MENGENAL HUKUM SEPUTAR UDH-HIYYAH (Bagian ke-6)


Hasil gambar untuk PADANG ARAFAH
PUASA  AROFAH, KEUTAMAANNYA & HUKUM-HUKUM YANG TERKAIT DENGANNYA



 A. PENGERTIAN HARI AROFAH

Yang dimaksud dengan hari Arofah, adalah hari ke 9 dari bulan Dzulhijjah, atau tanggal 9 Dzulhijjah (yakni ketika para jama’ah haji melakukan puncak ibadah haji, yaitu wuquf di padang ‘Arofah, edt.) (Ithaaful Anaam bi Ahkaami wa Masailis Shiyaam, hal. 187)


B. HARI AROFAH ADALAH TERMASUK ‘IEDUL MUSLIMIN (HARI RAYA KAUM MUSLIMIN)

Dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadits Uqbah bin ‘Amir rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يوم عرفة ويوم النحر وأيام التشريق عيدنا أهل الإسلام, وهن أيام الأكل وشرب

“Hari Arofah, Hari Nahr dan Hari-Hari Tasyriq adalah hari raya kita kaum muslimin, itu semua adalah hari-hari makan dan minum.” 

(HR Imam Abu Dawud no. 2402, At-Tirmidzi no. 773, Ibnu Abi Syaibah (3/376), Ibnu Khuzaimah (2100), Al-Baghowi dalam Syarhus Sunnah no. 1790 dan lain-lain, dishohihkan oleh Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rohimahulloh dalam As-Shohihul Musnad (2/28) dan juga guru kami Syaikh Zayid bin Hasan bin Sholih Al-Wushobi hafidzhohulloh dalam Al-Jami’ li Ahkamil ‘Iedain, hal. 28-29)

Keterangan :

1. Hari Arofah termasuk iedul muslimin (hari raya bagi kaum muslimin), yakni khususnya untuk para jama’ah haji yang sedang wuquf di padang Arofah. (lihat : Musykilul Atsar, karya Al-Imam Ath-Thohawy rohimahulloh, juga Al-Jami’ li Ahkamil ‘Iedain, hal. 28-29)

2. Karena itulah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa pada hari itu, karena memang hari itu hari raya bagi jama’ah haji, tetapi boleh berpuasa bagi orang yang tidak sedang berpuasa pada hari itu di tempat lainnya di seluruh penjuru bumi. (lihat hadits Ummul Fadhl bintu Harits rodhiyallohu ‘anha sebagaimana dalam Shohih Al-Bukhori no. 1988 dan hadits Maimunah rodhiyallohu ‘anha juga dalam Shohih Al-Bukhori no. 1989)


APA SAJA KEUTAMAAN YANG ADA PADA HARI AROFAH ITU ?

Disebutkan dalam hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha, bahwasannya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

”Tidak ada suatu hari yang Alloh lebih banyak membebaskan seorang hamba dari api neraka, selain dari Hari Arofah. Sesungguhnya Alloh Ta’ala mendekat dan berbangga di hadapan para Malaikat-Nya seraya berfirman : “Apa yang mereka (para hamba-hamba-Ku) inginkan ?” (HR Imam Muslim no. 1348)   

Dalam hadits yang lainnya, Alloh Ta’ala memuji para jama’ah haji yang sedang wuquf di Arofah pada hari itu, sebagaimana dalam sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam : 

“Sesungguhnya Alloh membanggakan orang-orang yang wuquf di Arofah kepada para Malaikat. Alloh berfirman kepada mereka : “Lihatlah para hamba-Ku, mereka dalam keadaan kusut dan berdebu.” 

(HR Imam Ahmad dalam Al-Musnad (2/305), Ibnu Khuzaimah dalam As-Shohih (no. 2839), dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh) Dan masih banyak hadits-hadits lainnya yang menjelaskan tentang keutamaan hari Arofah tersebut.


C. KEUTAMAAN PUASA HARI ‘AROFAH BAGI YANG SEDANG TIDAK    MENUNAIKAN IBADAH HAJI.

Disebutkan dalam hadits yang panjang, dari Abu Qotadah rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang keutamaan puasa pada hari ‘Arofah, maka beliau menjawab :

يكفر السنة الماضية والباقية

“Akan bisa menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR Imam Muslim no. 1162 / 197)

Guru kami, Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh berkata : “Hadits ini memberikan petunjuk yang nyata/jelas disunnahkannya puasa hari ‘Arofah, yaitu hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah.” (Ithaaful Anam, hal. 187)

As-Syaikh Abdulloh Al-Bassam rohimahulloh juga menyatakan : “Puasa hari ‘Arofah adalah puasa sunnah yang paling utama berdasarkan ijma’ para ulama.” (Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom, 3/201)


Masalah : “Diampunkan dosa-dosa setahun yang lalu, ini adalah hal yang bisa dimaklumi/dipahami. Tapi bagaimana maksud diampuni dosa-dosa setahun yang akan datang, padahal seseorang belum beramal ?” 

Tentang hal ini, dijelaskan oleh Al-Imam As-Shon’ani rohimahulloh sebagai berikut : “Telah timbul kesamaran (kekurangjelasan) tentang penghapusan dosa setahun yang akan datang (padahal seseorang belum beramal, edt.). Maka aku akan jawab : Bahwa yang dimaksud dengan hal itu adalah “Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq kepada seseorang untuk tidak berbuat dosa/maksiat. Hal itu dinamai dengan “penghapusan dosa”, karena kaitannya dengan (perkara yang terjadi) masa lalu. Atau (maknanya adalah), apabila seseorang terjatuh pada perbuatan dosa, Alloh akan memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan (amalan) yang bisa menghapus dosa-dosanya itu (yakni dengan bertobat dari dosa-dosanya itu atau dengan melakukan amal-amal sholeh lainnya, edt.).” (Subulus Salam, 2/339)

MENGENAL HUKUM SEPUTAR UDH-HIYAH (Bagian ke-5)



BOLEHKAH MENYEMBELIH QURBAN ATAS NAMA ORANG YANG TELAH MENINGGAL DUNIA ?

Hasil gambar untuk masjid al haram
Diantara kita mungkin ada yang bertanya : “Bolehkah kita menyembelih hewan qurban atas nama orang tua kita atau kerabat kita yang telah meninggal dunia ?”

Jawabnya :

Tentang masalah ini, dijawab dan dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh sebagai berikut : 

“(Berqurban itu) disunnahkan dari orang yang masih hidup. Oleh karena itulah, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berqurban untuk Khodijah rodhiyallohu ‘anha, istri beliau yang paling dicintainya, tidak juga untuk Hamzah rodhiyallohu ‘anhu, paman yang beliau cintai, tidak pula untuk putri-putri beliau yang telah wafat semasa hidup beliau, padahal mereka semua adalah bagian dari beliau. 

Beliau hanya berqurban atas nama diri dan keluarga beliau (yang masih hidup). Dan barangsiapa memasukkan orang yang telah meninggal dunia pada keumuman (keluarganya), maka pendapatnya masih bisa ditoleransi. 

Tetapi berqurban atas nama orang yang telah meninggal dunai itu statusnya hanya mengikut, bukan berdiri sendiri. Oleh karena itu, tidak disyari’atkan berqurban atas nama orang yang telah meninggal secara tersendiri, karena tidak warid (datang) riwayat (yang shohih) dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.” 

(As-Syarhul Mumti’, 3/423-424 dan 389-390)


Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh juga mengatakan : “Berqurban atas nama orang yang telah meninggal dunia itu diperbolehkan pada keadaan berikut :

1.  Bila orang yang telah meninggal dunia itu pernah bernadzar (untuk berqurban) sebelum wafatnya, maka nadzar tersebut dipenuhi (dilaksanakan oleh keluarganya yang masih hidup), karena termasuk nadzar ketaatan.

2.  Bila orang yang telah meninggal dunia itu pernah berwasiat sebelum wafatnya (untuk berqurban), maka wasiat itu dapat terlaksana, dengan syarat (harta untuk qurban tersebut) tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta orang yang telah meninggal dunia itu. 

(Syarh Bulughil Marom, 6/87-88)


Mungkin masih ada yang bertanya lagi : “Bukankah ada hadits yang menunjukkan bolehnya berqurban atas nama orang yang telah meninggal dunia ?”

Jawabnya :

Ya benar ada, tetapi haditsnya Dho’if (lemah), dan hadits tersebut dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 2790), At-Tirmidzi (no. 1495), Imam Ahmad dalam Al-Musnad (1/107) no. 843 dan (1/149), serta Al-Hakim (4/229), dari jalan : Syarik bin Abdillah An-Nakho’i, dari Abul Hasna’, dari Al-Hakam bin Utaibah, dari Hanasy bin Al-Mu’tamir, dari Ali rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :

أمرني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أضحي عنه، فأنا أضحي عنه أبدا

“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintah aku agar berqurban (menyembelihkan hewan qurban) untuk beliau, maka akupun berqurban untuk beliau selamanya.”

MENGENAL HUKUM SEPUTAR UDH-HIYYAH (Bagian ke-4)

ADAB-ADAB & SUNNAH-SUNNAH YANG HARUS DIPERHATIKAN OLEH ORANG YANG BERQURBAN
Hasil gambar untuk masjid al haram
Saudaraku kaum muslimin......
Adab-adab yang harus diperhatikan oleh orang yang akan menyembelih qurban, diantaranya adalah sebagai berikut :

A.  Bila seseorang mampu, hendaknya dia(orang yang berqurban itu) menyembelih hewan sembelihannya dengan kedua tangannya sendiri (tidak diwakilkan kepada orang lain).

Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :

“Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibas (domba) yang warnanya putih bercampur hitam (dan bertanduk), aku melihat beliau meletakkan telapak kakinya pada sisi tubuhnya, beliau mengucapkan basmalah dan bertakbir, beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri.” (HR Imam Al-Bukhori no. 5565 dan Imam Muslim no. 1966)

Imam An-Nawawi rohimahulloh menjelaskan hadits tersebut di atas dengan mengatakan : “Disunnahkan bagi orang yang berqurban untuk menyembelih sendiri hewan qurbannya, dan tidak mewakilkan sembelihannya tersebut (kepada orang lain) kecuali karena udzur.”

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh mengatakan : “Para ahli ilmu (ulama) menyunnahkan bagi orang yang berqurban untuk menyembelih sendiri (hewan qurbannya), karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menyembelih sendiri (hewan qurbannya). Mereka juga mengatakan : “Jika hal itu diwakilkan kepada salah seorang muslim, maka hal itu boleh tanpa adanya khilaf (perbedaan pendapat).” Hanya saja mereka berbeda pendapat bila diwakilkan kepada seorang kafir dzimmi…… (lalu beliau menyebutkan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini).” (Fathul ‘Allam, 5/538-539)


B.  Dibolehkan menambahkan lafadz Takbir setelah Basmalah

Dalilnya sebagaimana dalam hadits Anas rodhiyallohu ‘alaihi yang telah disebutkan diatas :“Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibas (domba) yang warnanya putih bercampur hitam (dan bertanduk), aku melihat beliau meletakkan telapak kakinya pada sisi tubuhnya, beliau mengucapkan basmalah dan bertakbir, beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri.” (HR Imam Al-Bukhori no. 5565 dan Imam Muslim no. 1966)

Disebutkan dalam Imam Muslim (no. 1966) tersebut, beliau mengucapkan :“Bismillaahi, wallohu akbar.”(dengan menyebut nama Alloh, dan Alloh itu Maha Besar)

Boleh juga mengucapkan : ) اللهم لك و منك تقبل مني( , “Ya Alloh, ini untuk-Mu dan dari-Mu, terimalah (qurban) dariku.”Hal ini berdasarkan hadits Jabir dalam Sunan Abi Dawud (no. 2795), dan hadits Abu Huroiroh serta Aisyah rodhiyallohu ‘anhuma, sebagaimana dalam Sunan Al-Baihaqi (9/281), hadits ini Hasan bi Syawahidih.  (lihatFathul ‘Allam, 5/522)

Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahullohmengatakan : “Tidak ada khilaf (perselisihan di kalangan para ulama) tentang disunnahkannya (mengucapkan) takbir bersama dengan tasmiyyah (bacaan basmalah), dan tidak ada khilaf pula bahwa tasmiyyah itu sudah cukup (sah) meskipun tanpa takbir.” (lihatAl-Mughni (13/390), dinukil secara makna)


C.  Bagi orang yang berqurban, hendaknya meletakkan kaki kanannya pada bahu hewan yang akan disembelihnya setelah dia membaringkan hewan sembelihan tersebut pada sisi tubuhnya yang sebelah kiri (dibaringkan miring dari sisi tubuhnya sebelah kiri), karena hal itu akan lebih mudah untuk melakukan penyembelihan.

Hal ini bila hewan sembelihannya berupa kambing atau sapi. Dalilnya sebagaimana dalam hadits Anas rodhiyallohu ‘anhu seperti yang telah disebutkan di atas.

Imam As-Syaukani rohimahulloh berkata : “Dalam hadits ini (terdapat dalil) disunnahkannya membaringkan kambing tatkala menyembelihnya, dan bahwa kambing itu tidak disembelih dengan cara berdiri, tidak pula dengan cara berlutut, tetapi(dengan cara) berbaring, karena hal itu lebih lembut baginya. Dalam masalah ini, telah datang banyak hadits, dan kaum muslimin telah sepakat akan hal ini.” (Nailul Author(3/486), lihat juga Syarh Shohih Muslim, 13/106)

Sebagaimana Imam An-Nawawi juga berkata : “(Para ulama) telah sepakat, bahwa membaringkan (hewan sembelihan berupa kambing atau sapi itu) pada sisi tubuhnya sebelah kiri.” (Syarh Shohih Muslim, penjelasan hadits no. 1967)

Guru kami, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh berkata : “Sesungguhnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak kakinya (yang kanan) pada bahu hewan sembelihan, tujuannya adalah agar lebih kokoh (dalam memegangnya), dan memungkinkan agar kepala hewan sembelihan itu tidak bergerak, sehingga (bila kepalanya bergerak-gerak) bisa menghalangi sempurnanya sembelihan (proses penyembelihan), atau (hewan tersebut) akan menyakiti orang yang menyembelihnya….” (At-Tajliyyah, hal. 50)
Wallohu a’lamu bis showab.


D. Jika hewan sembelihannya itu berupa onta, menyembelihnya adalah dengan cara Nahr, dalam keadaan berdiri dan diikat kaki kirinya yang bagian depan.

Yang dimaksud dengan Nahr adalah :“Menusuk urat nadi pada pangkal leher onta dengan besi yang runcing atau dengan pisau.”

Dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Alloh Ta’ala :

ٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ
“Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat)…” (QS Al-Hajj : 36)

Dalam hadits Anas rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :“Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan nahr pada tujuh ekor ontanya dalam keadaan berdiri.” (HR Imam Al-Bukhori, no. 1714)

Juga disebutkan tentang kisah Ibnu Umar rodhiyalohu ‘anhuma :“Bahwa beliau mendatangi seseorang yang telah menderumkan (membaringkan) ontanya untuk disembelih, maka beliau berkata : “Bangkitkanlah dia (dan sembelihlah) dalam keadaan berdiri dan terikat (kaki depannya yang sebelah kiri), inilah sunnah Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam.” (HR Imam Al-Bukhori)

Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata : “Disunnahkan menyembelih onta dalam keadaan berdiri dan diikat kaki depannya yang sebelah kiri. Adapun sapi dan onta, disunnahkan untuk disembelih dalam keadaan berbaring pada sisi tubuh sebelah kiri, membiarkan kaki yang kanan (bagian belakang) terlepas dan mengikat kaki-kaki yang lainnya menjadi satu……” (Syarh Shohih Muslim)

MENGENAL HUKUM SEPUTAR UDH-HIYYAH (Bagian ke-3)


Hasil gambar untuk masjid nabawi
HAL-HAL YANG DIWAJIBKAN BAGI ORANG YANG BERQURBAN DAN PADA HEWAN QURBAN TERSEBUT


Saudaraku kaum muslimin rohimahulloh......

Ketahuilah, diantara kewajiban-kewajiban yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh orang yang hendak berqurban adalah sebagai berikut :

A. Orang yang hendak berqurban, apabila telah memasuki sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, tidak boleh baginya untuk menghilangkan sedikitpun dari rambut yang tumbuh pada tubuhnya, atau memotong kukunya.

Hal ini berdasarkan sebuah hadits dari Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره وبشره شيئا (وفي لفظ لمسلم : من كان له ذبح يذبحه، فإذا أهل هلال ذي الحجة فلا يأخذن من شعره ولا من أظفاره شيئا حتى يضحي)

“Apabila telah masuk sepuluh hari (pertama di bulan Dzulhijjah), dan salah seorang dari kalian berkeinginan untuk berqurban, maka janganlah dia menyentuh (yakni mengambilnya dengan mencukurnya, mencabutnya atau memotongnya, edt.) sedikitpun dari rambutnya dan kulitnya.”

Dalam lafadz yang lainnya juga dalam riwayat Imam Muslim :“Barangsiapa mempunyai (hewan) sembelihan yang akan dia sembelih (untuk qurban), maka apabila telah muncul hilal (bulan sabit tanggal satu) dari hilal Dzulhijjah, maka janganlah dia mengambil sedikitpun dari rambutnya dan juga kukunya, hingga dia menyembelih qurbannya.” (HR Imam Muslim no. 1977)

Para ulama berbeda pendapat tentang apa hukum larangan dalam hadits tersebut di atas. Sebagian ulama berpendapat haramnya hal tersebut, ini adalah pendapatnya Sa’id bin Al-Musayyib, Robi’ah, Ahmad, Ishaq, Dawud dan sebagian sahabat-sahabat As-Syafi’i.

Sebagian lainnya berpendapat hukumnya makruh tanzih (hanya makruh saja, tidak sampai pada derajat haram), ini adalah pendapatnya Imam As-Syafi’i dan mayoritas sahabat-sahabatnya (yakni para ulama yang semadzhab dengan beliau).

Sebagian lainnya berpendapat hukumnya tidak makruh, ini adalah pendapatnya Imam Malik (beliau punya beberapa pendapat dalam masalah ini) dan Abu Hanifah.Imam Malik juga berpendapat dimakruhkannya hal tersebut.

Beliau juga pendapat lainnya, yaitu berpendapat hukumnya diharamkan pada sembelihan qurban yang hukumnya tathowwu (sunnah saja), tetapi tidak harom bila sembelihannya itu wajib, ini adalah pendapat beliau sebagaimana yang diceritakan oleh Imam Ad-Darimi rohimahulloh.

(lihatAl-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (8/392) karya Imam An-Nawawi rohimahulloh, dan Syarhus Sunnah (4/348) karya Imam Al-Baghowi rohimahulloh)

Lalu mana yang rojih (kuat dan terpilih) dari pendapat-pendapat tersebut di atas ? Al-Imam As-Syaukani rohimahulloh berkata : “Yang nampak benar adalah orang yang berpendapat haramnya (mengambil/menghilangkan sedikitpun dari rambut atau kukunya) bagi orang yang akan berqurban…..” (Nailul Author, 3/475)

Guru kami, Syaikh Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh menegaskan : “Dengan ini kita ketahui, bahwa pendapat yang menyatakan haromnya hal tersebut adalah pendapat yang shohih (benar),dikarenakan dhohirnya dalil-dalil yang dijadikan pegangan para a’immah (para ulama) rohimahumulloh yang berpendapat dengan pendapat ini.”(At-Tajliyyah li Ahkamil Hadyi wal Udh-hiyyah, hal. 42)

Guru kami yang lainnya, Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh juga berkata : “(Pendapat) yang shohih adalah hukumnya harom. Inilah yang ditarjih (dikuatkan) oleh Imam As-Shon’ani dan As-Syaukani, kemudian juga Syaikh Al-‘Allamah Al-Wadi’i dan Syaikh Al-‘Allamah Ibnu Utsaimin rohimahumulloh….” (Fathul ‘Allam, 5/517-518)

Pendapat seperti itu pula (yakni haramnya hal tersebut) yang dirojihkan oleh Syaikh Al-‘Allamah As-Syinqithi rohimahulloh dalam Adhwaa’ul Bayan (5/640).
Wallohu a’lam bis showab.

MENGENAL HUKUM SEPUTAR UDH-HIYYAH (Bagian ke-2)

SYARAT-SYARAT SAHNYA SEMBELIHAN QURBAN
Hasil gambar untuk masjid nabawi
Saudaraku kaum muslimin rohimakumulloh......
Agar ibadah qurban kita menjadi ibadah yang diridhoi oleh Alloh dan diterima-Nya, sepantasnya bagi orang yang berqurban untuk memperhatikan syarat-syarat berqurban, diantaranya adalah :
A.  Ikhlas karena mengharap Wajah-Nya
Hal itu karena berqurban adalah suatu ibadah, dan termasuk syarat sahnya suatu ibadah adalh ikhlas, yakni semata-mata mengharap keridhoan-Nya dan pahala dari-Nya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
 وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (٥)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.”(QS Al-Bayyinah : 5)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ (٣٧)
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu.Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Hajj : 37)

B. Hewan yang dijadikan qurban adalah hewan-hewan yang telah ditentukan oleh Alloh Ta’ala, yang berupa tiga jenis hewan-hewan ternak.
Yang dimaksud adalah Onta, Sapi dan Kambing, baik yang jenisnya jantan maupun betina.Dan tidak sah qurban dengan hewan-hewan yang selainnya. Berdasarkan firman Alloh Ta’ala :
أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ 
“Dihalalkan bagimu binatang ternak,…….” (QS Al-Maidah : 1)
Juga firman Alloh Ta’ala :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ (٣٤)
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS Al-Hajj : 34)
Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata : “Ini adalah perkara ijma’ (yang telah disepakati oleh para ulama, yakni bahwa qurban itu dengan binatang ternak tertentu, yang berupa onta, sapi atau kambing, edt.).” (Roudhotut Tholibin, 3/193)
Para ulama lain yang juga menukilkan adanya ijma’ dalam permasalahan ini adalah : Ibnu Abdil Barr rohimahulloh dalam At-Tamhid (23/188), Ibnu Hazmrohimahulloh dalam Marotibul Ijma’ (hal. 42), Ibnu Rusy rohimahulloh dalam Bidayatul Mujtahid (5/475) dan (6/174), dan yang lainnya.
Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata : “Para ulama sepakat bahwa berqurban itu tidaklah sah dengan selain onta, sapi dan kambing. Kecuali apa yang diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Al-Hasan bin Sholih, bahwa dia berkata : “Boleh berqurban dengan sapi liar untuk tujuh orang dan seekor kijang untuk satu orang. Dawud Ad-Dhohiri juga berpendapat seperti itu, khususnya tentang sapi liar.” Imam An-Nawawi menolak pendapat ini dengan berkata : “(Yang benar), tidak sah berqurban dengan sapi liar.” (Syarh Shohih Muslim, pada hadits 1963).
Guru kami yang mulia, Syaikh Al-Muhaddits Yahya bin Ali al-Hajuri hafidzohulloh ta’ala juga berkata : “Yang shohih (benar), tidak sah berqurban dengan sapi liar. Sasaran pembicaraan (dalam Al-Qur’an) tentang hewan-hewan ternak, adalah hewan-hewan yang Alloh jadikan sebagai kepemilikan seseorang (yakni yang dimiliki seseorang, jadi bukan yang liar).Imam An-Nawawi berpendapat seperti itu pula….” (At-Tajliyyah li Ahkamil Hadyi wal Udh-hiyyah, hal. 16)

C.  Memperhatikan umur hewan-hewan qurban.
Disyaratkan, hewan-hewan qurban itu adalah “Musinnah”, berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu ‘anhu :
لا تذبحوا إلا مسنة, إلا أن يعسر عليكم, فتذبحوا جذعة من الضأ 
“Janganlah kalian menyembelih, kecuali musinnah. Kecuali bila sulit bagi kamu (mendapatkan yang musinnah tersebut), maka  (boleh bagi) kamu menyembelih seekor anak domba.” (HR Imam Muslim no. 1963)
Imam An-Nawawi rohimahulloh menjelaskan : “Para ulama berkata : “Musinnah adalah semua jenis hewan yang telah tsaniyyah (yakni yang telah tanggal gigi bagian depannya, dan tumbuh gigi yang lainnya, bahasa Jawanya : kowel), baik itu onta, sapi maupun kambing.”
Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh menjelaskan : “Musinnah atau yang disebut juga Tsaniyyah, adalah hewan yang telah tanggal gigi bagian depannya, dan tumbuh giginya yang lainnya (bahasa Jawanya : kowel).” (Fathul ‘Allam, 5/531)
Al-Imam Ibnul Atsir rohimahulloh dalam An-Nihayah juga menjelaskan : “Tsaniyyah (musinnah) dari kambing adalah yang (umurnya) telah masuk tahun ketiga (yakni lebih dari dua tahun), demikian pula untuk sapi. Sedangkan musinnah dari onta adalah yang (umurnya) telah masuk tahun ke enam (yakni lebih dari lima tahun). Imam Ahmad bin Hambal berpendapat, musinnah untuk Al-Ma’zu (kambing kacang atau kambing jawa) adalah masuk usia tahun kedua (yakni setahun lebih), sedangkan sapi adalah telah masuk tahun ketiga.”
Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata pula : “Anak domba (yang boleh dijadikan untuk berqurban) adalah yang telah sempurna berumur satu tahun (yakni yang berusia lebih dari setahun, bukan yang kurang dari itu, edt.). Dan inilah yang paling shohih dari pendapat sahabat-sahabat kami (para ulama syafi’iyyah), dan inilah yang paling masyhur di sisi Ahli bahasa Arab dan yang selain mereka.”

MENGENAL HUKUM SEPUTAR UDH-HIYYAH (Bagian ke-1)

APA HUKUMNYA BERQURBAN ITU ? 

Hasil gambar untuk ka'bah masjidil haram
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah wajib. Ini adalah pendapatnya Al-Laits, Abu Hanifah, Al-Auza’I, Ats-Tsauri dan Imam Malik dalam salah satu pendapatnya.

Dalilnya adalah hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن مصلانا

“Barangsiapa mempunyai kelapangan (rejeki) tetapi dia tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat sholat kami.” (HR Imam Ahmad (2/321), Ibnu Majah no. 3123, dan Al-Hakim (2/389) dan (4/231-232) ).

Jalan hadits ini berputar pada Abdulloh bin ‘Ayyasy Al-Qotbany, dari Al-A’roj, dari Abu Huroiroh. Para ulama berbeda pendapat tentang apakah hadits ini marfu’ (terangkat sampai Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) ataukah  mauquf (hanya dari perkataan sahabat yang meriwayatkan hadits ini saja). Zaid bin Al-Habbab dan Abdulloh bin Yazid Al-Muqri’ meriwayatkan hadits ini dari Abdulloh bin ‘Ayyasy secara marfu’. Sedangkan Ibnu Wahab meriwayatkan dari Abdulloh bin ‘Ayyasy secara mauquf. Barangkali kesalahan hadits ini berasal dari Abdulloh bin ‘Ayyasy, karena dia adalah perowi yang dho’if.

Ibnu Abdil Hadi dalam kitabnya At-Tanqih merojihkan mauqufnya hadits tersebut, sebagaimana dalam Nashbur Royah (4/207), beliau berkata setelah menyebutkan perselisihan seputar hadits tersebut : “Demikian pula seperti yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Robi’ah dan Ubaidillah bin Abi Ja’far, dari Al-A’roj, dari Abu Huroiroh secara mauquf. Inilah yang menyerupai kebenaran.”

Al-Hafidz dalam Fathul Bari (Bab pertama dari Kitab Al-Adhohy) juga berkata : “Akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang marfu’ dan mauqufnya (hadits tersebut). Sedangkan mauquf, ini lebih menyerupai/mendekati kebenaran.Demikianlah seperti yang dikatakan oleh Ath-Thohawy dan yang selainnya.”

Dari pembahasan hadits seperti tersebut di atas, guru kami Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh menyimpulkan :“Hadits ini dho’if secara marfu’, tetapi shohih secara mauquf.”

(Bulughul Marom no. 1347 , dengan tahqiq dan takhrij dari beliau, penerbit Darul Ashimah dan Maktabah Ibnu Taimiyyah, Dammaj, Yaman)