FIQH JANAIZ (JENASAH)

BEBERAPA PERMASALAHAN SEPUTAR TAKBIR DALAM IDUL FITHRI & IDUL ADHA

Image result for takbiran idul fitri


Apa hukumnya “takbir” (yakni “takbiran”dalam istilah yang dikenal di negeri kita, edt.) dalam Idul Fithri dan Idul Adha itu ?

Para ulama telah sepakat, bahwa takbir di Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha itu disyari’atkan. Hanya saja, salah satu riwayat dari Abu Hanifah dan An-Nakho’i berpendapat : “Tidak disyari’atkan takbir pada Idul Fithri.” Adapun Dawud Ad-Dhohiri berlebih-lebihan dalam masalah ini, sampai mengatakan : “Wajibnya takbir dalam Idul Fithri.”

Dan yang benar adalah bahwa takbir itu disyari’atkan untuk dua hari raya tersebut. Dalil yang menunjukkan hal itu, adalah hadits Ummu Athiyyah rodhiyallohu ‘anha, yang berkata :

أمرنا أن نخرج العوائق والحيض في العيدين : يشهدن الخير ودعوة المسلمين، ويعتزل الحيض المصلى [ وفي رواية لها زيادة : يكبرن مع الناس ]

“Kami diperintah (oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam) untuk mengeluarkan (yakni menyuruh keluar) para wanita pingitan, dan para wanita yang haid di dua hari raya, agar mereka bisa menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Dan untuk wanita yang haid, agar menjauhi tempat sholat (yakni dia berada di tempat yang paling belakang, edt.).” Dalam riwayat lainnya, juga masih dalam As-Shohihain ada tambahan : “agar para wanita itu juga ikut bertakbir bersama manusia/orang-orang yang lainnya.” (HR Imam Al-Bukhori no. 324 dan Imam Muslim no. 890)

Dan tentang takbir di hari raya ini pula, ditegaskan oleh Alloh Ta’ala dalam firman-Nya :

وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٨٥ 
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (yakni menyempurnakan bulan Romadhon tersebut, edt.) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (yakni bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS Al-Baqoroh : 185)

Alloh Ta’ala juga berfirman :

۞وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡدُودَٰتٖۚ ٢٠٣
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang ditentukan…..” (QS Al-Baqoroh : 203).

Ayat ini adalah perintah Alloh untuk berdzikir (diantaranya dengan bertakbir), yakni mulai pagi hari tanggal 9 Dzulhijjah (hari Arofah) dan berakhir hingga akhir hari Tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah) 

Demikianlah. Kesimpulannya, bertakbir (takbiran) adalah perkara yang disyari’atkan untuk dikumandangkan/dibaca pada dua hari raya, yakni Idul Fithri dan Idul Adha.


Kapankah waktu dimulainya mengumandangkan takbir tersebut, baik untuk Hari raya Idul Fithri maupun Idul Adha ? Dan kapan pula waktu terakhirnya ?

UNTUK TAKBIR IDUL FITHRI :

Para ulama berbeda pendapat tentang kapan waktu memulai bertakbir untuk hari raya Idul Fithri. Diantaranya sebagai berikut :

Pertama : Imam As-Syafi’i dan para sahabatnya (yakni para ulama madzhab Syafi’iyyah), demikian pula para ulama Hanabilah, mereka berpendapat : “Dimulai takbir itu adalah ketika telah nampak “hilal” Syawal (yakni terbitnya/munculnya bulan sabit tanggal 1 Syawal), dan tenggelamnya matahari di akhir Romadhon.”

Ini juga adalah pendapat dari Sa’id bin Al-Musayyab, Urwah bin Az-Zubair, Abu Salamah, Zaid bin Aslam, dan pendapat yang dipilih juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh.

Kedua : Sebagian ulama berpendapat : “Takbir itu dimulai ketika seseorang keluar dari rumahnya di pagi hari menuju ke tanah lapang untuk menunaikan sholat ied.”

Ini adalah pendapatnya Imam Malik dan Al-Auza’i rohimahulloh. Pendapat ini dianggap sebagai pendapatnya Jumhur ulama, tetapi ini tidak benar.   
   
Dari dua pendapat tersebut di atas, mana yang shohih ?

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh menegaskan : “Yang insya Alloh shohih (benar) adalah pendapat yang pertama. Hal itu karena Alloh Ta’ala menyebutkan tentang “takbir” setelah selesainya (sempurnanya) puasa Romadhon (sebagaimana di akhir surat Al-Baqoroh ayat 185 yang telah disebutkan di atas). Yang demikian itu (yakni disyari’atkannya untuk memulai takbir) itu adalah dengan tenggelamnya matahari di akhir Romadhon. Wallohu a’lamu bis showab. (lihat : Fathul ‘Allam, 2/192)

Hal ini juga sebagaimana yang dirojihkan oleh guru kami, Syaikh Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajury hafidzhohulloh, sebagaimana beliau sampaikan dalam pelajaran yang pernah kami dengar langsung dari beliau, wallohu a’lam bis showab.     

Selanjutnya, tentang waktu akhir bertakbir untuk Idul Fithri, kebanyakan ulama berpendapat : “Berakhirnya adalah dengan ditunaikannya sholat Ied.” Dan dalam masalah ini, tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama, walhamdulillah.

(lihat pembahasan seputar masalah ini dalam : Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (5/41), Al-Ausath (4/250), Al-Mughni (3/255) dan Majmu’ Al-Fatawa (24/221) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dll)



UNTUK TAKBIR IDUL ADHA :

Adapun tentang waktu dimulainya takbir untuk Idul Adha, para ulama juga berbeda pendapat :

Pertama : Bahwa awal waktu takbir adalah sejak dari waktu Shubuh pada hari Arofah (tanggal 9 Dzulhijjah). Ini adalah pendapat dari beberapa sahabat Nabi, diantaranya : Ali bin Abi Tholib, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhum ajma’in.

Dan ini juga pendapat Imam Ahmad, As-Syafi’i dalam salah satu pendapat, Ashabur Ro’yi dan sebagainya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh menyatakan hal ini adalah sebagai pendapat jumhur (mayoritas) fuqoha’.

Kedua : Bahwa awal waktu takbir adalah mulai dari waktu sholat Dhuhur di hari Nahr (hari raya Qurban, tanggal 10 Dzulhijjah). Hal itu karena para jama’ah haji ketika itu sibuk dengan memperbanyak talbiyyah sebelum waktu dhuhur itu.

Hal ini adalah pendapat yang datang dari Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma (tetapi di dalam sanadnya terdapat perowi bernama Abdulloh bin Umar Al-Umary, dia ini adalah dho’if). Juga pendapat dari Umar bin Abdul Aziz, Malik, dan Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapat yang masyhur dari beliau.

Dari dua pendapat tersebut, yang shohih (benar) adalah pendapat pertama. Hal ini berdasarkan hadits Anas rodhiyallohu ‘anhu dalam As-Shohihain (HR Imam Al-Bukhori no. 1659 dan Imam Muslim no. 1285), juga dalam hadits Ibnu Umar dalam Shohih Muslim :

“Bahwasannya mereka (para sahabat) berada pada hari Arofah (tanggal 9 Dzulhijjah), mereka berpagi-pagi menuju ke Arofah, diantara mereka ada yang bertalbiyyah, dan diantara mereka pula ada yang bertakbir. Salah seorang dari mereka tidak mengingkari sahabatnya yang lainnya.” (HR Imam Muslim no. 1284) 

Pendapat yang pertama itu pula yang dirojihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh, sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (24/220). Wallohu a’lam bis showab.

Kapan waktu akhir untuk takbirnya ?

Dalam masalah inipun ada beberapa pendapat para ulama sebagai berikut :

Pertama : Imam Ahmad bin Hambal dan Imam As-Syafi’i dalam salah satu pendapatnya menyatakan : Bahwa takbir itu berakhir pada waktu sholat Ashar di akhir hari Tasyriq (yakni tanggal 13 Dzulhijjah).

Ini adalah pendapatnya Ibnu Abbas, Ali bin Abi Tholib, dan juga Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhum ajma’in (tetapi yang dari Ibnu Umar, sanadnya dho’if, di dalamnya ada Hajjah bin Arthoh, dia dho’if). Ini juga pendapatnya Sufyan Ats-Tsaury dan Ishaq. Ibnu Rojab dan Syaikhul Islam menyatakan ini adalah pendapat kebanyakan para ulama. Pendapat ini yang dirojihkan oleh Syaikhul Islam dan Syaikh Bin Baaz rohimahulloh.

Kedua : Imam Malik dan Imam As-Syafi’i dalam pendapat yang masyhur dari beliau menyatakannya : Bahwa takbir itu terus berlangsung sampai sholat Shubuh di akhir hari Tasyriq (adapun setelah itu tidak ada lagi/berhenti, edt.). Ini juga pendapatnya Umar bin Abdul Aziz rohimahulloh.

Ketiga : Ashabur Ro’yi (Abu Hanifah dan pengikutnya, edt.) dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu serta para murid-muridnya berpendapat : Bahwa takbir itu berlangsung (hanya) sampai Sholat Ashar di Hari Nahr (tanggal 10 Dzulhijah).  

Mana yang rojih dari ketiga pendapat tersebut di atas ? 

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam rohimahulloh menyatakan : “Pendapat yang pertama itulah yang showab (benar). Hanya saja, tidak ditentukan bahwa berakhirnya takbir itu adalah di waktu Ashar, tetapi sampai tenggelamnya matahari (di akhir hari Tasyriq tersebut).

