MENGENAL HUKUM SEPUTAR UDH-HIYYAH (Bagian ke-6)


Hasil gambar untuk PADANG ARAFAH
PUASA  AROFAH, KEUTAMAANNYA & HUKUM-HUKUM YANG TERKAIT DENGANNYA



 A. PENGERTIAN HARI AROFAH

Yang dimaksud dengan hari Arofah, adalah hari ke 9 dari bulan Dzulhijjah, atau tanggal 9 Dzulhijjah (yakni ketika para jama’ah haji melakukan puncak ibadah haji, yaitu wuquf di padang ‘Arofah, edt.) (Ithaaful Anaam bi Ahkaami wa Masailis Shiyaam, hal. 187)


B. HARI AROFAH ADALAH TERMASUK ‘IEDUL MUSLIMIN (HARI RAYA KAUM MUSLIMIN)

Dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadits Uqbah bin ‘Amir rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يوم عرفة ويوم النحر وأيام التشريق عيدنا أهل الإسلام, وهن أيام الأكل وشرب

“Hari Arofah, Hari Nahr dan Hari-Hari Tasyriq adalah hari raya kita kaum muslimin, itu semua adalah hari-hari makan dan minum.” 

(HR Imam Abu Dawud no. 2402, At-Tirmidzi no. 773, Ibnu Abi Syaibah (3/376), Ibnu Khuzaimah (2100), Al-Baghowi dalam Syarhus Sunnah no. 1790 dan lain-lain, dishohihkan oleh Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rohimahulloh dalam As-Shohihul Musnad (2/28) dan juga guru kami Syaikh Zayid bin Hasan bin Sholih Al-Wushobi hafidzhohulloh dalam Al-Jami’ li Ahkamil ‘Iedain, hal. 28-29)

Keterangan :

1. Hari Arofah termasuk iedul muslimin (hari raya bagi kaum muslimin), yakni khususnya untuk para jama’ah haji yang sedang wuquf di padang Arofah. (lihat : Musykilul Atsar, karya Al-Imam Ath-Thohawy rohimahulloh, juga Al-Jami’ li Ahkamil ‘Iedain, hal. 28-29)

2. Karena itulah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa pada hari itu, karena memang hari itu hari raya bagi jama’ah haji, tetapi boleh berpuasa bagi orang yang tidak sedang berpuasa pada hari itu di tempat lainnya di seluruh penjuru bumi. (lihat hadits Ummul Fadhl bintu Harits rodhiyallohu ‘anha sebagaimana dalam Shohih Al-Bukhori no. 1988 dan hadits Maimunah rodhiyallohu ‘anha juga dalam Shohih Al-Bukhori no. 1989)


APA SAJA KEUTAMAAN YANG ADA PADA HARI AROFAH ITU ?

Disebutkan dalam hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha, bahwasannya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

”Tidak ada suatu hari yang Alloh lebih banyak membebaskan seorang hamba dari api neraka, selain dari Hari Arofah. Sesungguhnya Alloh Ta’ala mendekat dan berbangga di hadapan para Malaikat-Nya seraya berfirman : “Apa yang mereka (para hamba-hamba-Ku) inginkan ?” (HR Imam Muslim no. 1348)   

Dalam hadits yang lainnya, Alloh Ta’ala memuji para jama’ah haji yang sedang wuquf di Arofah pada hari itu, sebagaimana dalam sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam : 

“Sesungguhnya Alloh membanggakan orang-orang yang wuquf di Arofah kepada para Malaikat. Alloh berfirman kepada mereka : “Lihatlah para hamba-Ku, mereka dalam keadaan kusut dan berdebu.” 

(HR Imam Ahmad dalam Al-Musnad (2/305), Ibnu Khuzaimah dalam As-Shohih (no. 2839), dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh) Dan masih banyak hadits-hadits lainnya yang menjelaskan tentang keutamaan hari Arofah tersebut.


C. KEUTAMAAN PUASA HARI ‘AROFAH BAGI YANG SEDANG TIDAK    MENUNAIKAN IBADAH HAJI.

Disebutkan dalam hadits yang panjang, dari Abu Qotadah rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang keutamaan puasa pada hari ‘Arofah, maka beliau menjawab :

يكفر السنة الماضية والباقية

“Akan bisa menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR Imam Muslim no. 1162 / 197)

Guru kami, Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh berkata : “Hadits ini memberikan petunjuk yang nyata/jelas disunnahkannya puasa hari ‘Arofah, yaitu hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah.” (Ithaaful Anam, hal. 187)

As-Syaikh Abdulloh Al-Bassam rohimahulloh juga menyatakan : “Puasa hari ‘Arofah adalah puasa sunnah yang paling utama berdasarkan ijma’ para ulama.” (Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom, 3/201)


Masalah : “Diampunkan dosa-dosa setahun yang lalu, ini adalah hal yang bisa dimaklumi/dipahami. Tapi bagaimana maksud diampuni dosa-dosa setahun yang akan datang, padahal seseorang belum beramal ?” 

Tentang hal ini, dijelaskan oleh Al-Imam As-Shon’ani rohimahulloh sebagai berikut : “Telah timbul kesamaran (kekurangjelasan) tentang penghapusan dosa setahun yang akan datang (padahal seseorang belum beramal, edt.). Maka aku akan jawab : Bahwa yang dimaksud dengan hal itu adalah “Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq kepada seseorang untuk tidak berbuat dosa/maksiat. Hal itu dinamai dengan “penghapusan dosa”, karena kaitannya dengan (perkara yang terjadi) masa lalu. Atau (maknanya adalah), apabila seseorang terjatuh pada perbuatan dosa, Alloh akan memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan (amalan) yang bisa menghapus dosa-dosanya itu (yakni dengan bertobat dari dosa-dosanya itu atau dengan melakukan amal-amal sholeh lainnya, edt.).” (Subulus Salam, 2/339)



Masalah : “Bila terjadi perbedaan penetapan hari Arofah, antara pemerintah Saudi Arabia dengan negara-negara lainnya, seperti Indonesia misalnya, dikarenakan perbedaan dalam menentukan awal bulan Dzulhijjah, atau perbedaan dalam memahami apa hari Arofah itu, maka manakah Hari ‘Arofah yang bisa dijadikan sebagai “patokan” untuk berpuasa sunnah ?”

Dalam masalah ini, para ulama pun berbeda-beda pendapat. Sebagian mereka berpendapat, hendaknya mengikuti ketetapan dari pemerintah negaranya masing-masing, baik dalam masalah ied (hari raya), berpuasa romadhon atau lainnya, karena mengikuti ru’yah negaranya tersebut. Termasuk masalah puasa Arofah ini dan Hari Raya Idul Adha. Hal ini adalah pendapat yang dirojihkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimhaulloh.

Tetapi sebagian lainnya berpendapat, untuk puasa Arofah, hendaknya tetap mengikuti kapan ketetapan pemerintah Saudi Arabia dalam menetapkan saat “wuquf-nya” para jama’ah haji di padang Arofah. Sehingga, puasa hari itu benar-benar sesuai dengan hari dimana para jama’ah haji sedang wuquf di Arofah. Ini adalah pendapat yang dirojihkan oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baaz rohimahulloh, demikian pula Lajnah Ad-Daimah, dan juga yang dipilih oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzhohulloh ta’ala.

Dan yang kami pandang kuat, adalah pendapat kedua, dengan alasan sebagai berikut :

a. Dalam hadits Abu Qotadah rodhiyallohu ‘anhu sebagaimana telah disebutkan di atas, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang “puasa hari Arofah”, lalu beliau pun menjelaskan keutamaannya. Sebagaimana telah kita maklumi, bahwa yang dimaksud dengan “hari Arofah” adalah hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah, bertepatan dengan “saat wuqufnya para jama’ah haji di padang Arofah.” Maka siapa saja yang berpuasa bertepatan dengan hari itu (yakni bagi mereka yang sedang tidak menunaikan ibadah haji dimanapun mereka berada), dia akan mendapatkan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.

b. Dari situ kita ketahui, bahwa ibadah puasa hari Arofah itu, terkait dengan dua perkara penting, yaitu : waktu dan tempat. Waktunya adalah saat wuqufnya para jama’ah haji pada tanggal 9 Dzulhijjah. Tempatnya adalah : di padang Arofah, karena wuquf itu tidak ada tempat lagi di dunia ini selain di Arofah, yakni nama suatu tempat yang dekat dengan kota Mekkah di negara Saudi Arabia.

c.   Hadits Abu Qotadah tersebut di atas adalah “nash” (dalil) yang sangat gamblang tentang penjelasan keutamaan puasa hari Arofah, sekaligus penjelasan tentang apa dan kapan Hari ‘Arofah tersebut. Sehingga bila sudah ada dalil yang sangat jelas dan tegas seperti ini, tidak layak untuk membantahnya dengan adanya qiyas atau pendapat-pendapat seseorang, siapapun dia.

d. Mengaitkan perbedaan puasa hari Arofah dengan “ru’yah hilal” di masing-masing negera, sehingga menjadikan hari Arofah itu tidak mesti sama dengan waktu Arofah di negeri Saudi, adalah perkara yang tidak tepat. Dengan pengertian seperti yang mereka inginkan ini, berarti apabila wuquf di Arofah itu hari jum’at misalnya, yang berarti besoknya adalah Idul Adha, maka di negeri indonesia yang berkeyakinan bahwa hari Arofah itu jatuh hari sabtu berdasarkan ru’yatul hilal di Indonesia yang kebetulan berbeda dengan Saudi, berarti mereka melakukan puasa Arofah bukan pada hari dimana para jama’ah haji di Arofah sedang wuquf. Lalu, apakah tepat puasa Arofah seperti ini ? Menurut kami, tentu hal ini tidaklah tepat, wallohu a’lamu bis showab. Dan masih banyak alasan lainnya.

Maka berdasarkan alasan tersebut di atas, kami merasa lebih tenang dan mantap dengan berpuasa Arofah sesuai dengan waktu wuqufnya para jama’ah haji di padang Arofah, dan inilah tanggal 9 Dzulhijjah yang merupakan hari Arofah yang sebenarnya, wallohu a’lamu bis showab. Semoga Alloh Ta’ala memudahkan kita semuanya untuk menunaikan ibadah yang mulia dan yang sangat besar keutamaannya ini.  

Adapun tentang Sholat Idul Adha-nya, bila terjadi perbedaan penetapan antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara lainnya, termasuk negara Saudi Arabia misalnya, sebagaimana hal ini memang sering terjadi hampir setiap tahun khususnya pada Sholat Idul Fitrinya, maka sikap kami tetap sebagaimana keterangan di atas. Yakni, bila telah diketahui kapan para jama’ah haji wuquf di Arofah, maka sehari setelahnya tentu adalah Hari Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah.

Bila ada yang mengaitkan penetapan Idul Adha hanya dengan ru’yatul hilal pada masing-masing negara, yakni dengan meyakini bahwa setiap negara itu mempunyai ru’yah sendiri-sendiri, sebagaimana hal ini memang pendapat sebagian ulama, maka kami telah membahasnya secara rinci pada risalah kami dengan judul : “Berpuasa dan Berhari Raya berdasarkan Ru’yatul Hilal”. Khusus pada pembahasan tentang : “Bila hilal telah tampak pada suatu negeri, apakah hukum berpuasa itu berlaku untuk negeri yang melihat hilal itu sendiri ataukah berlaku pula untuk seluruh kaum muslimin di dunia ini ?”

Kami sebutkan disana tiga pendapat, dan kami menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa bila hilal telah nampak di suatu negeri di manapun di dunia ini, berlaku pula hukum puasa atau berhari raya itu bagi penduduk negeri yang telah melihat hilal itu, dan penduduk negeri manapun di seluruh dunia ini. Disana kami menyebutkan beberapa penjelasan/alasan kuat pendapat ini, sekaligus bantahan bagi pendapat yang selainnya. Wallohu a’lam bis showab.

Jadi, dari uraian yang kami sampaikan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
a.  Pendapat yang kami anggap kuat tentang Hari Arofah itu adalah hari tanggal 9 Dzulhijjah, bertepatan dengan hari wuqufnya para jama’ah haji di padang Arofah.

b.  Bahwa Puasa Hari Arofah itu terkait dengan dua perkara, yakni masalah waktu dan tempat, beda dengan puasa lainnya yang hanya terkait dengan waktu saja tanpa tempat.

c.  Bila terjadi penetapan awal waktu bulan Dzulhijjah di masing-masing negera, maka yang tetap dijadikan ukuran/patokan untuk menetapkan puasa Arofah dan Hari Raya Idul Adha adalah penetapan awal Dzulhijjah oleh pemerintah kerajaan Arab Saudi, karena terkait pula dengan penetapan kapan wuqufnya para jama’ah haji di Arofah.

d. Masalah ini adalah masalah khilafiyyah, tempat yang banyak terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Maka siapapun yang berpendapat dan berdalil, semua berdasarkan ilmu dan dalil yang sampai kepadanya, karena itu terkadang bisa benar, dan kadang pula bisa keliru/salah. Maka beramalah sesuai ilmu yang sampai kepada kita, yang dengan ilmu itulah hendaknya kita meyakini kebenaran amalan yang kita lakukan. Jadi, tidak perlu saling menyalahkan, apalagi hingga memvonis sesat terhadap pihak yang berbeda pendapat dengannya. Hanya kepada Alloh Ta’ala kita memohon dan berharap, semoga Alloh menerima amal sholih kita.

Wallohu a’lamu bis showab.



(Penyusun : Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby)