MENGENAL HUKUM SEPUTAR UDH-HIYYAH (Bagian ke-1)

APA HUKUMNYA BERQURBAN ITU ? 

Hasil gambar untuk ka'bah masjidil haram
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah wajib. Ini adalah pendapatnya Al-Laits, Abu Hanifah, Al-Auza’I, Ats-Tsauri dan Imam Malik dalam salah satu pendapatnya.

Dalilnya adalah hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن مصلانا

“Barangsiapa mempunyai kelapangan (rejeki) tetapi dia tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat sholat kami.” (HR Imam Ahmad (2/321), Ibnu Majah no. 3123, dan Al-Hakim (2/389) dan (4/231-232) ).

Jalan hadits ini berputar pada Abdulloh bin ‘Ayyasy Al-Qotbany, dari Al-A’roj, dari Abu Huroiroh. Para ulama berbeda pendapat tentang apakah hadits ini marfu’ (terangkat sampai Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) ataukah  mauquf (hanya dari perkataan sahabat yang meriwayatkan hadits ini saja). Zaid bin Al-Habbab dan Abdulloh bin Yazid Al-Muqri’ meriwayatkan hadits ini dari Abdulloh bin ‘Ayyasy secara marfu’. Sedangkan Ibnu Wahab meriwayatkan dari Abdulloh bin ‘Ayyasy secara mauquf. Barangkali kesalahan hadits ini berasal dari Abdulloh bin ‘Ayyasy, karena dia adalah perowi yang dho’if.

Ibnu Abdil Hadi dalam kitabnya At-Tanqih merojihkan mauqufnya hadits tersebut, sebagaimana dalam Nashbur Royah (4/207), beliau berkata setelah menyebutkan perselisihan seputar hadits tersebut : “Demikian pula seperti yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Robi’ah dan Ubaidillah bin Abi Ja’far, dari Al-A’roj, dari Abu Huroiroh secara mauquf. Inilah yang menyerupai kebenaran.”

Al-Hafidz dalam Fathul Bari (Bab pertama dari Kitab Al-Adhohy) juga berkata : “Akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang marfu’ dan mauqufnya (hadits tersebut). Sedangkan mauquf, ini lebih menyerupai/mendekati kebenaran.Demikianlah seperti yang dikatakan oleh Ath-Thohawy dan yang selainnya.”

Dari pembahasan hadits seperti tersebut di atas, guru kami Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh menyimpulkan :“Hadits ini dho’if secara marfu’, tetapi shohih secara mauquf.”

(Bulughul Marom no. 1347 , dengan tahqiq dan takhrij dari beliau, penerbit Darul Ashimah dan Maktabah Ibnu Taimiyyah, Dammaj, Yaman)

Para ulama lainnya berpendapat bahwa qurban itu hukumnya Sunnah Mu’akkadah (sunnah tetapi sangat ditekankan untuk diamalkan). Ini adalah pendapatnya Jumhur Ulama (mayoritas ulama). Diantaranya : Sa’id bin Al-Musayyab, Atho’, Alqomah, Al-Aswad, Malik, As-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Abu Tsaur, Al-Muzani, Dawud Ad-Dhohiri dan Ibnul Mundzir.

Dalil yang menunjukkan tidak wajibnya qurban tersebut adalah hadits Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anhu, bahwa nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره شيئا (وفي رواية : فليمسك من شعره وأظفاره)

“Apabila telah masuk sepuluh hari (pertama di bulan Dzulhijjah), dan salah seorang dari kalian ingin berqurban, maka janganlah dia menyentuh (menghilangkan) sedikitpun dari rambutnya.” Dalam Riwayat lainnya :“Hendaknya dia menahan diri (yakni tidak mengambil sedikitpun) dari rambutnya dan kukunya.” (HR Imam Muslim no. 1977)
Sisi pendalilan hadits ini adalah : Bahwa sabda Nabi (“dan salah seorang dari kalian ingin berqurban”), ini menunjukkan tidak wajibnya qurban itu, karena menjadikan qurban sebagai sesuatu yang sesuai dengan keinginan/kehendak seseorang (yakni, kalau mau dia berqurban, atau kalau tidak mau ya tidak berqurban, edt.). Hal ini menunjukkan tidak wajibnya qurban itu, wallohu a’lam.
Dalil lainnya adalah perbuatan beberapa orang sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, diantaranya Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Al-Khoththob dan Abu Mas’ud Al-Anshori rodhiyallohu ‘anhum, yang mana mereka tidak berqurban padahal mereka sebenarnya mampu untuk berqurban, hal itu mereka lakukan untuk menunjukkan kepada umat manusia bahwa berqurban itu tidak wajib (lihat Sunan Al-Baihaqi (9/440) dst dengan sanad yang shohih)
Dari dua pendapat tersebut di atas, yang insya Alloh rojih adalah pendapat yang kedua, yakni hukumnya Sunnah Mu’akkadah (suatu ibadah sunnah/yang bukan wajib, tetapi sangat ditekankan untuk diamalkan, khususnya bagi mereka yang mampu menunaikannya), wallohu a’lam bis showab.
(lihat :Al-Mughni (13/360-361), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (8/387), Fathul ‘Allam (5/516-517), karya guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh)
Kemudian disana ada pendapat lain yang menyatakan : Hukumnya Wajib bagi yang mampu menunaikannya !” Hal itu karena qurban itu merupakan syi’arnya kaum muslimin, dan juga karena keumuman dalil-dalil perintah untuk menyembelih qurban (seperti dalam QS Al-Kautsar ayat 2 dan QS Al-An’am ayat 162-163 dan sebagainya) Dan hal itu dikhususkan bagi yang mampu, karena merekalah yang dikatakan sebagai “orang yang berkeinginan/berkehendak” untuk melakukan ibadah qurban.
Telah berpendapat dengan pendapat ini adalah sekelompok ulama terdahulu seperti yang telah disebutkan di atas, kemudian dari para ulama muta’khirin yang berpendapat seperti ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh. Wallohu a’lam.
(lihat pembahasan masalah ini dalam beberapa kitab sebagai berikut : Al-Isyrof (3/403) karya Ibnul Mundzir rohimahulloh, Al-Mudawwanah (2/69), Al-Istidzkar (15/155-159) karya Ibnu Abdil Barr rohimahulloh, Mukhtashor Ikhtilafil Ulama’ karya Ath-Thohawi, Badai’us Shonai’ (4/192-193) karya Al-Kasani, Al-Mabsuth (12/8) karya As-Sarkhosi, Majmu’ Al-Fatawa (23/135) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh, Fathul Bari (10/  ) karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani dan Subulus Salam (7/400) karya As-Shon’ani rohimahulloh)     

Maroji’ :
1.  At-Tajliyyah, li Ahkamil Hadyi wal Udh-hiyyah, karya guru kami, Fadhilatus Syaikh Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh.

2.  Fathul ‘Allam, fii Dirosah Ahaaditsi Bulughil Marom (jilid 5), karya guru kami Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al-Fudholi Al-Ba’dani hafidzhohulloh.



Penyusun : Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby.