PUASA
AROFAH, KEUTAMAANNYA & HUKUM-HUKUM YANG TERKAIT DENGANNYA
A. PENGERTIAN
HARI AROFAH
Yang dimaksud dengan hari
Arofah, adalah hari ke 9 dari bulan Dzulhijjah, atau tanggal 9 Dzulhijjah
(yakni ketika para jama’ah haji melakukan puncak ibadah haji, yaitu wuquf di
padang ‘Arofah, edt.) (Ithaaful Anaam bi Ahkaami wa Masailis Shiyaam,
hal. 187)
B. HARI
AROFAH ADALAH TERMASUK ‘IEDUL MUSLIMIN (HARI RAYA KAUM MUSLIMIN)
Dalil yang menunjukkan hal
itu adalah hadits Uqbah bin ‘Amir rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يوم عرفة ويوم النحر وأيام التشريق عيدنا أهل الإسلام, وهن أيام الأكل
وشرب
“Hari
Arofah, Hari Nahr dan Hari-Hari Tasyriq adalah hari raya kita kaum muslimin,
itu semua adalah hari-hari makan dan minum.”
(HR Imam Abu Dawud no.
2402, At-Tirmidzi no. 773, Ibnu Abi Syaibah
(3/376), Ibnu Khuzaimah (2100), Al-Baghowi dalam Syarhus
Sunnah no. 1790 dan lain-lain, dishohihkan oleh Syaikh Muqbil Al-Wadi’i
rohimahulloh dalam As-Shohihul Musnad (2/28) dan juga guru kami
Syaikh Zayid bin Hasan bin Sholih Al-Wushobi hafidzhohulloh dalam Al-Jami’
li Ahkamil ‘Iedain, hal. 28-29)
Keterangan :
1. Hari
Arofah termasuk iedul muslimin (hari raya bagi kaum muslimin), yakni
khususnya untuk para jama’ah haji yang sedang wuquf di padang Arofah. (lihat : Musykilul
Atsar, karya Al-Imam Ath-Thohawy rohimahulloh, juga Al-Jami’ li
Ahkamil ‘Iedain, hal. 28-29)
2. Karena
itulah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa pada hari itu,
karena memang hari itu hari raya bagi jama’ah haji, tetapi boleh berpuasa bagi
orang yang tidak sedang berpuasa pada hari itu di tempat lainnya di seluruh
penjuru bumi. (lihat hadits Ummul Fadhl bintu Harits rodhiyallohu ‘anha
sebagaimana dalam Shohih Al-Bukhori no. 1988 dan hadits Maimunah
rodhiyallohu ‘anha juga dalam Shohih Al-Bukhori no. 1989)
APA SAJA KEUTAMAAN YANG ADA PADA HARI AROFAH ITU ?
Disebutkan dalam hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha, bahwasannya Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
”Tidak ada suatu hari yang Alloh
lebih banyak membebaskan seorang hamba dari api neraka, selain dari Hari
Arofah. Sesungguhnya Alloh Ta’ala mendekat dan berbangga di hadapan para
Malaikat-Nya seraya berfirman : “Apa yang mereka (para hamba-hamba-Ku) inginkan
?” (HR Imam Muslim no. 1348)
Dalam hadits yang lainnya, Alloh Ta’ala memuji para jama’ah haji yang
sedang wuquf di Arofah pada hari itu, sebagaimana dalam sabda Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam :
“Sesungguhnya Alloh membanggakan orang-orang
yang wuquf di Arofah kepada para Malaikat. Alloh berfirman kepada mereka :
“Lihatlah para hamba-Ku, mereka dalam keadaan kusut dan berdebu.”
(HR
Imam Ahmad dalam Al-Musnad (2/305), Ibnu Khuzaimah
dalam As-Shohih (no. 2839), dan hadits ini dishohihkan oleh
Syaikh Al-Albani rohimahulloh) Dan masih banyak hadits-hadits lainnya yang
menjelaskan tentang keutamaan hari Arofah tersebut.
C. KEUTAMAAN
PUASA HARI ‘AROFAH BAGI YANG SEDANG TIDAK MENUNAIKAN IBADAH HAJI.
Disebutkan dalam hadits
yang panjang, dari Abu Qotadah rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang keutamaan puasa pada hari ‘Arofah,
maka beliau menjawab :
يكفر السنة الماضية والباقية
“Akan bisa menghapus
dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR Imam Muslim no.
1162 / 197)
Guru kami, Syaikh Abu
Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh berkata : “Hadits ini
memberikan petunjuk yang nyata/jelas disunnahkannya puasa hari ‘Arofah, yaitu
hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah.” (Ithaaful Anam, hal. 187)
As-Syaikh Abdulloh
Al-Bassam rohimahulloh juga menyatakan : “Puasa hari ‘Arofah adalah puasa
sunnah yang paling utama berdasarkan ijma’ para ulama.” (Taudhihul Ahkam
min Bulughil Marom, 3/201)
Masalah : “Diampunkan dosa-dosa
setahun yang lalu, ini adalah hal yang bisa dimaklumi/dipahami. Tapi bagaimana
maksud diampuni dosa-dosa setahun yang akan datang, padahal seseorang belum
beramal ?”
Tentang hal ini,
dijelaskan oleh Al-Imam As-Shon’ani rohimahulloh sebagai berikut
: “Telah timbul kesamaran (kekurangjelasan) tentang penghapusan dosa setahun
yang akan datang (padahal seseorang belum beramal, edt.). Maka aku akan jawab :
Bahwa yang dimaksud dengan hal itu adalah “Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan
taufiq kepada seseorang untuk tidak berbuat dosa/maksiat. Hal itu dinamai
dengan “penghapusan dosa”, karena kaitannya dengan (perkara yang terjadi) masa
lalu. Atau (maknanya adalah), apabila seseorang terjatuh pada perbuatan dosa,
Alloh akan memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan (amalan) yang bisa
menghapus dosa-dosanya itu (yakni dengan bertobat dari dosa-dosanya itu atau
dengan melakukan amal-amal sholeh lainnya, edt.).” (Subulus Salam,
2/339)
Masalah : “Bila terjadi
perbedaan penetapan hari Arofah, antara pemerintah Saudi Arabia dengan
negara-negara lainnya, seperti Indonesia misalnya, dikarenakan perbedaan dalam
menentukan awal bulan Dzulhijjah, atau perbedaan dalam memahami apa hari Arofah
itu, maka manakah Hari ‘Arofah yang bisa dijadikan sebagai “patokan” untuk
berpuasa sunnah ?”
Dalam masalah ini, para
ulama pun berbeda-beda pendapat. Sebagian mereka berpendapat, hendaknya
mengikuti ketetapan dari pemerintah negaranya masing-masing, baik dalam masalah
ied (hari raya), berpuasa romadhon atau lainnya, karena mengikuti ru’yah
negaranya tersebut. Termasuk masalah puasa Arofah ini dan Hari Raya Idul Adha. Hal
ini adalah pendapat yang dirojihkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin
rohimhaulloh.
Tetapi sebagian lainnya
berpendapat, untuk puasa Arofah, hendaknya tetap mengikuti kapan ketetapan
pemerintah Saudi Arabia dalam menetapkan saat “wuquf-nya” para jama’ah haji di
padang Arofah. Sehingga, puasa hari itu benar-benar sesuai dengan hari dimana para
jama’ah haji sedang wuquf di Arofah. Ini adalah pendapat yang dirojihkan oleh
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baaz rohimahulloh, demikian pula Lajnah
Ad-Daimah, dan juga yang dipilih oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad
hafidzhohulloh ta’ala.
Dan yang kami pandang
kuat, adalah pendapat kedua, dengan alasan sebagai berikut :
a. Dalam
hadits Abu Qotadah rodhiyallohu ‘anhu sebagaimana telah disebutkan di atas,
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang “puasa hari Arofah”,
lalu beliau pun menjelaskan keutamaannya. Sebagaimana telah kita maklumi, bahwa
yang dimaksud dengan “hari Arofah” adalah hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah,
bertepatan dengan “saat wuqufnya para jama’ah haji di padang Arofah.” Maka
siapa saja yang berpuasa bertepatan dengan hari itu (yakni bagi mereka yang
sedang tidak menunaikan ibadah haji dimanapun mereka berada), dia akan
mendapatkan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.
b. Dari
situ kita ketahui, bahwa ibadah puasa hari Arofah itu, terkait dengan dua perkara
penting, yaitu : waktu dan tempat. Waktunya adalah
saat wuqufnya para jama’ah haji pada tanggal 9 Dzulhijjah. Tempatnya adalah :
di padang Arofah, karena wuquf itu tidak ada tempat lagi di dunia ini selain di
Arofah, yakni nama suatu tempat yang dekat dengan kota Mekkah di negara Saudi
Arabia.
c. Hadits
Abu Qotadah tersebut di atas adalah “nash” (dalil) yang sangat gamblang tentang
penjelasan keutamaan puasa hari Arofah, sekaligus penjelasan tentang apa dan
kapan Hari ‘Arofah tersebut. Sehingga bila sudah ada dalil yang sangat jelas
dan tegas seperti ini, tidak layak untuk membantahnya dengan adanya qiyas atau
pendapat-pendapat seseorang, siapapun dia.
d. Mengaitkan
perbedaan puasa hari Arofah dengan “ru’yah hilal” di masing-masing negera,
sehingga menjadikan hari Arofah itu tidak mesti sama dengan waktu
Arofah di negeri Saudi, adalah perkara yang tidak tepat. Dengan pengertian
seperti yang mereka inginkan ini, berarti apabila wuquf di Arofah itu hari
jum’at misalnya, yang berarti besoknya adalah Idul Adha, maka di negeri
indonesia yang berkeyakinan bahwa hari Arofah itu jatuh hari sabtu berdasarkan
ru’yatul hilal di Indonesia yang kebetulan berbeda dengan Saudi, berarti mereka
melakukan puasa Arofah bukan pada hari dimana para jama’ah haji
di Arofah sedang wuquf. Lalu, apakah tepat puasa Arofah seperti ini ? Menurut
kami, tentu hal ini tidaklah tepat, wallohu a’lamu bis showab. Dan masih banyak
alasan lainnya.
Maka berdasarkan alasan
tersebut di atas, kami merasa lebih tenang dan mantap dengan berpuasa Arofah
sesuai dengan waktu wuqufnya para jama’ah haji di padang Arofah, dan inilah
tanggal 9 Dzulhijjah yang merupakan hari Arofah yang sebenarnya, wallohu a’lamu
bis showab. Semoga Alloh Ta’ala memudahkan kita semuanya untuk menunaikan
ibadah yang mulia dan yang sangat besar keutamaannya ini.
Adapun tentang Sholat Idul
Adha-nya, bila terjadi perbedaan penetapan antara pemerintah Indonesia dengan
negara-negara lainnya, termasuk negara Saudi Arabia misalnya, sebagaimana hal
ini memang sering terjadi hampir setiap tahun khususnya pada Sholat Idul
Fitrinya, maka sikap kami tetap sebagaimana keterangan di atas. Yakni, bila
telah diketahui kapan para jama’ah haji wuquf di Arofah, maka sehari setelahnya
tentu adalah Hari Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah.
Bila ada yang mengaitkan
penetapan Idul Adha hanya dengan ru’yatul hilal pada masing-masing negara, yakni
dengan meyakini bahwa setiap negara itu mempunyai ru’yah sendiri-sendiri,
sebagaimana hal ini memang pendapat sebagian ulama, maka kami telah membahasnya
secara rinci pada risalah kami dengan judul : “Berpuasa dan Berhari Raya
berdasarkan Ru’yatul Hilal”. Khusus pada pembahasan tentang : “Bila
hilal telah tampak pada suatu negeri, apakah hukum berpuasa itu berlaku untuk
negeri yang melihat hilal itu sendiri ataukah berlaku pula untuk seluruh kaum
muslimin di dunia ini ?”
Kami sebutkan disana tiga
pendapat, dan kami menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa bila hilal telah
nampak di suatu negeri di manapun di dunia ini, berlaku pula hukum puasa atau
berhari raya itu bagi penduduk negeri yang telah melihat hilal itu, dan
penduduk negeri manapun di seluruh dunia ini. Disana kami menyebutkan beberapa
penjelasan/alasan kuat pendapat ini, sekaligus bantahan bagi pendapat yang
selainnya. Wallohu a’lam bis showab.
Jadi, dari uraian yang
kami sampaikan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Pendapat
yang kami anggap kuat tentang Hari Arofah itu adalah hari tanggal 9 Dzulhijjah,
bertepatan dengan hari wuqufnya para jama’ah haji di padang Arofah.
b. Bahwa
Puasa Hari Arofah itu terkait dengan dua perkara, yakni masalah waktu dan
tempat, beda dengan puasa lainnya yang hanya terkait dengan waktu saja tanpa
tempat.
c. Bila
terjadi penetapan awal waktu bulan Dzulhijjah di masing-masing negera, maka
yang tetap dijadikan ukuran/patokan untuk menetapkan puasa Arofah dan Hari Raya
Idul Adha adalah penetapan awal Dzulhijjah oleh pemerintah kerajaan Arab Saudi,
karena terkait pula dengan penetapan kapan wuqufnya para jama’ah haji di
Arofah.
d. Masalah
ini adalah masalah khilafiyyah, tempat yang banyak terjadi perbedaan pendapat
di dalamnya. Maka siapapun yang berpendapat dan berdalil, semua berdasarkan
ilmu dan dalil yang sampai kepadanya, karena itu terkadang bisa benar, dan
kadang pula bisa keliru/salah. Maka beramalah sesuai ilmu yang sampai kepada
kita, yang dengan ilmu itulah hendaknya kita meyakini kebenaran amalan yang
kita lakukan. Jadi, tidak perlu saling menyalahkan, apalagi hingga memvonis
sesat terhadap pihak yang berbeda pendapat dengannya. Hanya kepada Alloh Ta’ala
kita memohon dan berharap, semoga Alloh menerima amal sholih kita.
Wallohu a’lamu bis showab.
(Penyusun : Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby)