayat, apapun ujian yang kita hadapi. Sebagaimana apa yang telah dilakukan dan diamalkan oleh Salafus Sholih. Dan beliau menyebutkan contoh-contoh ketegaran para Sahabat Rosululloh di atas agama Islam, sampai kematian menjemput mereka.

Untuk mengetahui isi khutbah tersebut, silahkan klik judul khutbah tersebut sebagai berikut  :


Jenis Kegiatan
T e m p a t
Judul/Tema Khutbah

Khutbah Idul Fitri


Halaman Pondok Pesantren Darul Ilmi Surabaya



FIQH PUASA SUNNAH

 PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWAL


Image result for puasa syawal
Salah satu ibadah yang disunnahkan oleh Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya sholallohu ‘alaihi wa sallam di bulan Syawal ini adalah puasa sunnah selama enam hari. Dalilnya adalah hadits Abu Ayyub Al-Anshori dan Tsauban rodhiyallohu ‘anhuma.

Imam Muslim rohimahulloh dalam Shohih-nya (no. 1164) menyebutkan hadits Abu Ayyub Al-Anshori rodhiyallohu ‘anhu, bahwasannya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

“Barangsiapa berpuasa Romadhon kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka dia seperti berpuasa satu tahun penuh.”

Kemudian dalam hadits Tsauban rodhiyallohu ‘anhu, maula Rosululloh (bekas budak yang telah dimerdekakan oleh tuannya, yakni Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam), bahwa beliau bersabda :

من صام ستة أيام بعد الفطر كان تمام السنة ، من جاء بالحسنة فله عشر أمثالها

“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Hari Raya Idul Fithri, maka seperti berpuasa setahun penuh.Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipatnya.” (HR Ibnu Majah no. 1715, Ad-Darimi no. 1762, An-Nasa’i dalam As-Sunanul Kubro no. 2810 dan 2861, Ibnu Khuzaimah no. 2115, Ibnu Hibban no. 938, Imam Ahmad dalam Al-Musnad (5/280), Ath-Thobroni dalam Mu’jamul Kabir no. 1451, dan AthThohawi dalam Musykilul Atsar no. 1425, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil, 4/107)

Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka mayoritas ahli ilmu (para ulama) berpendapat disunnahkan puasa enam hari di bulan Syawal, baik bagi laki-laki maupun wanita. Diriwayatkan bahwa ini adalah pendapatnya Ibnu Abbas, Ka’ab Al-Akhbar, As-Sya’bi, Thowus, Maimun bin Mihron, Abdulloh bin Al-Mubarok, Ahmad bin Hambal dan As-Syafi’i rohimahumulloh ajma’in (lihat Al-Mughni (4/438) dan Latho’iful Ma’arif (hal. 389) )

Sebagian ulama lainnya, seperti Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat dimakruhkannya puasa tersebut. Imam Malik mengatakan : “Aku tidak pernah melihat seorang pun dari kalangan ahli ilmu yang melakukan puasa ini.” Mungkin yang dimaksud beliau adalah beliau tidak pernah melihat seorangpun ulama yang menganggap wajibnya puasa ini dan mengamalkannya. Ibnu Abdil Barr memberikan udzur pada beliau dengan mengatakan : “Mungkin hadits tersebut (tentang sunnahnya puasa enam hari di bulan Syawwal) belum sampai pada beliau.” (lihat Al-Mughni (3/56), Al-Majmu’ (6/379) dan Subulus Salam (4/156-157) )

APA KEUTAMAAN (FADHILAH) PUASA TERSEBUT ?

Telah disebutkan pada hadits di atas, keutamaannya seperti orang yang berpuasa selama setahun penuh. Al-Imam As-Shon’ani rohimahulloh menjelaskan : “Sesungguhnya diserupakan ibadah puasa tersebut dengan puasa Ad-Dahr (setahun penuh), karena satu kebaikan (yang kita lakukan) akan dilipatgandakan (balasannya) sepuluh kali lipat. Maka satu bulan Romadhon dilipatkan sepuluh kali lipat menjadi sepuluh bulan, sedangkan enam hari (dilipatkan sepuluh kalinya akan menjadi enam puluh hari) sama dengan dua bulan (sehingga sepuluh ditambah dua bulan sama dengan dua belas bulan atau sama dengan setahun, edt.).” (Subulus Salam, 4/157)

FIQH IBADAH

BEBERAPA PERMASALAHAN SEPUTAR TAKBIR DALAM IDUL FITHRI & IDUL ADHA

Image result for takbiran idul fitri


Apa hukumnya “takbir” (yakni “takbiran”dalam istilah yang dikenal di negeri kita, edt.) dalam Idul Fithri dan Idul Adha itu ?

Para ulama telah sepakat, bahwa takbir di Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha itu disyari’atkan. Hanya saja, salah satu riwayat dari Abu Hanifah dan An-Nakho’i berpendapat : “Tidak disyari’atkan takbir pada Idul Fithri.” Adapun Dawud Ad-Dhohiri berlebih-lebihan dalam masalah ini, sampai mengatakan : “Wajibnya takbir dalam Idul Fithri.”

Dan yang benar adalah bahwa takbir itu disyari’atkan untuk dua hari raya tersebut. Dalil yang menunjukkan hal itu, adalah hadits Ummu Athiyyah rodhiyallohu ‘anha, yang berkata :

أمرنا أن نخرج العوائق والحيض في العيدين : يشهدن الخير ودعوة المسلمين، ويعتزل الحيض المصلى [ وفي رواية لها زيادة : يكبرن مع الناس ]

“Kami diperintah (oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam) untuk mengeluarkan (yakni menyuruh keluar) para wanita pingitan, dan para wanita yang haid di dua hari raya, agar mereka bisa menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Dan untuk wanita yang haid, agar menjauhi tempat sholat (yakni dia berada di tempat yang paling belakang, edt.).” Dalam riwayat lainnya, juga masih dalam As-Shohihain ada tambahan : “agar para wanita itu juga ikut bertakbir bersama manusia/orang-orang yang lainnya.” (HR Imam Al-Bukhori no. 324 dan Imam Muslim no. 890)

Dan tentang takbir di hari raya ini pula, ditegaskan oleh Alloh Ta’ala dalam firman-Nya :

وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٨٥ 
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (yakni menyempurnakan bulan Romadhon tersebut, edt.) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (yakni bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS Al-Baqoroh : 185)

Alloh Ta’ala juga berfirman :

۞وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡدُودَٰتٖۚ ٢٠٣
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang ditentukan…..” (QS Al-Baqoroh : 203).

Ayat ini adalah perintah Alloh untuk berdzikir (diantaranya dengan bertakbir), yakni mulai pagi hari tanggal 9 Dzulhijjah (hari Arofah) dan berakhir hingga akhir hari Tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah) 

Demikianlah. Kesimpulannya, bertakbir (takbiran) adalah perkara yang disyari’atkan untuk dikumandangkan/dibaca pada dua hari raya, yakni Idul Fithri dan Idul Adha.


Kapankah waktu dimulainya mengumandangkan takbir tersebut, baik untuk Hari raya Idul Fithri maupun Idul Adha ? Dan kapan pula waktu terakhirnya ?

UNTUK TAKBIR IDUL FITHRI :

Para ulama berbeda pendapat tentang kapan waktu memulai bertakbir untuk hari raya Idul Fithri. Diantaranya sebagai berikut :

Pertama : Imam As-Syafi’i dan para sahabatnya (yakni para ulama madzhab Syafi’iyyah), demikian pula para ulama Hanabilah, mereka berpendapat : “Dimulai takbir itu adalah ketika telah nampak “hilal” Syawal (yakni terbitnya/munculnya bulan sabit tanggal 1 Syawal), dan tenggelamnya matahari di akhir Romadhon.”

Ini juga adalah pendapat dari Sa’id bin Al-Musayyab, Urwah bin Az-Zubair, Abu Salamah, Zaid bin Aslam, dan pendapat yang dipilih juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh.

Kedua : Sebagian ulama berpendapat : “Takbir itu dimulai ketika seseorang keluar dari rumahnya di pagi hari menuju ke tanah lapang untuk menunaikan sholat ied.”

Ini adalah pendapatnya Imam Malik dan Al-Auza’i rohimahulloh. Pendapat ini dianggap sebagai pendapatnya Jumhur ulama, tetapi ini tidak benar.   
   
Dari dua pendapat tersebut di atas, mana yang shohih ?

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh menegaskan : “Yang insya Alloh shohih (benar) adalah pendapat yang pertama. Hal itu karena Alloh Ta’ala menyebutkan tentang “takbir” setelah selesainya (sempurnanya) puasa Romadhon (sebagaimana di akhir surat Al-Baqoroh ayat 185 yang telah disebutkan di atas). Yang demikian itu (yakni disyari’atkannya untuk memulai takbir) itu adalah dengan tenggelamnya matahari di akhir Romadhon. Wallohu a’lamu bis showab. (lihat : Fathul ‘Allam, 2/192)

Hal ini juga sebagaimana yang dirojihkan oleh guru kami, Syaikh Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajury hafidzhohulloh, sebagaimana beliau sampaikan dalam pelajaran yang pernah kami dengar langsung dari beliau, wallohu a’lam bis showab.     

Selanjutnya, tentang waktu akhir bertakbir untuk Idul Fithri, kebanyakan ulama berpendapat : “Berakhirnya adalah dengan ditunaikannya sholat Ied.” Dan dalam masalah ini, tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama, walhamdulillah.

(lihat pembahasan seputar masalah ini dalam : Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (5/41), Al-Ausath (4/250), Al-Mughni (3/255) dan Majmu’ Al-Fatawa (24/221) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dll)

FIQH JANAIZ (JENASAH)

BEBERAPA PERMASALAHAN SEPUTAR TAKBIR DALAM IDUL FITHRI & IDUL ADHA

Image result for takbiran idul fitri


Apa hukumnya “takbir” (yakni “takbiran”dalam istilah yang dikenal di negeri kita, edt.) dalam Idul Fithri dan Idul Adha itu ?

Para ulama telah sepakat, bahwa takbir di Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha itu disyari’atkan. Hanya saja, salah satu riwayat dari Abu Hanifah dan An-Nakho’i berpendapat : “Tidak disyari’atkan takbir pada Idul Fithri.” Adapun Dawud Ad-Dhohiri berlebih-lebihan dalam masalah ini, sampai mengatakan : “Wajibnya takbir dalam Idul Fithri.”

Dan yang benar adalah bahwa takbir itu disyari’atkan untuk dua hari raya tersebut. Dalil yang menunjukkan hal itu, adalah hadits Ummu Athiyyah rodhiyallohu ‘anha, yang berkata :

أمرنا أن نخرج العوائق والحيض في العيدين : يشهدن الخير ودعوة المسلمين، ويعتزل الحيض المصلى [ وفي رواية لها زيادة : يكبرن مع الناس ]

“Kami diperintah (oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam) untuk mengeluarkan (yakni menyuruh keluar) para wanita pingitan, dan para wanita yang haid di dua hari raya, agar mereka bisa menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Dan untuk wanita yang haid, agar menjauhi tempat sholat (yakni dia berada di tempat yang paling belakang, edt.).” Dalam riwayat lainnya, juga masih dalam As-Shohihain ada tambahan : “agar para wanita itu juga ikut bertakbir bersama manusia/orang-orang yang lainnya.” (HR Imam Al-Bukhori no. 324 dan Imam Muslim no. 890)

Dan tentang takbir di hari raya ini pula, ditegaskan oleh Alloh Ta’ala dalam firman-Nya :

وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٨٥ 
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (yakni menyempurnakan bulan Romadhon tersebut, edt.) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (yakni bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS Al-Baqoroh : 185)

Alloh Ta’ala juga berfirman :

۞وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡدُودَٰتٖۚ ٢٠٣
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang ditentukan…..” (QS Al-Baqoroh : 203).

Ayat ini adalah perintah Alloh untuk berdzikir (diantaranya dengan bertakbir), yakni mulai pagi hari tanggal 9 Dzulhijjah (hari Arofah) dan berakhir hingga akhir hari Tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah) 

Demikianlah. Kesimpulannya, bertakbir (takbiran) adalah perkara yang disyari’atkan untuk dikumandangkan/dibaca pada dua hari raya, yakni Idul Fithri dan Idul Adha.


Kapankah waktu dimulainya mengumandangkan takbir tersebut, baik untuk Hari raya Idul Fithri maupun Idul Adha ? Dan kapan pula waktu terakhirnya ?

UNTUK TAKBIR IDUL FITHRI :

Para ulama berbeda pendapat tentang kapan waktu memulai bertakbir untuk hari raya Idul Fithri. Diantaranya sebagai berikut :

Pertama : Imam As-Syafi’i dan para sahabatnya (yakni para ulama madzhab Syafi’iyyah), demikian pula para ulama Hanabilah, mereka berpendapat : “Dimulai takbir itu adalah ketika telah nampak “hilal” Syawal (yakni terbitnya/munculnya bulan sabit tanggal 1 Syawal), dan tenggelamnya matahari di akhir Romadhon.”

Ini juga adalah pendapat dari Sa’id bin Al-Musayyab, Urwah bin Az-Zubair, Abu Salamah, Zaid bin Aslam, dan pendapat yang dipilih juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh.

Kedua : Sebagian ulama berpendapat : “Takbir itu dimulai ketika seseorang keluar dari rumahnya di pagi hari menuju ke tanah lapang untuk menunaikan sholat ied.”

Ini adalah pendapatnya Imam Malik dan Al-Auza’i rohimahulloh. Pendapat ini dianggap sebagai pendapatnya Jumhur ulama, tetapi ini tidak benar.   
   
Dari dua pendapat tersebut di atas, mana yang shohih ?

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh menegaskan : “Yang insya Alloh shohih (benar) adalah pendapat yang pertama. Hal itu karena Alloh Ta’ala menyebutkan tentang “takbir” setelah selesainya (sempurnanya) puasa Romadhon (sebagaimana di akhir surat Al-Baqoroh ayat 185 yang telah disebutkan di atas). Yang demikian itu (yakni disyari’atkannya untuk memulai takbir) itu adalah dengan tenggelamnya matahari di akhir Romadhon. Wallohu a’lamu bis showab. (lihat : Fathul ‘Allam, 2/192)

Hal ini juga sebagaimana yang dirojihkan oleh guru kami, Syaikh Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajury hafidzhohulloh, sebagaimana beliau sampaikan dalam pelajaran yang pernah kami dengar langsung dari beliau, wallohu a’lam bis showab.     

Selanjutnya, tentang waktu akhir bertakbir untuk Idul Fithri, kebanyakan ulama berpendapat : “Berakhirnya adalah dengan ditunaikannya sholat Ied.” Dan dalam masalah ini, tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama, walhamdulillah.

(lihat pembahasan seputar masalah ini dalam : Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (5/41), Al-Ausath (4/250), Al-Mughni (3/255) dan Majmu’ Al-Fatawa (24/221) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dll)

TAUSHIYYAH (NASEHAT)

NASEHAT DI AKHIR ROMADHON


Image result for membaca alquran di bulan ramadhan

Saudaraku kaum muslimin rohimakumulloh,

Saat ini kita sudah berada di penghujung bulan suci Romadhon. Ada beberapa nasehat penting yang ingin kami sampaikan sebagai suatu nasehat untuk kami pribadi khususnya, dan untuk kaum muslimin semuanya pada umumnya. Diantaranya adalah sebagai berikut :

PERTAMA : Bila kita berada di penghujung Romadhon seperti ini, banyaklah berharap kepada Alloh agar amalan kita selama Romadhon tahun ini benar-benar diterima oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala, dan berharaplah agar kita termasuk hamba-Nya yang meraih predikat sebagai “insan yang bertakwa.”

Alloh Ta’ala berfirman :

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ (٢٧)

"Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban/amalan) dari orang-orang yang bertakwa". (QS Al-Maidah : 27)

Pernah pada suatu Hari Raya Idhul Fithri, Umar bin Abdul Aziz rohimahulloh berkhutbah, diantaranya beliau berkata : “Wahai manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Alloh selama tiga puluh hari, kalian telah sholat malam tiga puluh hari, dan pada pagi hari ini kalian semua keluar untuk meminta kepada Alloh agar diterima amal-amal kalian. Ketahuilah, sebagian para salaf dahulu mereka menampakkan kesedihan pada hari raya ‘Idhul Fithri, lalu ditanyakan kepadanya : “Bukankah hari ini adalah hari kegembiraan dan kebahagiaan/kesenangan ?” Dia menjawab : “Benar, akan tetapi aku adalah seorang hamba yang Alloh memerintahkan aku untuk beramal, akan tetapi aku tidak mengetahui, apakah Alloh menerima amalanku ataukah tidak….”. (Lathoiful Ma’arif, hal. 376)

KEDUA : Satu bulan penuh selama Romadhon, kita mendapatkan “tarbiyyah” (pendidikan/pembinaan) secara terus menerus oleh Alloh Ta’ala dengan berbagai amal-amal ketaatan. Kita ditarbiyyah untuk mengendalikan nafsu, melatih kesabaran, senang beribadah dan beramal sholih dan menjauhi dosa serta maksiat.

Maka dengan berakhirnya Romadhon dan tibalah bulan-bulan yang lainnya, sudah sepantasnya kita mempertahankan prestasi yang biasa kita lakukan selama Romadhon tersebut, dan tidak sepantasnya bila kita meninggalkan kebiasaan baik tersebut karena kita kembali mengikuti hafa nafsu kita. 

Ingatlah, Alloh berfirman :

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ (٥٣)

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”(QS Yusuf : 53)

Ketahuilah, selesainya bulan suci Romadhon, bukan berarti selesainya melakukan ibadah dan ketaatan kepada Alloh. Karena, yang namanya ibadah itu adalah harus Istimror (berlangsung secara terus menerus). Sampai kapan ? Ya ..... sampai kematian menjemput kita !

Alloh Subahanahu wa Ta’ala berfirman :

وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأۡتِيَكَ ٱلۡيَقِينُ ٩٩

“Dan sembahlah Robb-mu sampai datang kepadamu (perkara) yang diyakini (yaitu ajal/kematian).” (QS Al-Hijr : 99)

Alloh Ta’ala juga berfirman :

رَّبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَيۡنَهُمَا فَٱعۡبُدۡهُ وَٱصۡطَبِرۡ لِعِبَٰدَتِهِۦۚ هَلۡ تَعۡلَمُ لَهُۥ سَمِيّٗا ٦٥

“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah).” (QS Maryam : 65)

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

وكان أحب الدين إليه ما داوم صاحبه إايه

“Sesungguhnya pengamalan agama yang paling disukai oleh-Nya adalah yang dikerjakan secara terus menerus oleh pelakunya.” (HR Al-Bukhori no. 43 dan Muslim no. 785, dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha)

Dalam lafadz lainnya :

أحب الأعمال إلى الله أدومه و إن قل 

“Amal-amal yang paling dicintai oleh Alloh adalah yang terus menerus (rutin/kontinyu) meskipun sedikit/kecil.” (HR Muslim no. 2818, juga dari Aisyah rodhiyallohu ‘anha)

Ya, amalan yang paling disukai oleh Alloh Ta’ala dan paling banyak pahalanya adalah amalan yang dikerjakan secara terus menerus/rutin, meskipun dalam jumlah yang sedikit (tidak banyak). (lihat : Bahjatun Nadhirin Syarh Riyadhis Sholihin (1/217) oleh Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly hafidzhohulloh ta’ala, lihat pula Syarh Riyadhis Sholihin (1/481) karya Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh)

FIQH ZAKAT


Image result for JABAT TANGAN PENYERAHAN ZAKAT
DOA ORANG YANG MENERIMA PENYERAHAN ZAKAT DARI ORANG YANG BERZAKAT (MUZAKKI)

Mungkin ada yang bertanya-tanya : “Adakah doa khusus yang disampaikan oleh orang yang menerima zakat, kepada orang yang berzakat ?”

Jawabannya : Alhamdulillah, dalam masalah ini, ada sebuah hadits shohih yang bersumber dari Sahabat Nabi yang mulia, Abdulloh bin Abi Aufa rodhiyallohu anhu, bahwa dia berkata :

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أتاه قوم بصدقتهم قال : اللهم صل عليهم

“Adalah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam itu apabila datang suatu kaum kepada beliau dengan membawa sedekah (yakni zakat) mereka, maka beliau berkata (mendoakan mereka) : “Allohumma sholli ‘alaihim.” (Ya Alloh, berikanlah sholawat atas mereka, yakni tambahkanlah kebaikan atas mereka. edt.).” (HR Imam Al-Bukhori no. 1497 dan Imam Muslim no. 1078)

Maka dhohir hadits ini menunjukkan “disyari’atkan” atas kita untuk mendoakan orang-orang yang menyerahkan zakat dengan doa seperti tersebut di atas.

Dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala pun telah memerintahkan Nabi-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan hal itu, sebagaimana dalam firman-Nya :

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ١٠٣

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan doakanlah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (At-Taubah : 103)


Lalu apa hukumnya mendoakan orang yang menyerahkan zakat tersebut ?

Tentang masalah ini, dijelaskan oleh As-Syaikh Al-Atsyuuby rohimahulloh dalam Syarh An-Nasa’i (22/132) sebagai berikut :

“Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mendoakan orang-orang yang bershodaqoh (yakni yang membayar zakat). Jumhur ulama berpendapat, mendoakan orang yang menyerahkan zakat hukumnya adalah sunnah (mustahab), bukan hal yang wajib.

Para ulama Ahlud Dhohir (Dhohiriyyah) berpendapat wajibnya hal itu. Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata : “Dengan ini pula sebagian sahabat-sahabat kami (yakni para ulama Syafi’iyyah, edt.) berpendapat. Demikianlah seperti yang diriwayatkan dari Abu Abdillah Al-Hanathi. Mereka bersandar (berhujjah) dengan perintah yang disebutkan dalam ayat tersebut di atas.

Jumhur ulama berkata (sebagai jawaban atas dalil yang dipegang oleh para ulama dhohiriyyah tersebut di atas, edt.) : “Perintah (seperti yang disebutkan pada ayat tersebut di atas, edt.) menurut kami, adalah untuk menunjukkan sunnahnya (bukan wajib). Karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal rodhiyallohu ‘anhu atau sahabat yang lainnya untuk mengambil zakat (dari kaum muslimin), tetapi beliau tidak memerintahkan mereka untuk berdoa (yakni mendoakan mereka yang menyerahkan zakatnya, edt.).” (sampai disini penukilan).

FIQH ZAKAT



HUKUM-HUKUM RINGKAS SEPUTAR ZAKAT FITHRI / FITRAH

Image result for ZAKAT FITRAH
PENGERTIAN ZAKAT :

Zakat, secara bahasa artinya adalah An-Nama’ wa Az-Ziyadah (pertumbuhan dan pertambahan). Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata : “Dinamai seperti itu (yakni zakat), karena (dengan sebab zakat itu) semakin berbuah/berkembang dan menjadi tumbuh hartanya.”

Terkadang juga zakat bermakna As-Sholaah (kebaikan), seperti dalam firman Alloh (QS Al-Kahfi : 81) atau (QS Maryam : 13)

Adapun secara syar’i, pengertian zakat adalah : “Memberikan sebagian harta yang telah mencapai nishobnya selama setahun, kepada orang-orang faqir/miskin dan yang lainnya, selain Bani Hasyim dan Bani Muthollib.”

Pengertian lainnya : “Nama untuk sesuatu yang diambil secara khusus, dari jenis harta yang khusus, yang mempunyai sifat-sifat yang khusus, dan diberikan (disalurkan) untuk golongan yang khusus (tertentu).”

(Maroji’ :Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (5/295), Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (3/262) dan Lisanul Arab (kamus) ) 

Sedangkan Al-Fithr, secara bahasa berasal dari As-Syaq (pecah atau terbelah) (lihat QS Al-Infithor : 1). Dikatakan : “Tafaththorot Qodamaahu” (pecah-pecah atau terbelah telapak kakinya). Maka dari makna itulah diambil al-fithr tersebut untuk orang yang berpuasa, sehingga kalau dikatakan “Fathoro As-Shooimu” (telah berbuka orang yang berpuasa), karena ia membuka mulutnya, seolah-olah orang yang berpuasa itu membelah/memecah puasanya (yakni telah selesai ibadah puasanya tersebut di bulan romadhon) dengan makan (berbuka/berhari raya).”

Sehingga dari penjelasan di atas, Zakat Fitri (Zakat Fitrah) adalah “Shodaqoh yang diwajibkan dengan sebab Fithr (berbuka/berhari raya) dari puasa Romadhon.” Wallohu a’lam bis showab.
(Maroji’ : Mu’jam Tahdzibul Lughoh, pada materi kata “Fathoro”,  Al-Mughni (3/55), Nailul Ma-aarib (2/389), Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyyah (23/335) )


MENGAPA DINAMAI ZAKAT FITHRI ?

Sebagian ulama mengatakan : “Disandarkan zakat ini kepada Al-Fithr (yakni dinamai sebagai Zakat Fithri/Zakat Fitrah), karena zakat ini diwajibkan karena Fithr (berbuka) dari puasa Romadhon.” (yakni kewajiban zakat ini dikeluarkan di akhir Romadhon, sebagai tanda telah berakhirnya/selesainya ibadah puasa romadhon, wallohu a’lam, edt.)

Sedangkan Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rohimahulloh mengatakan : “Yang dimaksud Shodaqoh Fitri (Zakat Fitri) adalah shodaqoh jiwa, yang diambil dari istilah Fitroh, yang merupakan asal penciptaan manusia, sebagaimana dalam firman Alloh ta’ala (yang artinya) : “….(sesuai) fitrah Alloh, Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu…..” (QS Ar-Ruum : 30), maknanya : “Yakni menurut penciptaannya, yang manusia diciptakan atasnya (menurut fitrah tersebut).”

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh menegaskan : “Pendapat yang pertama itulah yang nampak (benar).” Dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadits Ibnu Umar rodhiyalohu ‘anhuma :“Bahwasannya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memfardhukan/mewajibkan zatat fitri dari bulan romadhon…” (HR Al-Bukhori no. 1503 dan Muslim no. 984)


APA HIKMAH DISYARI’ATKANNYA ZAKAT FITRI ITU ?

Hikmahnya dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Abbas rodhoyallohu ‘anhuma, beliau berkata :“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memfardhukan zakat fitri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari laghwun (ucapan yang sia-sia) dan rofats (perkataan yang keji), dan sebagai pemberian makan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum sholat (ied), maka itu adalah zakat yang diterima.Barangsiapa menunaikannya sebelum sholat, maka itu hanyalah shodaqoh dari shodaqoh-shodaqoh biasa (bukan zakat fitri).”(HR Abu Dawud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827, sanad-sanadnya hasan).

Guru kami, Syaikh Zayid bin Hasan Al-Wushobi hafidzhohulloh menjelaskan : “Dalam hadits ini terdapat hikmah disyari’atkannya zakat fitri/zakat fitrah, yaitu : “bahwa zakat itu bisa membersihkan orang yang berpuasa dari perkara-perkara yang terjadi ketika dia sedang berpuasa, berupa laghwun (perbuatan/perkataan yang sia-sia), perkataan yang jelek, dan apa-apa yang terjadi antara dirinya dengan istrinya, dan lain-lain.

Disamping itu, zakat fitri juga bisa menjadi sarana untuk menyayangi/menyantuni orang-orang fakir miskin dan memberi makan kepada mereka di hari iedul fitri, yang sepantasnya bagi kaum muslimin untuk tidak mendapati mereka dalam keadaan kelaparan dan kekurangan, dan sepantasnya pula untuk bekerja sama dengan sesama muslim lainnya untuk mewujudkan kesenangan mereka (orang-orang fakir miskin tersebut) dan (kebahagian) di hari raya mereka.”

(Maroji’ :Nailul Author (5/386), Fathu Dzil Jalali Wal Ikrom,Syarh Bulughil Marom(6/203) dan Taudhihul Ahkam Min Bulughil Marom (3/380) )


APA HUKUMNYA ZAKAT FITRI / FITRAH ITU ?

Zakat Fitri itu hukumnya wajib atas setiap muslim. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ahlul ilmi, bahkan dinukilkan oleh banyak para ulama adanya ijma’ (kesepakatan para ulama) dalam masalah ini.

Al-Imam Ibnul Mundzir rohimahulloh berkata : “Umumnya ahlul ilmi telah sepakat bahwa shodaqoh fitri itu adalah fardhu/wajib.” Ishaq rohimahulloh juga berkata : “Perkara ini seperti ada ijma’ (kesepakatan) diantara ahlul ilmi.” Al-Baihaqi rohimahulloh juga berkata : “Para ulama telah sepakat atas wajibnya shodaqoh fitri ini.”

Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :

1.      Keumuman firman Alloh ta’ala : (وءاتوا ازكوة) “Dan tunaikanlah/bayarlah zakat” (QS Al-Baqoroh : 43). Termasuk zakat yang diperintahkan dalam ayat ini adalah Zakat Fitri/Fitrah.

2.      Hadits Ibnu Abbas rodhiyalohu ‘anhuma, beliau berkata :“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memfardhukan zakat fitri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari laghwun (ucapan yang sia-sia) dan rofats (perkataan yang keji), dan sebagai pemberian makan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum sholat (ied), maka itu adalah zakat yang diterima. Barangsiapa menunaikannya sebelum sholat, maka itu hanyalah shodaqoh dari shodaqoh-shodaqoh biasa (bukan zakat fitri).” (HR Abu Dawud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827, sanad-sanadnya hasan).


3.      Hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma, dengan lafadz : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah memfardhukan zakat fitri….” Dalam lafadz lainnya : “telah memerintahkan….” (HR Al-Bukhori no. 1503 dan 1507, dan Muslim no. 984). Makna “farodho” (memfardhukan) yaitu mengharuskan dan mewajibkan.

Kemudian sebenarnya disana ada pendapat-pendapat lainnya dari kalangan para ulama, ada yang mengatakan hukumnya Sunnah Mu’akkadah, ada yang mengatakan hukumnya Mansukh (telah dihapus) dan lain-lain, namun semuanya marjuh (lemah, tidak shohih)
Yang shohih (benar) dan rojih (kuat dan terpilih) adalah sebagaimana penjelasan di atas dengan dalil-dalilnya, wallohu a’lam bis showab.

(Maroji’ :Al-Isyrof (3/61), Sunan Al-Baihaqi (4/159), Al-Muhalla (no. 704), Al-Bayan (3/350), Al-Mughni (3/55), Al-Majmu’ (6/23) dan Fathul Bari (3/368) )

TAUSHIYYAH (NASEHAT)


Image result for PILAR MASJID
BERSEMANGATLAH IBADAH DI AKHIR ROMADHON, JANGAN BERTAMBAH LOYO (KURANG SEMANGAT)


Saudaraku kaum muslimin, diantara tuntunan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kaitannya dengan ibadah di bulan Romadhon ini, khususnya di akhir-akhir Romadhon seperti ini, adalah hendaknya kita semakin bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam beribadah, bukan malah loyo atau berkurang semangatnya.


Ya, mestinya setelah beberapa hari di bulan Romadhon ini kita terbiasa dengan puasa, sholat tarowih, membaca Al-Qur’an, bershodaqoh dan lain-lain, tentunya kita sudah terlatih dan terbiasa.


Nah, justru di akhir-akhir Romadhon inilah saat-saat yang menentukan. Keistiqomahan kita diuji, kesabaran kita perlu dibuktikan. Bila kita benar-benar mengaku pengikut setia Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, perhatikanlah bagaimana ibadah beliau bila berada di sepuluh hari terakhir di bulan Romadhon. Lalu berusahalah ittiba’ (mengikuti) jalan ibadah yang ditempuh beliau. Siapkah kita ?


Ummul Mu’minin Aisyah rodhiyallohu ‘anha, pernah menceritakan bagaimana ibadah beliau di akhir-akhir Romadhon seperti ini :


كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر الأواخر من رمضان أحيا الليل وأيقظ أهله وجد وشد المئزر


“Adalah Nabi shollallohu ’alaihi wa sallam apabila masuk pada sepuluh hari terakhir dari bulan Romadhon, beliau biasa menghidupkan malamnya (dengan ibadah), dan membangunkan keluarganya (juga agar mereka mau beribadah), dan beliau bersungguh-sungguh (dalam beribadah tersebut), dan beliau mengencangkan kain sarungnya (yakni tidak menggauli istri-istrinya, edt.).” (HR Imam Al-Bukhori dalam Fathul Bari (4/269) dan Muslim no. 1174) 


Ummul Mu’minin Aisyah Rodhiyallohu anha juga berkata :


كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجتهد في رمضان مالا يجتهد في غيره، وفي العشر الأواخر منه مالا يجتهد في غيره


“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (dalam beribadah) di bulan Romadhon tidak sebagaimana pada bulan-bulan yang lainnya. (Demikian pula beliau bersungguh-sungguh dalam beribadah) pada sepuluh hari terakhir dari bulan Romadhon tersebut tidak sebagaimana pada hari-hari lainnya (juga di bulan Romadhon tersebut, edt.).” (HR Imam Muslim no. 1175) 


As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh berkata : “Bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam itu apabila memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan Romadhon, maka beliau menghidupkan malam harinya, yaitu menghidupkannya dengan dzikir, membaca Al-Qur’an, sholat dan ibada. Beliau juga membangunkan keluarganya, dan mengencangkan kain sarungnya. Beliau membangunkan mereka agar mereka sholat. Dan beliau mengencangkan kain sarungnya, yakni melakukan persiapan dengan persiapan yang sempurna untuk beramal. Karena mengencangkan kain sarung, maknanya adalah bahwa seseorang itu mempersiapkan dirinya untuk beramal dan menguatkannya. Adapula yang berkata, maknanya adalah dia menjauhi istrinya (tidak menggaulinya/menjima’inya). Demikianlah keadaan Nabi ‘alaihis sholatu wa sallam. Beliau mengkonsentrasikan untuk beribadah. Dan kedua makna tersebut di atas adalah shohih (benar).


Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam benar-benar mengkonsentrasikan dirinya untuk beribadah pada sepuluh hari terakhir di bulan Romadhon. Beliau menghidupkan seluruh malamnya untuk melakukan ketaatan kepada Alloh. Inilah kemurahan beliau terhadap dirinya, yakni kemurahan jiwa beliau untuk menunaikan hak-hak Alloh Subahanahu wa Ta’ala. Dan Alloh-lah yang memberikan karunia kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Apabila Alloh Ta’ala memberikan karunia kepadamu untuk melakukan amalan (sholih), maka itulah “minnah” (karunia). Pertama kali, Alloh memberikan karunia (taufiq) kepadamu untuk beramal. Kemudian yang kedua, Dia memberikan karunia kepadamu untuk menerima amalanmu. Semoga Alloh Ta’ala memberikan taufiq-Nya kepada kami dan kalian untuk (mengamalkan) apa yang dicintai-Nya.”


(Syarh Riyadhis Sholihin (3/418), karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh, penerbit Darul Aqidah)