FIQH ZAKAT



HUKUM-HUKUM RINGKAS SEPUTAR ZAKAT FITHRI / FITRAH

Image result for ZAKAT FITRAH
PENGERTIAN ZAKAT :

Zakat, secara bahasa artinya adalah An-Nama’ wa Az-Ziyadah (pertumbuhan dan pertambahan). Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata : “Dinamai seperti itu (yakni zakat), karena (dengan sebab zakat itu) semakin berbuah/berkembang dan menjadi tumbuh hartanya.”

Terkadang juga zakat bermakna As-Sholaah (kebaikan), seperti dalam firman Alloh (QS Al-Kahfi : 81) atau (QS Maryam : 13)

Adapun secara syar’i, pengertian zakat adalah : “Memberikan sebagian harta yang telah mencapai nishobnya selama setahun, kepada orang-orang faqir/miskin dan yang lainnya, selain Bani Hasyim dan Bani Muthollib.”

Pengertian lainnya : “Nama untuk sesuatu yang diambil secara khusus, dari jenis harta yang khusus, yang mempunyai sifat-sifat yang khusus, dan diberikan (disalurkan) untuk golongan yang khusus (tertentu).”

(Maroji’ :Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (5/295), Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (3/262) dan Lisanul Arab (kamus) ) 

Sedangkan Al-Fithr, secara bahasa berasal dari As-Syaq (pecah atau terbelah) (lihat QS Al-Infithor : 1). Dikatakan : “Tafaththorot Qodamaahu” (pecah-pecah atau terbelah telapak kakinya). Maka dari makna itulah diambil al-fithr tersebut untuk orang yang berpuasa, sehingga kalau dikatakan “Fathoro As-Shooimu” (telah berbuka orang yang berpuasa), karena ia membuka mulutnya, seolah-olah orang yang berpuasa itu membelah/memecah puasanya (yakni telah selesai ibadah puasanya tersebut di bulan romadhon) dengan makan (berbuka/berhari raya).”

Sehingga dari penjelasan di atas, Zakat Fitri (Zakat Fitrah) adalah “Shodaqoh yang diwajibkan dengan sebab Fithr (berbuka/berhari raya) dari puasa Romadhon.” Wallohu a’lam bis showab.
(Maroji’ : Mu’jam Tahdzibul Lughoh, pada materi kata “Fathoro”,  Al-Mughni (3/55), Nailul Ma-aarib (2/389), Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyyah (23/335) )


MENGAPA DINAMAI ZAKAT FITHRI ?

Sebagian ulama mengatakan : “Disandarkan zakat ini kepada Al-Fithr (yakni dinamai sebagai Zakat Fithri/Zakat Fitrah), karena zakat ini diwajibkan karena Fithr (berbuka) dari puasa Romadhon.” (yakni kewajiban zakat ini dikeluarkan di akhir Romadhon, sebagai tanda telah berakhirnya/selesainya ibadah puasa romadhon, wallohu a’lam, edt.)

Sedangkan Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rohimahulloh mengatakan : “Yang dimaksud Shodaqoh Fitri (Zakat Fitri) adalah shodaqoh jiwa, yang diambil dari istilah Fitroh, yang merupakan asal penciptaan manusia, sebagaimana dalam firman Alloh ta’ala (yang artinya) : “….(sesuai) fitrah Alloh, Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu…..” (QS Ar-Ruum : 30), maknanya : “Yakni menurut penciptaannya, yang manusia diciptakan atasnya (menurut fitrah tersebut).”

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh menegaskan : “Pendapat yang pertama itulah yang nampak (benar).” Dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadits Ibnu Umar rodhiyalohu ‘anhuma :“Bahwasannya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memfardhukan/mewajibkan zatat fitri dari bulan romadhon…” (HR Al-Bukhori no. 1503 dan Muslim no. 984)


APA HIKMAH DISYARI’ATKANNYA ZAKAT FITRI ITU ?

Hikmahnya dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Abbas rodhoyallohu ‘anhuma, beliau berkata :“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memfardhukan zakat fitri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari laghwun (ucapan yang sia-sia) dan rofats (perkataan yang keji), dan sebagai pemberian makan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum sholat (ied), maka itu adalah zakat yang diterima.Barangsiapa menunaikannya sebelum sholat, maka itu hanyalah shodaqoh dari shodaqoh-shodaqoh biasa (bukan zakat fitri).”(HR Abu Dawud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827, sanad-sanadnya hasan).

Guru kami, Syaikh Zayid bin Hasan Al-Wushobi hafidzhohulloh menjelaskan : “Dalam hadits ini terdapat hikmah disyari’atkannya zakat fitri/zakat fitrah, yaitu : “bahwa zakat itu bisa membersihkan orang yang berpuasa dari perkara-perkara yang terjadi ketika dia sedang berpuasa, berupa laghwun (perbuatan/perkataan yang sia-sia), perkataan yang jelek, dan apa-apa yang terjadi antara dirinya dengan istrinya, dan lain-lain.

Disamping itu, zakat fitri juga bisa menjadi sarana untuk menyayangi/menyantuni orang-orang fakir miskin dan memberi makan kepada mereka di hari iedul fitri, yang sepantasnya bagi kaum muslimin untuk tidak mendapati mereka dalam keadaan kelaparan dan kekurangan, dan sepantasnya pula untuk bekerja sama dengan sesama muslim lainnya untuk mewujudkan kesenangan mereka (orang-orang fakir miskin tersebut) dan (kebahagian) di hari raya mereka.”

(Maroji’ :Nailul Author (5/386), Fathu Dzil Jalali Wal Ikrom,Syarh Bulughil Marom(6/203) dan Taudhihul Ahkam Min Bulughil Marom (3/380) )


APA HUKUMNYA ZAKAT FITRI / FITRAH ITU ?

Zakat Fitri itu hukumnya wajib atas setiap muslim. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ahlul ilmi, bahkan dinukilkan oleh banyak para ulama adanya ijma’ (kesepakatan para ulama) dalam masalah ini.

Al-Imam Ibnul Mundzir rohimahulloh berkata : “Umumnya ahlul ilmi telah sepakat bahwa shodaqoh fitri itu adalah fardhu/wajib.” Ishaq rohimahulloh juga berkata : “Perkara ini seperti ada ijma’ (kesepakatan) diantara ahlul ilmi.” Al-Baihaqi rohimahulloh juga berkata : “Para ulama telah sepakat atas wajibnya shodaqoh fitri ini.”

Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :

1.      Keumuman firman Alloh ta’ala : (وءاتوا ازكوة) “Dan tunaikanlah/bayarlah zakat” (QS Al-Baqoroh : 43). Termasuk zakat yang diperintahkan dalam ayat ini adalah Zakat Fitri/Fitrah.

2.      Hadits Ibnu Abbas rodhiyalohu ‘anhuma, beliau berkata :“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memfardhukan zakat fitri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari laghwun (ucapan yang sia-sia) dan rofats (perkataan yang keji), dan sebagai pemberian makan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum sholat (ied), maka itu adalah zakat yang diterima. Barangsiapa menunaikannya sebelum sholat, maka itu hanyalah shodaqoh dari shodaqoh-shodaqoh biasa (bukan zakat fitri).” (HR Abu Dawud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827, sanad-sanadnya hasan).


3.      Hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma, dengan lafadz : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah memfardhukan zakat fitri….” Dalam lafadz lainnya : “telah memerintahkan….” (HR Al-Bukhori no. 1503 dan 1507, dan Muslim no. 984). Makna “farodho” (memfardhukan) yaitu mengharuskan dan mewajibkan.

Kemudian sebenarnya disana ada pendapat-pendapat lainnya dari kalangan para ulama, ada yang mengatakan hukumnya Sunnah Mu’akkadah, ada yang mengatakan hukumnya Mansukh (telah dihapus) dan lain-lain, namun semuanya marjuh (lemah, tidak shohih)
Yang shohih (benar) dan rojih (kuat dan terpilih) adalah sebagaimana penjelasan di atas dengan dalil-dalilnya, wallohu a’lam bis showab.

(Maroji’ :Al-Isyrof (3/61), Sunan Al-Baihaqi (4/159), Al-Muhalla (no. 704), Al-Bayan (3/350), Al-Mughni (3/55), Al-Majmu’ (6/23) dan Fathul Bari (3/368) )



KEPADA SIAPAKAH ZAKAT FITRI ITU DIWAJIBKAN ?

Jawabannya dijelaskan dalam hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata :“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memfardhukan zakat fitri, satu sho’ dari tamr (kurma) atau satu sho’ dari sya’ir (gandum), atas budak (hamba sahaya) atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang besar/dewasa, dari kalangan kaum msulimin. Dan beliau memerintahkan untuk menunaikannya sebelum manusia/orang-orang keluar untuk sholat (ied).” (HR Al-Bukhori no. 1503 dan Muslim no. 984)

Ibnul Mundzir rohimahulloh berkata : “Para ulama telah sepakat bahwa zakat fitri itu diwajibkan atas seseorang apabila memungkinkan baginya untuk menunaikannya dari dirinya sendiri, anak-anaknya dan anak-anak yang tidak mempunyai harta (anak-anak yatim dll). Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang anak-anak yang mempunyai harta (warisan yang cukup dari orang tuanya).”

Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata : “Zakat fitri itu diwajibkan atas setiap orang Islam, yang kecil maupun yang besar, para laki-laki ataupun para wanita. Ini adalah pendapat umumnya ahlul ilmi (para ulama). Diwajibkan pula atas anak yatim, hendaknya wali anak yatim tersebut mengeluarkan zakatnya dari harta anak yatim tersebut, dalam masalah ini tidak ada khilaf diantara para ulama, kecuali Muhammad bin Al-Hasan, dia berkata : “Tidak ada kewajiban shodaqoh/zakat bagi harta anak-anak kecil (yatim) dari kalangan kaum muslimin.” Adapun Al-Hasan Al-Bashri dan As-Sya’bi berpendapat : “Shodaqoh fitri itu diwajibkan atas orang-orang yang berpuasa dari kalangan orang yang merdeka (bukan budak) dan juga para budak.” (Al-Mughni, 4/283)

Ibnu Rusyd rohimahulloh berkata : “Sesungguhnya para ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa zakat fitrah itu diwajibkan bagi seseorang atas dirinya, dan bahwasannya zakat fitrah itu adalah zakat badan bukan zakat harta, dan zakat itu diwajibkan pula bagi anak kecil apabila dia mempunyai harta (warisan dari orang tuanya), demikian pula zakat itu dikeluarkan atas budak-budaknya (yakni dibayarkan oleh majikannya) bila budak itu tidak mempunyai harta (untuk zakat). Kemudian para ulama khilaf (berselisih pendapat) tentang perkara=perkara selain itu..” Wallohu a’lam.

(Maroji’ :Al-Isyrof (3/61), Al-Bidayah (2/130), Al-Bayan (3/352), Al-Mughni (3/55) )


APAKAH JANIN (CALON BAYI) YANG MASIH ADA DALAM KANDUNGAN JUGA WAJIB DIKELUARKAN ZAKAT UNTUKNYA ?

Dalam masalah ini ada dua pendapat para ulama sebagai berikut :

PENDAPAT PERTAMA : Tidak ada kewajiban zakat fitri bagi janin yang masih ada dalam perut/kandungan. Ini adalah pendapat jumhur ahlul ilmi, bahkan dinukilkan oleh Ibnul Mundzir adanya ijma’ (kesepakatan) dalam masalah ini, beliau berkata : “Setiap orang dari para ulama seluruh negeri yang dihapal dari pendapat mereka adalah (mengatakan) : “tidak wajib bagi seseorang untuk mengeluarkan zakat fitri dari janin yang masih ada dalam perut/kandungan ibunya….., adapun Imam Ahmad bin Hambal beliau hanya mensunnahkan yang demikian itu dan tidak mewajibkan.”

PENDAPAT KEDUA : wajib dikeluarkan zakat fitrinya atas janin. Ini adalah salah satu riwayat dari pendapatnya Imam Ahmad, demikian pula pendapatnya Ibnu Hazm rohimahulloh, akan tetapi mereka menentukan khususnya untuk janin yang sudah berumur 120 hari dari kehamilan ibunya.

Yang shohih (benar) dari pendapat tersebut di atas adalah pendapat pertama, yakni tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitri bagi janin yang masih dalam kandungan seorang ibu. Tetapi jika mengeluarkannya bukan untuk suatu kewajiban,  yakni hanya sunnah saja, yang seperti ini tidak mengapa, wallohu a’lam. Tetapi tentunya setelah terjadinya peniupan ruh pada janin tersebut (setelah usia 120 hari atau lebih), berdasarkan hadits Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu (HR Al-Bukhori no 3208 dan Muslim 2643).

Dari hadits Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu itu pula, diambil faedah oleh para ulama bahwa janin apabila mengalami keguguran sebelum berusia 120 hari, maka tidak perlu dimandikan, tidak dikafani dan tidak disholati. Tetapi kalau keguguran setelah lebih dari 120 hari, maka harus dimandikan, dikafani dan disholati serta dikuburkan di pekuburan/pemakaman kaum muslimin.

Demikian pula masalah zakat ini, apabila dikeluarkan untuk janin tetapi bukan sebagai suatu kewajiban/keharusan, maka yang demikian tidak mengapa, wallohu a’lam. 

Adapun menganggapnya wajib dikeluarkan, seperti pendapatnya Ibnu Hazm rohimahulloh, maka hal itu tidak benar, karena kehamilan (kandungan) itu bukanlah suatu yang hakiki, demikian juga tidak bisa dikatakan sebagai anak kecil, baik secara bahasa msupun secara ‘urf (kebiasaan/adat di masyarakat).”

Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata : “Dan juga karena (bagi janin tersebut) tidak bisa ditetapkan baginya hukum-hukum dunia, kecuali hanya dalam masalah Al-Irts (warisan) dan wasiat, dengan syarat janin tersebut nanti akan keluar dalam keadaan hidup (tidak mati), wallohu a’lam.”

(Maroji’ :Al-Isyrof (3/72), Al-Mughni (3/80), Al-Majmu’ (6/105), Fathul Bari (3/369), Nailul Ma-aarib (2/391) dan Asy-Syarhul Mumti’ (6/161) )


SIAPAKAH GOLONGAN ORANG-ORANG YANG BERHAK UNTUK MENERIMA ZAKAT FITRI / FITRAH ?

Dalam masalah ini ada perselisihan di antara para ulama sebagai berikut :

PENDAPAT PERTAMA : Zakat Fitri itu tidaklah diberikan kecuali hanya untuk orang-orang miskin. Adapun golongan lainnya yang disebutkan dalam ayat yang menjelaskan tentang golongan-golongan penerima zakat (yakni surat At-Taubah ayat 60) mereka tidak mendapatkan zakat fithri/zakat fitrah.

Ini adalah pendapatnya para ulama Malikiyyah, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah, As-Syaukani dan Syaikh Al-Albani rohimahulloh.

Dalilnya adalah hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata :“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memfardhukan zakat fitri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari laghwun (ucapan yang sia-sia) dan rofats (perkataan yang keji), dan sebagai pemberian makan bagi orang-orang miskin…..”(HR Abu Dawud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827, sanad-sanadnya hasan).

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rohimahulloh berkata : “Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas tersebut : (“sebagai pemberian makan bagi orang-orang miskin”), memberikan faedah “pembatasan” untuk orang-orang miskin saja (yakni zakat fitrah itu dibatasi hanya dikeluarkan (diberikan) untuk orang-orang miskin saja, tidak kepada yang lainnya,edt.), sedangkan ayat yang disebutkan itu (yakni surat At-taubah ayat 60) sesungguhnya hanyalah untuk shodaqoh harta (zakat maal), bukan untuk shodaqoh fithri.” (Tamamul Minnah, hal. 387)

PENDAPAT KEDUA : Zakat Fithri itu boleh dikeluarkan/diberikan untuk golongan orang-orang yang berhak menerima zakat harta, seperti yang disebutkan dalam firman Alloh ta’ala :

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٦٠)

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah : 60)

Pendapat yang kedua ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ahlul ilmi.

Guru kami, Syaikh Zayid bin Hasan Al-Wushobi hafidzhohulloh menyatakan :“Yang aqrob (dekat dengan kebenaran) adalah pendapat pertama.” Wallohu a’lam bis showab.

Catatan : Masuk dalam pengertian orang-orang miskin adalah orang-orang fakir, khususnya bagi para ulama yang membedakan pengertian keduanya, karena orang yang fakir itu lebih berhajat (berkeperluan/berkepentingan) terhadap zakat daripada orang-orang miskin, wallohu a’lam.

Al-Imroni rohimahulloh berkata : “Al-Faqir, bila dimutlakkan penamaannya, maka hal itu meliputi orang-orang fakir dan miskin. Demikian pula Al-Miskin, bila dimutlakkan penamaannya maka meliputi juga orang-orang miskin dan fakir. Apabila keduanya bersamaan keberadaannya dalam satu kalimat, maka keduanya memiliki makna yang berbeda satu dengan lainnya.”

(Maroji’ :Al-Isyrof (3/75), Al-Mughni (3/78), Al-Bayan (3/408), Majmu’ Al-Fatawa (25/72), As-Sailul Jaror (1/843), Tamamul Minnah (hal. 387), Taisirul Fiqhi Al-Jami’, lil Ikhtiyarotil Fiqhiyyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (1/412) )  


BERAPAKAH KADAR (UKURAN) ZAKAT FITRI YANG HARUS DIKELUARKAN OLEH SETIAP INDIVIDU MUSLIM ITU ?

Dalam masalah inipun ada perbedaan pendapat diantara para ulama, sebagai berikut :

Pendapat Pertama : Wajib bagi setiap muslim mengeluarkan zakat fithri itu sebesar satu sho’ dari berbagai jenis makanan apapun, apakah itu berupa burr (biji gandum) atau tamr (kurma) atau yang lainnya, dan tidak cukup bila kurang dari satu sho’ tersebut.

Ini adalah pendapat Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu, Al-Hasan Al-Bashri, Abul Aliyah, Jabir bin Zaid, Malik, As-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq rohimahumulloh ajma’in.

Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma :“Bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memfardhukan (mewajibkan) zakat fithri (seukuran) satu sho’ dari tamr (kurma), atau satu sho’ dari syair (gandum), atas tiap-tiap orang yang merdeka atau budak atau laki-laki atau wanita, dari kalangan orang-orang muslim.” (HR Al-Bukhori no. 1504 dan Muslim no. 984)

Juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :“Kami biasa memberikan (zakat fithri) di jaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam (seukuran) satu sho’ dari makanan, atau sho’ dari tamr (kurma), atau satu sho’ dari sya’ir, atau satu sho’ dari zabib (anggur kering)…….” (HR Al-Bukhori no. 1508 dan Muslim no. 985)

Dalam lafadz lainnya, Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu anhu menjelaskan rincian apa yang dimaksud “makanan” dalam hadits tersebut :“Makanan kami ketika itu adalah sya’ir, zabib, aqid dan tamr.” (HR Al-Bukhori no. 1510)

Dalam lafadz yang lainnya dari hadits Abu Sai’d Al-Khudri juga :“Tidaklah aku mengeluarkan zakat fithri itu kecuali apa yang telah aku keluarkan pada jaman Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, (yakni seukuran) satu sho’ dari tamr, atau satu sho’ dari zabib,  atau satu sho’ dari sya’ir, satu sho’ dari aqid (susu kering yang tidak dihilangkan kejunya).” (HR Imam Muslim no. 985 riwayat ke-21)

PENDAPAT KEDUA : Telah mencukupi untuk zakat bila memberikan setengah sho’ dari bur (biji gandum atau sejenis gandum yang masih kasar) secara khusus, adapun jenis bahan makanan lainnya tidak mencukupi bila kurang dari satu sho’ (yakni semuanya tetap seukuran satu sho’ kecuali bur boleh kurang dari satu sho’)

Ini adalah pendapat Abu Bakar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Jabir bin Abdillah, Abu Huroiroh, Ibnu Zubair, Mu’awwiyah, dan Asma’ rodhiyallohu ‘anhum ajma’in. Ibnu Mundzir rohimahulloh berkata : “Tetapi atsar dari Abu Bakar dan Utsman tidaklah tsabit/shohih dari keduanya..”

Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh berkata : “Selanjutnya Ibnul Mundzir membawakan sanad-sanad atsar para sahabat tersebut di atas dari Utsman, Ali, Abu Huroiroh, Jabir, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair dan Ibunya, Asma’ bintu Abi Bakr rodhiyallohu ‘anhum ajma’in dengan sanad-sanad yang shohih, bahwasannya mereka semua berpendapat : bolehnya zakat fithri (seukuran) setengah sho’ dari qumh (sama dengan hinthoh, yaitu gandum).

Hal itu juga merupakan pendapatnya Sa’id bin Al-Musayyab, Atho’, Thowus, Mujahid, Umar bin Abdul Aziz, Urwah bin Az-Zubair, Abu Salamah, Sa’id bin Jubair, dan Ashabur Ro’yi (yakni Abu Hanifah dan para pengikutnya), Atsauri dan lain-lain, Jauziyyah dan Syaikh Al-Albani rohimahumulloh ajma’in.

Dalil mereka, hadits-hadits yang menerangkan perkara tersebut, bahwa ukuran setengah sho’ dari qumh itu sebanding atau senilai dengan satu sho’ dari yang lainnya. Ibnul Qoyyim rohimahulloh setelah menyebutkan dalil-dalilnya, beliau berkata : “Tentang hal ini diriwayatkan dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang mursal, tetapi kemudian menjadi kuat karena riwayat satu dengan yang lainnya saling menguatkan.”

Syaikh Al-Albani rohimahulloh juga membawakan riwayat dari Asma’ dengan sanad-sanad yang shohih.


LALU MANA YANG SHOHIH DARI DUA PENDAPAT TERSEBUT DI ATAS ?

Guru kami, Syaikh Zayid bin Hasan Al-Wushobi hafidzhohulloh menegaskan : “Yang benar adalah pendapat yang pertama, dikarenakan adanya hadits Abu Sa’id Al-Khudri dan Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma yang telah disebutkan di atas.”

Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnul Mundzir rohimahulloh, beliau berkata : “Kami tidak mengetahui khobar yang tsabit (yang shohih) dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang qumh yang bisa dijadikan sandaran. Dan ketika itu di Madinah tidak ada bur, kecuali sesuatu yang sangat sedikit.Ketika semakin banyak di jaman sahabat (setelah wafatnya Rosululloh), maka mereka berpendapat bahwa setengah sho’ dari qumh senilai dengan satu sho’ dari sya’ir.” Wallohu a’lam bis showab.

(Maroji’ : Al-Isyrof (3/77), Al-Bayan (3/372), Al-Mughni (3/57), Zaadul Ma’aad (2/19), I’laamul Muwaqqi’in (5/148), Fathul Bari (3/374), Al-Ikhtiyarot (hal. 118) karya Al-Ba’liy, Nailul Author (5/381), Tamamul Minnah (hal. 386) dan As-Syarhul Mumti’ (6/176) )


BERAPAKAH UKURAN SATU SHO’ DAN SATU MUD PADA JAMAN KITA SEKARANG INI ?

Sho’ (صاع) adalah suatu nilai dari takaran suatu benda, yang sebanding dengan empat mud. Bentuk mudzakarnya adalah ashwa’ (أصوع), bentuk mu’annatsnya adalah ashwaa’ (أصواع), bentuk jamaknya :  Ashwu’, Ashwaa’, Shuwu’ dan Shii’aan.

Adapun Mud, suatu nilai dari takaran suatu benda yang sebanding dengan seperempat sho’, bentuk jama’nya adalah : Amdaad, Madad, Madaad. Dan Mud itu sendiri asalnya adalah ukuran atau takaran dengan menggunakan dua genggaman tangan seseorang yang berukuran sedang, untuk memenuhinya dengan bahan makanan.

Para ulama telah sepakat bahwa satu sho’ itu sebanding atau senilai dengan empat mud yang merupakan takaran penduduk Madinah di jaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh menjelaskan : “Adapun ukuran zakat fithr adalah satu sho’ dengan ukuran sho’ Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, yang timbangannya setara dengan 480 misyqol dari bur yang bagus, kalau dengan ukuran gram adalah 2,15 kg dari bur yang bagus……..Karena itulah bila seseorang ingin mengetahui berapakah ukuran satu sho’ Nabi, hendaknya dia menimbang 2 kilo lebih 40 gram (2,040 kg) dari bur dan meletakkannya pada suatu bejana dan memenuhinya dengan ukuran seperti itu, lalu dia menakarnya.”

Dalam Fatawa Arkanil Islam, Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh ketika ditanya tentang berapa ukuran satu sho’ bila diukur dengan kilo, beliau juga menjawab : “Dua kilo lebih empat puluh gram (2,040 kg).”

Adapun Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Tetap untuk urusan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) menyatakan : “Ukuran yang wajib untuk zakat fithri bagi setiap individu muslim adalah satu sho’ dengan sho’ Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan bila diukur dengan kilo adalah kurang lebih 3 kg.”

Syaikh Abdullah Al-Bassam rohimahulloh menyatakan : “Satu sho’ Nabawi adalah 3 kilogram dari hinthoh (gandum) yang bagus.”

Syaikh kami, Syaikh Zayid bin Hasan Al-Wushobi hafidzhohulloh mengatakan : “Yang nampak benar (menurut kami) bahwa pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh lebih tepat, karena satu sho’ itu ukuran timbangannya setara dengan 2,040 kilogram (dua kilo lebih 40 gram), wallohu a’lam.”

Jadi, kami (yang menulis risalah ini) bisa mengatakan : bahwa apa yang biasa dilakukan kaum muslimin di Indonesia dengan mengeluarkan zakat fithri dengan beras seberat 2,5 atau 3 kg itu insya Alloh sudah tepat (dalam pengertian, tidak sampai kurang dari yang ditentukan, bahkan lebih). Adapun kelebihannya boleh diniatkan untuk shodaqoh, wallohu a’lam bis showab.

(Maroji’ : Al-Bayan (3/373), Lisanul Arob (7/442) dan (13/53), Nailul Ma’aarib (2/367), Majaalis Syahri Romadhon (hal. 174),  As-Syarhul Mumti’ (6/176), Taudhihul Ahkam (3/374), Fatawa Lajnah Ad-Daimah (9/371) dan Nawaazilu Az-Zakah (hal. 93 dan 103), karya Dr Abdullah Al-Ghufaily waffaqohulloh)


APA SAJA JENIS BAHAN MAKANAN YANG DIBOLEHKAN UNTUK BERZAKAT FITRI/FITRAH DENGANNYA ?

Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini, tetapi yang shohih adalah bahwa zakat fithri itu dikeluarkan sesuai dengan jenis bahan makanan pokok penduduk negeri tersebut.

Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu yang telah lalu, beliau berkata :“Kami biasa memberikan (zakat fithri) di jaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam (seukuran) satu sho’ dari makanan, atau sho’ dari tamr (kurma), atau satu sho’ dari sya’ir, atau satu sho’ dari zabib (anggur kering)…….” (HR Al-Bukhori no. 1508 dan Muslim no. 985)

Dalam lafadz lainnya, Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu anhu menjelaskan rincian apa yang dimaksud “makanan” dalam hadits tersebut :“Makanan kami ketika itu adalah sya’ir, zabib, aqid dan tamr.” (HR Al-Bukhori no. 1510)

Perkataan Abu Sa’id Al-Khudri : (“makanan kami ketika itu….”), menunjukkan jenis-jenis makanan yang mereka makan saat itu, tidak menyebutkan yang lainnya, boleh jadi karena sedikitnya dan jarangnya makanan yang lain, seperti bur, atau karena memang tidak ada sama sekali yang lainnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata : “Sesungguhnya asal dari  shodaqoh (zakat) adalah diwajibkan untuk meluaskan/memberikan kelapangan bagi  orang-orang fakir miskin, sebagaimana firman Alloh ta’ala (yang artinya) : “Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu…” (QS Al-Maidah : 89)

Ibnul Qoyyim rohimahulloh – setelah menyebutkan beberapa jenis bahan makanan yang tersebut dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu – beliau kemudian berkata : “Jenis-jenis makanan ini adalah makanan pokok kebanyakan penduduk Madinah. Adapun penduduk negeri lain atau tempat-tempat lainnya yang makanannya selain itu, maka yang diwajibkan (untuk mengeluarkan zakatnya) adalah satu sho’ dari makanan pokok mereka, seperti makanan pokok mereka yang berupa dzurroh (jagung), arruz (beras) atau yang selain itu dari biji-bijian.Jika makanan pokok mereka selain dari biji-bijian, seperti susu, daging atau ikan, maka mereka mengeluarkan zakat dengan makanan pokoknya tersebut apapun bentuknya. Ini adalah pendapat jumhur ulama, dan inilah pendapat yang benar yang tidak ada lagi pendapat (yang benar) selain ini, bila memang maksud atau tujuan (dikeluarkan zakat tersebut) adalah untuk memberikan kelapangan bagi orang-orang miskin di hari raya (idul fithri), dengan memberikan jenis makanan pokok yang sesuai dengan penduduk negeri mereka.”

Syaikh kami, Syaikh Zayid Al-Wushobi hafidzhohulloh menegaskan pula : “Yang utama adalah mengeluarkan zakat fithri dengan apa yang bisa memberikan manfaat bagi orang-orang fakir miskin yang berupa beras, atau bur, atau zabib, atau tamr, atau yang selain itu (dari makanan pokok mereka), wallohu a’lamu bis showab.”

Dan perlu diketahui juga, mayoritas makanan pokok penduduk di seluruh negeri sekarang ini adalah beras, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh : “Pada waktu kita sekarang ini, kami dapati yang paling banyak dari makanan pokok mereka adalah beras.”

(Maroji’ :Al-Isyrof (3/78), Al-Bayan (3/374), Al-Mughni (3/62), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/112), Majmu’ Al-Fatawa (25/68), I’lamul Muwaqqi’in (3/16), dan As-Syarhul Mumti’ (6/180) )


BOLEHKAH MEMBAYAR ZAKAT FITRI/FITRAH DENGAN HARGANYA (YAKNI DENGAN UANG) ?

Dalam masalah ini pun ada perbedaan pendapat diantara para ulama, tetapi ringkasnya yang shohih dan rojih adalah :  TIDAK SAH MEMBAYAR ZAKAT FITRI DENGAN UANG.
  
Ini adalah pendapat Jumhur ulama, diantaranya Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan Ibnul Mundzir, serta para ulama madzhab Dhohiriyyah.

Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar dan Abu sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhuma yang telah disebutkan lalu. Di dalam kedua hadits tersebut dijelaskan tentang jenis-jenis bahan makanan yang dikeluarkan zakatnya.

Demikian pula dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata :“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memfardhukan zakat fitri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari laghwun (ucapan yang sia-sia) dan rofats (perkataan yang keji), dan sebagai pemberian makan bagi orang-orang miskin….” (HR Abu Dawud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827, sanad-sanadnya hasan).

Sisi pendalilan dari hadits ini : bahwa pemberian makanan untuk orang-orang miskin tidaklah bisa diwujudkan kecuali dengan apa yang bisa dimakan oleh mereka, bukan dengan dirham (harganya), yang mana dengan makanan itu pula tercapailah hajat mereka.

Disamping itu, tidak diketahui adanya seorang sahabat pun dari para sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam yang mengeluarkan zakat fithri dengan harganya (uang) sebagai ganti dari jenis-jenis bahan makanan yang tersebut dalam hadits.

Guru kami, Syaikh Zayid bin Hasan Al-Wushobi hafidzhohulloh menambahkan lagi : “(Disamping itu pula) bahwa harta/uang itu telah ada di jaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, tetapi beliau tidak menganjurkan para sahabat untuk membayar zakat dengannya, justru beliau membimbing/menganjurkan mereka untuk menunaikan zakat dengan apa yang tersebut dalam hadits berupa jenis-jenis makanan pokok. Maka barangsiapa berpendapat dengan pendapat selain ini, sungguh dia telah menyelisihi petunjuk Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam.

Sungguh, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

“Barangsiapa membuat-buat perkara baru dalam agama kami ini dengan apa yang tidak berasal dari agama ini, maka (amalannya itu) tertolak (tidak diterima Alloh).” Ini ada dalam As-Shohihain, kemudian dalam lafadz lainnya menurut Imam Muslim :

“Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka (amalannya itu) tertolak.”

Kemudian dalam hadits Jabir rodhiyallohu ‘anhuma, disebutkan sebuat hadits yang didalamnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan (muhdats/bid’ah), dan semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR Imam Muslim no. 867)

Pendapat seperti tersebut di atas pula yang dirojihkan oleh guru kami yang lainnya, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh, dalam kitab beliau Fathul ‘Allam fii Dirosati Ahaadits Bulughil Marom (2/499), wallohu a’lam.

(Maroji’ : Al-Isyrof (3/80), Al-Mughni (3/65), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/112), Syarh Shohih Muslim (no. 684), Nailul Ma-aarib (2/394), Nawazilu Az-Zakah (hal. 521) )


KAPANKAH WAKTU DISYARI’ATKANNYA MENGELUARKAN ZAKAT FITRI ITU ?

Dalam masalah ini, ada dua waktu bagi kita untuk mengeluarkan zakat fithri, yaitu : waktu yang wajib, dan waktu yang mubah (dibolehkan).

Waktu yang diwajibkan adalah ketika terbitnya fajar shodiq (telah masuk waktu shubuh) pada pagi hari raya Idhul Fithri. Artinya, ini adalah waktu terakhir diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fithri bagi orang-orang yang belum menunaikannya sampai sebelum sholat ied ditegakkan. (Hal ini berdasarkan pandangan/pendapat yang paling shohih dari beberapa pendapat para ulama)

Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Al-Laits, Abu Tsaur, para ulama Dhohiriyyah, satu pendapat dari pendapatnya Imam Malik dan juga pendapat Imam As-Syafi’i yang lama (dalam hal ini imam As-Syafi’i punya dua pendapat)

Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata :“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memfardhukan zakat fitri, satu sho’ dari tamr (kurma) atau satu sho’ dari sya’ir (gandum), atas budak (hamba sahaya) atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang besar/dewasa, dari kalangan kaum msulimin. Dan beliau memerintahkan untuk menunaikannya sebelum manusia/orang-orang keluar untuk sholat (ied).” (HR Al-Bukhori no. 1503 dan Muslim no. 984)

Pendapat inilah yang dirojihkan oleh guru kami, Syaikh Zayid bin Hasan Al-Wushobi hafidzhohulloh (Ahkamu Zakatil Fithri, hal. 70-72).

Sedangkan guru kami yang lainnya, yakni Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh berpendapat lain, yakni waktu diwajibkan menunuaikan zakat fithri adalah ketika tenggelamnya matahari di akhir Romadhon (yakni pada malam idul fitri, edt.).  (Fathul ‘Allam, 2/502)

Adapun pendapat yang menenangkan hati kami adalah pendapat pertama tersebut di atas, karena kesesuaiannya dengan dalil dari hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhu tersebut, wallohu a’lam bis showab.

(Maroji’ :Al-Muhalla (no. 718), Al-Bayan (3/365), Al-Mughni (3/67), Al-Mufhim (3/19), Al-Majmu’ (6/109), Fathul Bari (3/368), As-Syarhul Mumti’ (6/166) )

Kemudian, waktu yang dibolehkan untuk menunaikan zakat fithri adalah sehari atau dua hari sebelum hari raya Idul Fithri. Pendapat ini adalah kesepakatan dari para Imam yang empat, yakni Abu Hanifah, Malik, As-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal rohimahumulloh ajma’in.

Dalilnya adalah sebuah atsar dari Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma, yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwatththo’ (1/285), dari Nafi’ dia berkata :

“Bahwasannya Abdulloh bin Umar mengutus orang untuk membayarkan zakat fithrinya kepada orang yang bertugas mengumpulkan zakat fithri, dua hari atau tiga hari sebelum Idhul Fithri.” (sanadnya shohih)

Juga sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhori dalam Shohih-nya (no. 1511), dari Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma dia berkata : “Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memfardhukan shodaqoh fithri (zakat fithri) ……….dst ( lalu di akhir hadist disebutkan ) :

“Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma menyerahkan zakat fithri kepada orang yang bertugas menerimanya/mengumpulkannya, dan juga mereka (para sahabat lainnya) menyerahkannya sehari atau dua hari sebelum Idul Fithri.”

Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan : “Hal ini mengisyaratkan kebersamaan mereka, sehingga (seolah-olah) menjadi ijma’ (kesepakatan), karena menyegerakan penunaian zakat fithri pada waktu-waktu tersebut tidaklah kosong dari maksud/tujuan dilakukannya. Karena dhohir hadits tersebut menunjukkan tetap berlakunya hal itu atau sebagiannya sampai hari raya Idul Fithri…….”.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh mengatakan : “Boleh untuk mendahulukan/menyegerakan dalam menunaikan zakat fithri sehari atau dua hari sebelum Idul Fithri, yakni pada hari ke 29 Romadhon. Karena apabila kita mengeluarkan zakat fithri itu pada tanggal 28 Romadhon, maka ini dalam bahaya, karena kalau ternyata romadhon itu genap 30 hari, maka berarti dia membayar zakat tiga hari sebelum ied, maka ini tidak boleh, oleh karena itu hendaknya dia mengeluarkan zakatnya pada hari ke-29 Romadhon, karena manusia (yakni para sahabat semuanya, edt.) mereka menyerahkan zakat tersebut sehari atau dua hari sebelum Idhul Fithri.”

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh (beliau ini termasuk yang berpendapat bahwa waktu yang wajib mengeluarkan zakat fithri adalah tepat pada malam hari raya idul fithri), beliau mempunyai pendapat yang lain dengan mengatakan :

“Larangan mengeluarkan zakat fithri sebelum waktunya adalah pendapat yang benar, kecuali bila hal itu dibutuhkan oleh orang-orang faqir miskin, maka tidak mengapa mendahulukan untuk mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum idhul fithri. Adapun apa yang dilakukan oleh para sahabat dengan mengeluarkan zakat fithri sehari atau dua hari sebelum idhul fithri, hal itu hanyalah untuk mengumpulkannya (pada amil yang diserahi tugas untuk itu), bukan diserahkan pada faqir miskin (sebagai zakat/shodaqoh untuk mereka), sebagaimana hal itu dijelaskan dalam Shohih Al-Bukhori (seperti tersebut di atas). Maka apabila zakat itu dikeluarkan sehari atau dua hari sebelum idhul fitri tetapi untuk mengumpulkannya (pada amil zakat), maka yang demikian itu tidak mengapa, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat rodhiyallohu ‘anhum ajma’in.” (Fathul ‘Allam, 2/504)

Wallohu a’lamu bis showab.
  
(Maroji’ :Al-Isyrof (3/74), Al-Bayan (3/367), Al-Muhalla (no. 718), Al-Mughni (3/68), Al-Majmu’ (6/109), As-Syarhul Mumti’ (6/170) dan Fathu Dzil Jalali wal Ikhrom (6/196) )

Demikianlah penjelasan ringkas tentang ZAKAT FITRI/FITRAH yang bisa kami sampaikan, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semuanya. Barokallohu fiikum.

Walhamdulillahi robbil ‘aalamiin………….

(Catatan : Pembahasan ini sebagian besarnya kami nukil dari kitab “AHKAMU ZAKATIL FITHRI” karya guru kami, As-Syaikh Abu Abdillah Zayid bin Hasan bin Sholih Al-Wushobi Al-Umari hafidzhohulloh, dan juga ada tambahan dari yang lainnya)


Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby

www.darul-ilmi-sby.blogspot.co.id