Adapun penentuan batas akhir takbir hanya sampai waktu sholat Ashar, hal itu bila ditinjau dari takbir yang “muqoyyad” (yakni yang terikat waktunya, yakni setelah selesai sholat fardhu). Dalil yang menunjukan halk itu adalah firman Alloh Ta’ala :

۞وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡدُودَٰتٖۚ ٢٠٣
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang ditentukan…..” (QS Al-Baqoroh : 203).  Beberapa hari yang ditentukan, maksudnya adalah hari-hari tasyriq.

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

أيام التشريق أيام أكل وشرب وذكر الله

“Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari makan, minum dan dzikrulloh.” (HR Imam Muslim no. 1141, dari Nabisyah Al-Hudzaly rodhiyallohu ‘anhu)

Dalil-dalil tersebut di atas menunjukan, bahwa takbir yang merupakan salah satu Dzikrulloh, boleh dibaca sepanjang hari-hari tasyriq (yakni secara keseluruhannya hari-hari tersebut). Barangsiapa memutus takbir sebelum selesainya hari-hari tasyriq tersebut, maka wajib baginya mendatangkan burhan/dalil.” (Fathul ‘Allam, 2/195) 


Kapankah dan dimanakah kita disyari’atkan untuk mengumandangkan takbir (takbiran) tersebut ?

Dalam masalah ini, Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh ketika memberikan penjelasan tentang takbir pada hari raya Idul Adha mengatakan sebagai berikut :

“Dzikir (yakni bertakbir) pada hari-hari tersebut, ada dua macam : 

Pertama, yang terikat waktunya setelah selesai sholat-sholat fardhu

Kedua, yang mutlak, boleh dilakukan di sembarang waktu (kapan saja dan dimana saja)

Adapun jenis yang pertama (yakni yang terikat waktunya setelah selesai sholat-sholat fardhu), para ulama bersepakat tentang disyari’atkannya takbir setelah selesai sholat-sholat fardhu pada hari-hari tasyriq tersebut secara global saja, tidak ada dalil hadits yang marfu’ lagi shohih (dalam masalah ini), hanya saja yang ada adalah atsar-atsar dari para sahabat dan orang-orang sesudah mereka. Dan kaum muslimin pun mengamalkannya (sampai hari ini).” (Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori, Kitabul Iedain, Bab 12) 

Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh juga menukilkan adanya Ijma’ (kesepakatan) para ulama tentang masalah tersebut (yakni disyari’atkannya takbir setelah selesai dari sholat-sholat fardhu), sebagaimana dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (5/32).

Akan tetapi, Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh menyatakan : “Meskipun demikian, yang kami pilih adalah bahwa seseorang itu hendaknya berdzikir setelah sholat fardhu lebih dulu (yakni dengan dzikir-dzikir ba’da sholat seperti biasanya), baru kemudian dia bertakbir sesuai kehendaknya. Hal itu karena tidaklah tsabit hadits dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bertakbir (secara langsung) setelah selesai sholat-sholat fardhu. Dan sebaik-baik petunjuk itu adalah petunjuk Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.” (Fathul Allam, 2/195)


Apakah dibolehkan bertakbir setelah menunaikan sholat-sholat sunnah ?

Dalam masalah ini, Abu Ja’far As-Shodiq dan Imam As-Syafi’i dalam salah satu pendapat beliau yang paling masyhur menyatakan : “Disunnahkan untuk bertakbir setelah sholat sunnah, sebagaimana bertakbir setelah sholat-sholat fardhu.” Ini juga adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir rohimahulloh.

Adapun mayoritas para ulama, mereka berpendapat : bahwa bertakbir itu hanyalah disunnahkan setelah sholat-sholat fardhu saja. Dan ini juga pendapat beberapa orang sahabat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Dan yang insya Alloh benar dalam masalah ini adalah : Tidak ada dalil yang shohih tentang disunnahkannya bertakbir setelah selesai sholat fardhu (sebagaimana penjelasan sebelum ini yang telah disebutkan di atas). Demikian pula setelah sholat-sholat sunnah. Jadi, bertakbir itu kapan saja boleh, baik yang terikat waktunya setelah selesai sholat, maupun di sembarang waktu. Wallohu a’lamu bis showab.

(lihat : Al-Ausath (4/308), dan Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori, dalam Kitabul Iedain, Bab 12) 


Bagaimanakah lafazd takbir yang benar itu ? Dan bagaimanakah cara mengumandangkan takbir tersebut, dengan cara berjama’ah (bersama-sama) ataukah dengan membaca sendiri-sendiri ?

Dalam masalah lafadz/bacaan “takbir”, tidak ada riwayat hadits yang shohih dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Yang ada adalah riwayat-riwayat dari sebagian para sahabat Nabi rodhiyallohu ‘anhum ajma’in dan para ulama salaf lainnya.

Diantaranya adalah sebagai berikut :

Pertama, diantara mereka ada yang memilih untuk mengucapkan :

الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله ، الله أكبر، ولله الحمد

Telah shohih lafadz takbir ini dari Ali bin Abi Tholib, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhum. Hanya saja riwayat dari Ibnu Umar, di dalam sanadnya ada Al-Hajjaj bin Arthoh, dia ini dho’if.

Para ulama yang berpendapat untuk bertakbir dengan takbir ini, diantaranya adalah An-Nakho’i, Ats-Tsaury, Imam Ahmad, Ishaq, An-Nu’man, dan Muhammad bin Al-Hasan.

Kedua, diantara mereka ada yang memilih untuk bertakbir tiga kali :

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر

Ini adalah pendapatnya Imam Malik, Imam As-Syafi’i, dan Al-Hasan Al-Bashri rohimahumulloh.

Ketiga, diantara mereka ada yang memilih untuk mengucapkan :

الله أكبر، الله أكبركبيرا، الله أكبركبيرا، الله أكبر وأجل، الله أكبر ولله الحمد

Ini adalah pendapatnya Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma.

Keempat, ada pula yang memilih untuk mengucapkan :

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله لا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد، وهو على كل شيء قدير

Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma. Tetapi riwayat tersebut di dalam sanadnya ada Abdulloh bin Umar Al-Umary, dia dho’if.

Kelima, ada pula yang memilih untuk bertakbir dengan mengucapkan :

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر كبيرا
  
Ini adalah pendapatnya Salman Al-Farisy rodhiyallohu ‘anhu, sebagaimana dikeluarkan riwayat ini dalam Mushonnaf Abdur Rozzaq dengan sanad yang shohih, sebagaimana juga dinyatakan shohihnya sanad tersebut oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh dalam Fathul Bari (pada hadits no. 970).

Keenam, sebagian para ulama ada yang berpendapat, bahwa lafadz takbir itu tidak dibatasi oleh bacaan/lafadz tertentu dan jumlah yang tertentu pula. (jadi, terserah membaca lafadz takbir yang mana saja, yang penting masuk dalam pengertian bacaan takbir, dan terserah pula berapa kali mengucapkannya. Hal itu karena tidak ada dalil yang shohih dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan pada kita bacaan lafadz takbir yang tertentu).

Ini adalah pendapat dari Al-Hakam dan Hammad bin Salamah. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal rohimahulloh mengatakan : “(huwa waasi’)”, artinya : “ini adalah masalah yang luas.” (yakni banyak peluang untuk berijtihad, dan perlunya saling toleransi dalam menyikapi bermacam-macam ijtihad tersebut, wallohu a’lam). (lihat : Tafsir Al-Qurthubi)

Ibnul Mundzir rohimahulloh juga menyatakan : “Imam Malik rohimahulloh tidak membatasi masalah ini.” (yakni membolehkan bertakbir dengan lafadz yang mana saja, edt.)

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh juga menegaskan : “Dalam masalah ini, pendapat (yang terakhir) inilah pendapat yang benar.” (yakni, bolehnya bertakbir dengan lafadz yang mana saja, selama hal itu adalah takbir, edt.).

(lihat : Al-Ausath (4/303-305), Al-Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah (2/167-168), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (5/40), Al-Mughni (3/290). Lihat pula : Fathul ‘Allam (2/197) )

Kemudian tentang cara membacanya, kalau kita perhatikan amalan kebanyakan kaum muslimin di hari ini, mereka membacanya dengan cara “berjama’ah” (bersama-sama, dibawah komando satu orang/imam). Lalu benarkah cara seperti ini ?

Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin ….., bertakbir secara berjama’ah dengan satu suara (dan dipimpin/dikomando satu orang imam), hal ini adalah tidak disyari’atkan. Bahkan hal ini termasuk perkara bid’ah dalam agama kita ini.

Yang insya Alloh benar adalah hendaknya masing-masing orang membacanya sendiri-sendiri dengan mengeraskan bacaan takbirnya, tanpa mesti harus dengan satu suara (bersamaan), karena hal seperti ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan juga tidak pernah diamalkan oleh para sahabat beliau rodhiyallohu ‘anhum ajma’in.

Sementara itu, kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak (yakni tidak diterima).” (HR Imam Muslim)

(lihat : Fatawa Lajnah Ad-Daimah (8/310 dst), Fathul ‘Allam (2/197-198) )

Wallohu a’lamu bis showab !

Demikianlah beberapa pembahasan tentang permasalahan takbir yang bisa kami sampaikan, semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semuanya, barokallohu fiikum …



Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN