APA HUKUMNYA BERQURBAN ITU ?
Dalam masalah ini para ulama berbeda
pendapat. Ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah wajib. Ini
adalah pendapatnya Al-Laits, Abu Hanifah, Al-Auza’I, Ats-Tsauri dan Imam Malik
dalam salah satu pendapatnya.
Dalilnya adalah hadits Abu Huroiroh
rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن مصلانا
“Barangsiapa mempunyai kelapangan
(rejeki) tetapi dia tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat sholat
kami.”
(HR Imam Ahmad (2/321), Ibnu Majah no. 3123, dan Al-Hakim
(2/389) dan (4/231-232) ).
Jalan hadits ini berputar pada
Abdulloh bin ‘Ayyasy Al-Qotbany, dari Al-A’roj, dari Abu Huroiroh. Para ulama
berbeda pendapat tentang apakah hadits ini marfu’ (terangkat sampai Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam) ataukah mauquf
(hanya dari perkataan sahabat yang meriwayatkan hadits ini saja). Zaid bin
Al-Habbab dan Abdulloh bin Yazid Al-Muqri’ meriwayatkan hadits ini dari
Abdulloh bin ‘Ayyasy secara marfu’. Sedangkan Ibnu Wahab meriwayatkan dari
Abdulloh bin ‘Ayyasy secara mauquf. Barangkali kesalahan hadits ini berasal
dari Abdulloh bin ‘Ayyasy, karena dia adalah perowi yang dho’if.
Ibnu Abdil Hadi dalam kitabnya At-Tanqih
merojihkan mauqufnya hadits tersebut, sebagaimana dalam Nashbur Royah
(4/207), beliau berkata setelah menyebutkan perselisihan seputar hadits
tersebut : “Demikian pula seperti yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Robi’ah dan
Ubaidillah bin Abi Ja’far, dari Al-A’roj, dari Abu Huroiroh secara mauquf.
Inilah yang menyerupai kebenaran.”
Al-Hafidz dalam Fathul Bari
(Bab pertama dari Kitab Al-Adhohy) juga berkata : “Akan tetapi para ulama
berselisih pendapat tentang marfu’ dan mauqufnya (hadits tersebut). Sedangkan
mauquf, ini lebih menyerupai/mendekati kebenaran.Demikianlah seperti yang
dikatakan oleh Ath-Thohawy dan yang selainnya.”
Dari pembahasan hadits seperti
tersebut di atas, guru kami Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh
menyimpulkan :“Hadits ini dho’if secara marfu’, tetapi shohih secara mauquf.”
(Bulughul Marom no.
1347 , dengan tahqiq dan takhrij dari beliau, penerbit Darul Ashimah dan
Maktabah Ibnu Taimiyyah, Dammaj, Yaman)
Para ulama lainnya berpendapat bahwa
qurban itu hukumnya Sunnah Mu’akkadah (sunnah tetapi sangat
ditekankan untuk diamalkan). Ini adalah pendapatnya Jumhur Ulama
(mayoritas ulama). Diantaranya : Sa’id bin Al-Musayyab, Atho’, Alqomah,
Al-Aswad, Malik, As-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Abu Tsaur, Al-Muzani, Dawud
Ad-Dhohiri dan Ibnul Mundzir.
Dalil yang menunjukkan tidak wajibnya
qurban tersebut adalah hadits Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anhu, bahwa nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره شيئا (وفي رواية
: فليمسك من شعره وأظفاره)
“Apabila telah masuk sepuluh hari
(pertama di bulan Dzulhijjah), dan salah seorang dari kalian ingin berqurban,
maka janganlah dia menyentuh (menghilangkan) sedikitpun dari rambutnya.” Dalam Riwayat lainnya :“Hendaknya
dia menahan diri (yakni tidak mengambil sedikitpun) dari rambutnya dan
kukunya.” (HR Imam Muslim no. 1977)
Sisi pendalilan hadits ini
adalah : Bahwa sabda Nabi (“dan salah seorang dari kalian ingin berqurban”),
ini menunjukkan tidak wajibnya qurban itu, karena menjadikan qurban sebagai
sesuatu yang sesuai dengan keinginan/kehendak seseorang (yakni, kalau mau dia
berqurban, atau kalau tidak mau ya tidak berqurban, edt.). Hal ini menunjukkan
tidak wajibnya qurban itu, wallohu a’lam.
Dalil lainnya adalah
perbuatan beberapa orang sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam,
diantaranya Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Al-Khoththob dan Abu Mas’ud
Al-Anshori rodhiyallohu ‘anhum, yang mana mereka tidak berqurban padahal mereka
sebenarnya mampu untuk berqurban, hal itu mereka lakukan untuk menunjukkan
kepada umat manusia bahwa berqurban itu tidak wajib (lihat Sunan
Al-Baihaqi (9/440) dst dengan sanad yang shohih)
Dari dua pendapat tersebut
di atas, yang insya Alloh rojih adalah pendapat yang kedua, yakni hukumnya Sunnah
Mu’akkadah (suatu ibadah sunnah/yang bukan wajib, tetapi sangat
ditekankan untuk diamalkan, khususnya bagi mereka yang mampu menunaikannya),
wallohu a’lam bis showab.
(lihat :Al-Mughni
(13/360-361), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (8/387), Fathul
‘Allam (5/516-517), karya guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam
hafidzhohulloh)
Kemudian disana ada
pendapat lain yang menyatakan : “Hukumnya Wajib bagi yang mampu
menunaikannya !” Hal itu karena qurban itu merupakan syi’arnya kaum
muslimin, dan juga karena keumuman dalil-dalil perintah untuk menyembelih
qurban (seperti dalam QS Al-Kautsar ayat 2 dan QS Al-An’am ayat 162-163 dan
sebagainya) Dan hal itu dikhususkan bagi yang mampu, karena merekalah yang
dikatakan sebagai “orang yang berkeinginan/berkehendak” untuk melakukan ibadah
qurban.
Telah berpendapat dengan
pendapat ini adalah sekelompok ulama terdahulu seperti yang telah disebutkan di
atas, kemudian dari para ulama muta’khirin yang berpendapat seperti ini adalah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh. Wallohu a’lam.
(lihat pembahasan masalah
ini dalam beberapa kitab sebagai berikut : Al-Isyrof (3/403)
karya Ibnul Mundzir rohimahulloh, Al-Mudawwanah (2/69), Al-Istidzkar
(15/155-159) karya Ibnu Abdil Barr rohimahulloh, Mukhtashor Ikhtilafil
Ulama’ karya Ath-Thohawi, Badai’us Shonai’ (4/192-193)
karya Al-Kasani, Al-Mabsuth (12/8) karya As-Sarkhosi, Majmu’
Al-Fatawa (23/135) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh, Fathul
Bari (10/ ) karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani dan Subulus
Salam (7/400) karya As-Shon’ani rohimahulloh)
Maroji’ :
1. At-Tajliyyah,
li Ahkamil Hadyi wal Udh-hiyyah, karya guru kami, Fadhilatus Syaikh
Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh.
2. Fathul
‘Allam, fii Dirosah Ahaaditsi Bulughil Marom (jilid 5), karya guru kami Syaikh
Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al-Fudholi Al-Ba’dani hafidzhohulloh.
Penyusun : Abu Abdirrohman Yoyok WN
Sby.