HUKUM-HUKUM RINGKAS SEPUTAR ZAKAT FITHRI / FITRAH
PENGERTIAN ZAKAT :
Zakat, secara bahasa artinya adalah An-Nama’ wa
Az-Ziyadah (pertumbuhan dan pertambahan). Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh
berkata : “Dinamai seperti itu (yakni zakat), karena (dengan sebab zakat itu)
semakin berbuah/berkembang dan menjadi tumbuh hartanya.”
Terkadang juga zakat bermakna As-Sholaah
(kebaikan), seperti dalam firman Alloh (QS Al-Kahfi : 81) atau (QS Maryam : 13)
Adapun secara syar’i, pengertian zakat adalah
: “Memberikan sebagian harta yang telah mencapai nishobnya selama setahun,
kepada orang-orang faqir/miskin dan yang lainnya, selain Bani Hasyim dan Bani
Muthollib.”
Pengertian lainnya : “Nama untuk sesuatu
yang diambil secara khusus, dari jenis harta yang khusus, yang mempunyai
sifat-sifat yang khusus, dan diberikan (disalurkan) untuk golongan yang khusus
(tertentu).”
(Maroji’ :Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab
(5/295), Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (3/262) dan Lisanul
Arab (kamus) )
Sedangkan Al-Fithr, secara
bahasa berasal dari As-Syaq (pecah atau terbelah) (lihat QS Al-Infithor
: 1). Dikatakan : “Tafaththorot Qodamaahu” (pecah-pecah atau terbelah
telapak kakinya). Maka dari makna itulah diambil al-fithr tersebut untuk
orang yang berpuasa, sehingga kalau dikatakan “Fathoro As-Shooimu”
(telah berbuka orang yang berpuasa), karena ia membuka mulutnya, seolah-olah
orang yang berpuasa itu membelah/memecah puasanya (yakni telah selesai ibadah
puasanya tersebut di bulan romadhon) dengan makan (berbuka/berhari raya).”
Sehingga dari penjelasan di atas, Zakat Fitri
(Zakat Fitrah) adalah “Shodaqoh yang diwajibkan dengan sebab Fithr
(berbuka/berhari raya) dari puasa Romadhon.” Wallohu a’lam bis showab.
(Maroji’ : Mu’jam Tahdzibul Lughoh,
pada materi kata “Fathoro”, Al-Mughni
(3/55), Nailul Ma-aarib (2/389), Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyyah
(23/335) )
MENGAPA DINAMAI ZAKAT FITHRI ?
Sebagian ulama mengatakan : “Disandarkan
zakat ini kepada Al-Fithr (yakni dinamai sebagai Zakat Fithri/Zakat
Fitrah), karena zakat ini diwajibkan karena Fithr (berbuka) dari puasa
Romadhon.” (yakni kewajiban zakat ini dikeluarkan di akhir Romadhon, sebagai
tanda telah berakhirnya/selesainya ibadah puasa romadhon, wallohu a’lam, edt.)
Sedangkan Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
rohimahulloh mengatakan : “Yang dimaksud Shodaqoh Fitri (Zakat Fitri) adalah
shodaqoh jiwa, yang diambil dari istilah Fitroh, yang merupakan asal penciptaan
manusia, sebagaimana dalam firman Alloh ta’ala (yang artinya) : “….(sesuai)
fitrah Alloh, Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu…..” (QS
Ar-Ruum : 30), maknanya : “Yakni menurut penciptaannya, yang manusia diciptakan
atasnya (menurut fitrah tersebut).”
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh
menegaskan : “Pendapat yang pertama itulah yang nampak (benar).” Dalil yang
menunjukkan hal itu adalah hadits Ibnu Umar rodhiyalohu ‘anhuma :“Bahwasannya
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memfardhukan/mewajibkan zatat fitri
dari bulan romadhon…” (HR Al-Bukhori no. 1503 dan Muslim
no. 984)
APA HIKMAH DISYARI’ATKANNYA ZAKAT FITRI ITU ?
Hikmahnya dijelaskan dalam hadits Abdullah
bin Abbas rodhoyallohu ‘anhuma, beliau berkata :“Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam memfardhukan zakat fitri sebagai pembersih bagi orang yang
berpuasa dari laghwun (ucapan yang sia-sia) dan rofats (perkataan yang keji),
dan sebagai pemberian makan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya
sebelum sholat (ied), maka itu adalah zakat yang diterima.Barangsiapa
menunaikannya sebelum sholat, maka itu hanyalah shodaqoh dari shodaqoh-shodaqoh
biasa (bukan zakat fitri).”(HR Abu Dawud no. 1609 dan Ibnu
Majah no. 1827, sanad-sanadnya hasan).
Guru kami, Syaikh Zayid bin Hasan Al-Wushobi
hafidzhohulloh menjelaskan : “Dalam hadits ini terdapat hikmah disyari’atkannya
zakat fitri/zakat fitrah, yaitu : “bahwa zakat itu bisa membersihkan orang yang
berpuasa dari perkara-perkara yang terjadi ketika dia sedang berpuasa, berupa laghwun
(perbuatan/perkataan yang sia-sia), perkataan yang jelek, dan apa-apa yang
terjadi antara dirinya dengan istrinya, dan lain-lain.
Disamping itu, zakat fitri juga bisa menjadi
sarana untuk menyayangi/menyantuni orang-orang fakir miskin dan memberi makan
kepada mereka di hari iedul fitri, yang sepantasnya bagi kaum muslimin untuk
tidak mendapati mereka dalam keadaan kelaparan dan kekurangan, dan sepantasnya
pula untuk bekerja sama dengan sesama muslim lainnya untuk mewujudkan
kesenangan mereka (orang-orang fakir miskin tersebut) dan (kebahagian) di hari
raya mereka.”
(Maroji’ :Nailul Author
(5/386), Fathu Dzil Jalali Wal Ikrom,Syarh Bulughil Marom(6/203)
dan Taudhihul Ahkam Min Bulughil Marom (3/380) )
APA HUKUMNYA ZAKAT FITRI / FITRAH ITU ?
Zakat Fitri itu hukumnya wajib atas setiap
muslim. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ahlul ilmi, bahkan dinukilkan
oleh banyak para ulama adanya ijma’ (kesepakatan para ulama) dalam
masalah ini.
Al-Imam Ibnul Mundzir rohimahulloh berkata :
“Umumnya ahlul ilmi telah sepakat bahwa shodaqoh fitri itu adalah
fardhu/wajib.” Ishaq rohimahulloh juga berkata : “Perkara ini seperti ada ijma’
(kesepakatan) diantara ahlul ilmi.” Al-Baihaqi rohimahulloh juga berkata :
“Para ulama telah sepakat atas wajibnya shodaqoh fitri ini.”
Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :
1.
Keumuman firman Alloh ta’ala : (وءاتوا ازكوة) “Dan tunaikanlah/bayarlah
zakat” (QS Al-Baqoroh : 43). Termasuk zakat yang diperintahkan dalam ayat
ini adalah Zakat Fitri/Fitrah.
2.
Hadits Ibnu Abbas rodhiyalohu ‘anhuma, beliau berkata
:“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memfardhukan zakat fitri sebagai
pembersih bagi orang yang berpuasa dari laghwun (ucapan yang sia-sia) dan
rofats (perkataan yang keji), dan sebagai pemberian makan bagi orang-orang
miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum sholat (ied), maka itu adalah zakat
yang diterima. Barangsiapa menunaikannya sebelum sholat, maka itu hanyalah
shodaqoh dari shodaqoh-shodaqoh biasa (bukan zakat fitri).” (HR Abu
Dawud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827, sanad-sanadnya
hasan).
3.
Hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma, dengan lafadz :
“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah memfardhukan zakat fitri….”
Dalam lafadz lainnya : “telah memerintahkan….” (HR Al-Bukhori no.
1503 dan 1507, dan Muslim no. 984). Makna “farodho”
(memfardhukan) yaitu mengharuskan dan mewajibkan.
Kemudian sebenarnya disana ada
pendapat-pendapat lainnya dari kalangan para ulama, ada yang mengatakan
hukumnya Sunnah Mu’akkadah, ada yang mengatakan hukumnya Mansukh (telah
dihapus) dan lain-lain, namun semuanya marjuh (lemah, tidak shohih)
Yang shohih (benar) dan rojih (kuat dan
terpilih) adalah sebagaimana penjelasan di atas dengan dalil-dalilnya, wallohu
a’lam bis showab.
(Maroji’ :Al-Isyrof (3/61), Sunan
Al-Baihaqi (4/159), Al-Muhalla (no. 704), Al-Bayan
(3/350), Al-Mughni (3/55), Al-Majmu’ (6/23) dan Fathul
Bari (3/368) )