MENGENAL HUKUM SEPUTAR UDH-HIYYAH (Bagian ke-3)


Hasil gambar untuk masjid nabawi
HAL-HAL YANG DIWAJIBKAN BAGI ORANG YANG BERQURBAN DAN PADA HEWAN QURBAN TERSEBUT


Saudaraku kaum muslimin rohimahulloh......

Ketahuilah, diantara kewajiban-kewajiban yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh orang yang hendak berqurban adalah sebagai berikut :

A. Orang yang hendak berqurban, apabila telah memasuki sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, tidak boleh baginya untuk menghilangkan sedikitpun dari rambut yang tumbuh pada tubuhnya, atau memotong kukunya.

Hal ini berdasarkan sebuah hadits dari Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره وبشره شيئا (وفي لفظ لمسلم : من كان له ذبح يذبحه، فإذا أهل هلال ذي الحجة فلا يأخذن من شعره ولا من أظفاره شيئا حتى يضحي)

“Apabila telah masuk sepuluh hari (pertama di bulan Dzulhijjah), dan salah seorang dari kalian berkeinginan untuk berqurban, maka janganlah dia menyentuh (yakni mengambilnya dengan mencukurnya, mencabutnya atau memotongnya, edt.) sedikitpun dari rambutnya dan kulitnya.”

Dalam lafadz yang lainnya juga dalam riwayat Imam Muslim :“Barangsiapa mempunyai (hewan) sembelihan yang akan dia sembelih (untuk qurban), maka apabila telah muncul hilal (bulan sabit tanggal satu) dari hilal Dzulhijjah, maka janganlah dia mengambil sedikitpun dari rambutnya dan juga kukunya, hingga dia menyembelih qurbannya.” (HR Imam Muslim no. 1977)

Para ulama berbeda pendapat tentang apa hukum larangan dalam hadits tersebut di atas. Sebagian ulama berpendapat haramnya hal tersebut, ini adalah pendapatnya Sa’id bin Al-Musayyib, Robi’ah, Ahmad, Ishaq, Dawud dan sebagian sahabat-sahabat As-Syafi’i.

Sebagian lainnya berpendapat hukumnya makruh tanzih (hanya makruh saja, tidak sampai pada derajat haram), ini adalah pendapatnya Imam As-Syafi’i dan mayoritas sahabat-sahabatnya (yakni para ulama yang semadzhab dengan beliau).

Sebagian lainnya berpendapat hukumnya tidak makruh, ini adalah pendapatnya Imam Malik (beliau punya beberapa pendapat dalam masalah ini) dan Abu Hanifah.Imam Malik juga berpendapat dimakruhkannya hal tersebut.

Beliau juga pendapat lainnya, yaitu berpendapat hukumnya diharamkan pada sembelihan qurban yang hukumnya tathowwu (sunnah saja), tetapi tidak harom bila sembelihannya itu wajib, ini adalah pendapat beliau sebagaimana yang diceritakan oleh Imam Ad-Darimi rohimahulloh.

(lihatAl-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (8/392) karya Imam An-Nawawi rohimahulloh, dan Syarhus Sunnah (4/348) karya Imam Al-Baghowi rohimahulloh)

Lalu mana yang rojih (kuat dan terpilih) dari pendapat-pendapat tersebut di atas ? Al-Imam As-Syaukani rohimahulloh berkata : “Yang nampak benar adalah orang yang berpendapat haramnya (mengambil/menghilangkan sedikitpun dari rambut atau kukunya) bagi orang yang akan berqurban…..” (Nailul Author, 3/475)

Guru kami, Syaikh Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh menegaskan : “Dengan ini kita ketahui, bahwa pendapat yang menyatakan haromnya hal tersebut adalah pendapat yang shohih (benar),dikarenakan dhohirnya dalil-dalil yang dijadikan pegangan para a’immah (para ulama) rohimahumulloh yang berpendapat dengan pendapat ini.”(At-Tajliyyah li Ahkamil Hadyi wal Udh-hiyyah, hal. 42)

Guru kami yang lainnya, Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh juga berkata : “(Pendapat) yang shohih adalah hukumnya harom. Inilah yang ditarjih (dikuatkan) oleh Imam As-Shon’ani dan As-Syaukani, kemudian juga Syaikh Al-‘Allamah Al-Wadi’i dan Syaikh Al-‘Allamah Ibnu Utsaimin rohimahumulloh….” (Fathul ‘Allam, 5/517-518)

Pendapat seperti itu pula (yakni haramnya hal tersebut) yang dirojihkan oleh Syaikh Al-‘Allamah As-Syinqithi rohimahulloh dalam Adhwaa’ul Bayan (5/640).
Wallohu a’lam bis showab.


Masalah : “Siapakah yang terkena hukum larangan tersebut, apakah khusus untuk orang yang berqurban (yakni seorang suami yang telah mengeluarkan harta untuk qurban bagi dirinya dan untuk keluarganya), ataukah juga berlaku bagi seluruh anggota keluarganya ?”

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Adapun Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rohimahulloh menyatakan : “Yang benar adalah bahwa hanya orang yang berqurban sajalah yang tidak boleh mengambil (rambut dan kulitnya dan juga kukunya) sampai dia menyembelih qurbannya. Adapun orang yang diniatkan untuknya qurban tersebut, seperti istri dan anak-anaknya, maka tidak berdosa apabila mereka melakukan hal tersebut, karena kepala keluargalah yang mengeluarkan harta untuk berqurban, inilah pendapat yang benar.” (lihatMajmu’ Fatawa Syaikh bin Baz, 25/242)

Adapun guru kami yang mulia, Syaikh Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzohulloh berpendapat bahwa larangan tersebut mencakup istri, anak-anak beserta seluruh anggota keluarga, dan siapa saja yang diniatkan pahala qurban untuknya. (At-Tajliyah, hal 41).

Beliau membawakan pernyataan As-Syaikh Al-‘Allamah Manshur bin Yunus Al-Bahuti rohimahulloh sebagai berikut : “Orang yang hendak berqurban dan juga orang yang diniatkan qurban untuknya (seperti istri dan anak-anak serta seluruh penghuni rumahnya,edt.), lalu masuk pada sepuluh hari (pertama di bulan Dzulhijjah), diharamkan atasnya mengambil sedikitpun dari rambutnya, kukunya dan kulitnya sampai dia menyembelih, meskipun dengan satu sembelihan (hewan qurban) bagi orang yang berqurban untuk (keluarga) yang jumlahnya lebih banyak.” (Kasyaful Qina’ ‘an Matanil Iqna’ (4/1241), lihat juga At-Tajliyyah, hal. 42)Wallohu a’lam.

Masalah :“Apa hikmah larangan tersebut ?

Tentang masalah ini, dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut : “Hikmah larangan sebagaimana hadits tersebut di atas adalah karena orang yang berqurban itu mirip seperti orang yang menjalani ibadah haji dalam sebagian amalannya, yaitu mendekatkan diri kepada Alloh dengan qurban, sehingga diapun terkena sebagian hukum dan larangan seperti orang yang sedang beribadah haji. Wallohu a’lam bis showab.”  (lihatTahdzibus Sunan (4/99) karya Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh, Ahkamul Udh-hiyyah (hal. 60) karya Syaikh Al-‘Allamah Ibnu Utsaimin rohimahulloh)


B.   Al-Ihsan (berbuat baik dan lemah lembut) terhadap hewan sembelihan.

Hal ini berdasarkan hadits Syaddad bin Aus rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya Alloh mewajibkan berbuat ihsan terhadap segala sesuatu. Maka apabila kamu membunuh, berbuatlah ihsan dalam membunuhnya.Dan apabila kamu menyembelih, maka berbuatlah ihsan dalam menyembelihnya.Hendaknya salah seorang dari kamu mengasah (lebih dulu) pisau (alat menyembelihnya), dan hendaknya pula dia menyenangkan sembelihannya.” (HR Imam Muslim, no. 1955)

Juga berdasarkan hadits Qurroh bin Iyyas rodhiyallohu ‘anhu :

“Bahwasannya ada seseorang bertanya kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rosululloh, sesungguhnya aku akan menyembelih seekor kambing, dan aku kasihan kepadanya.” Atau dia mengatakan : “Sesungguhnya aku benar-benar menyayangi kambing yang akan kusembelih.” Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seekor kambing, yang jika kamu menyayanginya (ketika menyembelihnya), niscaya Alloh akan menyayangimu pula.” 

(HR Imam Ahmad dalam Al-Musnad (3/436) dengan sanad yang shohih, dishohihkan Syaikh Yahya hafidzhohulloh dalam At-Tajliyyah, hal. 43)
  
Diantara bentuk rasa kasih sayang pada hewan sembelihan, selain kita diperintah untuk menajamkan pisau atau alat untuk menyembelih, hendaknya juga janganlah kita mengasah/menajamkan pisau tersebut dihadapan hewan yang akan kita sembelih.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma :“Bahwa ada seseorang yang telah membaringkan seekor kambing yang akan disembelihnya, dan dia ketika itu sedang mengasah pisaunya (di hadapan hewan sembelihannya tersebut), maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Apakah engkau ingin menjadikan dia (hewan sembelihanmu itu) mati berkali-kali ? Mengapa tidak engkau asah pisaumu sebelum engkau membaringkannya ?” (HR Al-Hakim (4/231), sanadnya shohih)



C. Tidak boleh menjual sedikitpun dari bagian tubuh hewan sembelihan qurban. Dan tidak boleh pula memberikan kepada tukang jagal (tukang menyembelih) berupa bagian dari tubuh hewan sembelihan itu sebagai upah atas pekerjaannya, tetapi hendaknya upahnya diambilkan dari selain harta qurban.

Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :

“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk mengurusi onta-onta (qurban) beliau, dengan menyedekahkan dagingnya, kulitnya dan isi perutnya. Dan (juga) tidak memberikan kepada si tukang jagal sedikitpun darinya (dari dagingnya, atau kulitnya atau isi perutnya tersebut, edt.). Ali rodhiyallohu ‘anhu juga berkata : “Kami memberikan kepada si tukang jagal itu sesuatu dari (harta) kami.” (HR Imam Al-Bukhorino. 1717 dan Muslim no. 1317)

Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata : “Tidak boleh menjual kulit hewan Hadyu (sembelihan sebagai denda bagi jama’ah haji) dan kulit hewan sembelihan  qurban, serta (tidak boleh menjual) sedikitpun dari anggota-anggota tubuhnya….” (Syarh Shohih Muslim)

Guru kami, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh menegaskan : “Ini adalah pendapat yang shohih, yang dikuatkan dengan dhohir larangan (dalam hadits tersebut), dan dengan ini kami merasa cukup (yakni tidak butuh lagi) dari menyebutkan pendapat-pendapat yang tidak shohih.” (At-Tajliyyah, hal. 47)

Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh juga menjelaskan : “……Adapun apabila memberikan kepada si tukang jagal itu (dari daging sembelihan qurban dan  lainnya) karena kemiskinannya atau sebagai hadiah untuknya, maka hal ini tidak mengapa, karena memang dia adalah orang yang berhak mengambilnya/menerimanya. Keadaan dia sama seperti yang lainnya, bahka dia lebih utama (untuk menerimanya), karena dia adalah orang yang bersentuhan langsung dengan sembelihan tersebut (yakni karena dia yang menyembelihnya), dan tentunya jiwanya punya keinginan untuk mendapatkan bagian darinya.”

Beliau juga mengatakan : “Ringkasnya, tidak boleh menjual sedikitpun dari (bagian tubuh) hewan sembelihan qurbannya, tidak dagingnya, tidak pula kulitnya, baik sembelihannya itu sembelihan yang wajib ataupun yang tathowwu’ (sunnah), karena semuanya itu telah dita’yin (ditentukan secara khusus) sebagai sembelihan qurban.Imam Ahmad bin Hambal rohimahulloh berkata : “Tidak boleh menjual sesuatupun dari sembelihan qurbannya. Subhanalloh, bagaimana dia bisa menjualnya, padahal dia telah menjadikan (sembelihan qurbannya) itu untuk Alloh Tabaroka wa Ta’ala ?” (lihatAl-Mughni, 9/450)

Demikianlah beberapa kewajiban yang harus diperhatikan oleh orang yang hendak berqurban. Wallohu a’lamu bis showab.
Maroji’ :
1.  At-Tajliyyah, li Ahkamil Hadyi wal Udh-hiyyah, karya guru kami, Fadhilatus Syaikh Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh.
2.  Fathul ‘Allam, fii Dirosah Ahaaditsi Bulughil Marom (jilid 5), karya guru kami Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al-Fudholi Al-Ba’dani hafidzhohulloh.