SYARAT-SYARAT SAHNYA SEMBELIHAN QURBAN
Saudaraku kaum muslimin rohimakumulloh......
Agar ibadah qurban
kita menjadi ibadah yang diridhoi oleh Alloh dan diterima-Nya, sepantasnya bagi
orang yang berqurban untuk memperhatikan syarat-syarat berqurban, diantaranya
adalah :
A. Ikhlas
karena mengharap Wajah-Nya
Hal itu karena berqurban adalah suatu ibadah, dan termasuk syarat sahnya
suatu ibadah adalh ikhlas, yakni semata-mata mengharap keridhoan-Nya dan pahala
dari-Nya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (٥)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah
agama yang lurus.”(QS Al-Bayyinah : 5)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا
وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا
اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ (٣٧)
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat
mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya.Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu
mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu.Dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Hajj : 37)
B. Hewan
yang dijadikan qurban adalah hewan-hewan yang telah ditentukan oleh Alloh
Ta’ala, yang berupa tiga jenis hewan-hewan ternak.
Yang dimaksud adalah Onta, Sapi dan Kambing, baik yang jenisnya jantan
maupun betina.Dan tidak sah qurban dengan hewan-hewan yang selainnya.
Berdasarkan firman Alloh Ta’ala :
أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ
“Dihalalkan bagimu binatang ternak,…….” (QS Al-Maidah : 1)
Juga firman Alloh Ta’ala :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا
لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ
إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ (٣٤)
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan
(kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak
yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha
Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS Al-Hajj : 34)
Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata : “Ini adalah perkara ijma’ (yang
telah disepakati oleh para ulama, yakni bahwa qurban itu dengan binatang ternak
tertentu, yang berupa onta, sapi atau kambing, edt.).” (Roudhotut
Tholibin, 3/193)
Para ulama lain yang juga menukilkan adanya ijma’ dalam permasalahan ini
adalah : Ibnu Abdil Barr rohimahulloh dalam At-Tamhid (23/188),
Ibnu Hazmrohimahulloh dalam Marotibul Ijma’ (hal. 42), Ibnu Rusy
rohimahulloh dalam Bidayatul Mujtahid (5/475) dan (6/174), dan
yang lainnya.
Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata : “Para ulama sepakat bahwa berqurban
itu tidaklah sah dengan selain onta, sapi dan kambing. Kecuali apa yang
diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Al-Hasan bin Sholih, bahwa dia berkata :
“Boleh berqurban dengan sapi liar untuk tujuh orang dan seekor kijang untuk satu
orang. Dawud Ad-Dhohiri juga berpendapat seperti itu, khususnya tentang sapi
liar.” Imam An-Nawawi menolak pendapat ini dengan berkata : “(Yang benar),
tidak sah berqurban dengan sapi liar.” (Syarh Shohih Muslim, pada
hadits 1963).
Guru kami yang mulia, Syaikh Al-Muhaddits Yahya bin Ali al-Hajuri
hafidzohulloh ta’ala juga berkata : “Yang shohih (benar), tidak sah berqurban
dengan sapi liar. Sasaran pembicaraan (dalam Al-Qur’an) tentang hewan-hewan
ternak, adalah hewan-hewan yang Alloh jadikan sebagai kepemilikan seseorang
(yakni yang dimiliki seseorang, jadi bukan yang liar).Imam An-Nawawi
berpendapat seperti itu pula….” (At-Tajliyyah li Ahkamil Hadyi wal
Udh-hiyyah, hal. 16)
C. Memperhatikan
umur hewan-hewan qurban.
Disyaratkan, hewan-hewan qurban itu adalah “Musinnah”,
berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu ‘anhu :
لا تذبحوا إلا مسنة, إلا أن يعسر عليكم, فتذبحوا جذعة من الضأ
“Janganlah kalian menyembelih, kecuali musinnah. Kecuali bila
sulit bagi kamu (mendapatkan yang musinnah tersebut), maka (boleh bagi) kamu menyembelih seekor anak
domba.”
(HR Imam Muslim no. 1963)
Imam An-Nawawi rohimahulloh menjelaskan : “Para ulama berkata : “Musinnah
adalah semua jenis hewan yang telah tsaniyyah (yakni yang telah
tanggal gigi bagian depannya, dan tumbuh gigi yang lainnya, bahasa Jawanya :
kowel), baik itu onta, sapi maupun kambing.”
Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh menjelaskan :
“Musinnah atau yang disebut juga Tsaniyyah, adalah hewan yang telah tanggal
gigi bagian depannya, dan tumbuh giginya yang lainnya (bahasa Jawanya :
kowel).” (Fathul ‘Allam, 5/531)
Al-Imam Ibnul Atsir rohimahulloh dalam An-Nihayah juga
menjelaskan : “Tsaniyyah (musinnah) dari kambing adalah yang (umurnya) telah
masuk tahun ketiga (yakni lebih dari dua tahun), demikian pula untuk sapi.
Sedangkan musinnah dari onta adalah yang (umurnya) telah masuk tahun ke enam
(yakni lebih dari lima tahun). Imam Ahmad bin Hambal berpendapat, musinnah
untuk Al-Ma’zu (kambing kacang atau kambing jawa) adalah masuk usia tahun kedua
(yakni setahun lebih), sedangkan sapi adalah telah masuk tahun ketiga.”
Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata pula : “Anak domba (yang boleh
dijadikan untuk berqurban) adalah yang telah sempurna berumur satu tahun (yakni
yang berusia lebih dari setahun, bukan yang kurang dari itu, edt.). Dan inilah
yang paling shohih dari pendapat sahabat-sahabat kami (para ulama syafi’iyyah),
dan inilah yang paling masyhur di sisi Ahli bahasa Arab dan yang selain
mereka.”
D. Hewan-hewan
qurban itu hendaknya selamat dari berbagai cacat (aib/kekurangan)
Hal itu berdasarkan hadits Al-Baro’ bin ‘Azib rodhiyallohu ‘anhu, bahwa
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Empat (jenis hewan), yang tidak boleh dijadikan untuk qurban
: (1) Al-Auro’ (hewan yang jelas-jelas buta sebelah matanya), (2) Al-Maridhoh
(hewan yang sakit yang jelas-jelas sakitnya), (3) Al-‘Arja’ (hewan
yang pincang yang jelas-jelas pincangnya), (4) Al-Kasiroh (hewan yang
sudah tua, yang tidak mempunyai sumsum/daging).” (HR Imam Ahmad
(4/289), Abu Dawud (no. 2802), An- Nasa’i
(7/214-215), At-Tirmidzi (no. 1497), Ibnu Majah
(no. 3144) dan Ibnu Hibban (no. 5919-5922), sanadnya shohih,
dishohihkan oleh Imam Al-Bukhori dan Imam Ahmad, juga dishohihkan oleh Syaikh
Al-Albani rohimahulloh dalam Shohih Ibnu Majah (no. 2562), Irwa’ul
Gholil (no. 1148) dan Al-Misykah (no. 1465)
Imam An- Nawawi rohimahulloh berkata : “Para ulama sepakat bahwa aib-aib
(cacat) yang disebutkan pada hadits Al-Baro’, tidak sah untuk berqurban
dengannya. Demikian pula apa saja aib-aib yang semakna dengannya, atau yang
lebih jelek daripada itu, seperti yang buta matanya, buntung kakinya dan yang
serupa dengannya.” (Syarh Shohih Muslim, penjelasan hadits no.
1966)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh : “Tentang hewan-hewan yang
tanggal sebagian dari gigi bagian depannya, ada dua pendapat, keduanya berasal
dari madzhabnya Imam Ahmad, dan yang paling shohih dari keduanya adalah sah
(berqurban dengannya). Adapun hewan yang tidak mempunyai gigi sama sekali pada
bagian atasnya (yakni sudah tanggal semuanya), maka inipun juga sah (untuk
berqurban) berdasarkan kesepakatan ulama.”Wallohu a’lam.
E. Memperhatikan
kapan waktu memulai sembelihan dan kapan waktu yang terakhirnya.
Untuk mengetahui waktu awal dan akhir sahnya sembelihan hewan qurban
kita, mari kita perhatikan hadits Al-Baro’ bin ‘Azib rodhiyallohu ‘anhu juga,
bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan pada hari ini
adalah sholat (yakni sholat ‘Idhul Adha), kemudian kita pulang lalu menyembelih
(hewan qurban). Barangsiapa melakukan seperti itu, maka dia telah
mencocoki/sesuai dengan sunnah (tuntunan) kami. Dan barangsiapa telah
menyembelih sebelum sholat, maka itu hanyalah daging (sembelihan biasa) yang
dia berikan untuk keluarganya, bukan sembelihan qurban sedikitpun.” (HR Imam Al-Bukhori
no. 5545 dan Imam Muslim no. 1961)
Kemudian dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Barangsiapa telah menyembelih
sebelum sholat, maka itu hanyalah sembelihan untuk dirinya sendiri. Dan
barangsiapa menyembelih setelah sholat, sungguh telah sempurna qurbannya dan
telah mencocoki/sesuai dengan sunnahnya kaum muslimin.” (HR Imam
Al-Bukhori no. 5546 dan Imam Muslim no. 1962)
Kemudian juga dalam hadits Jundub bin Sufyan Al-Bajali rodhiyallohu
‘anhu, bahwasannya dia pernah sholat Idul Adha bersama Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam, lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Barangsiapa
telah melakukan sembelihan sebelum sholat, maka hendaknya dia menyembelih lagi
seekor kambing lainnya sebagai gantinya. Dan barangsiapa belum menyembelih
sampai kami telah selesai sholat, hendaknya dia menyembelih dengan menyebut
nama Alloh.” (HR Imam Al-Bukhori no. 5500 dan Imam
Muslim no. 1960)
Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata : “Adapun waktu penyembelihan hewan
qurban adalah seharusnya disembelih setelah selesai sholat bersama imam. Ketika
itu, telah sah qurbannya berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata : “Barangsiapa
menyembelih sebelum sholat ‘ied karena lupa, atau karena kebodohannya (tidak
tahu hukumnya), tetap tidak sah qurbannya.”
Guru kami, Syaikh Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh
berkata : “Inilah yang shohih (benar) sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil.
Dan juga, tidak sah melakukan sembelihan sebelum terbitnya matahari hingga
setinggi tombak/lembing.Inilah petunjuk Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam dan sunnah (tuntunan) beliau, serta sunnahnya (jalan yang ditempuh) kaum
muslimin, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Al-Baro’ rodhiyallohu
‘anhu.
Beliau juga berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidaklah
membatalkan sembelihan qurban yang telah dilakukan sebelum sholat pada hari
itu, kecuali karena memang mereka melakukan sembelihan itu sebelum sholat ‘ied.
Barangsiapa yang telah menyembelih sebelum sholat, atau sebelum waktu yang
telah ditentukan khususnya bagi orang yang mempunyai udzur, maka tetap saja
sembelihannya itu bukanlah termasuk ibadah qurban sedikitpun.”(At-Tajliyyah
li Ahkamil Hadyi wal Udh-hiyyah, hal. 21)
Demikian itulah pembahasan tentang waktu awal untuk melakukan sembelihan
qurban, yakni sesudah melakukan sholat ‘ied.Adapun waktu akhir untuk melakukan
sembelihan qurban adalah hingga terbenamnya matahari pada akhir hari-hari
tasyriq.
Dan yang dimaksud dengan hari-hari tasyriq adalah tiga hari
setelah hari raya qurban (yakni tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah). Dinamai
dengan hal itu adalah dikarenakan “tasyriqul lahm” (pendendengan
daging), yakni menjemur daging di bawah
terik matahari agar menjadi kering. (lihatAn-Nihayah, karya Ibnul
Atsir rohimahulloh)
Para ulama yang berpendapat bahwa waktu akhir untuk melakukan sembelihan
qurban adalah akhir hari-hari tasyriq, diantaranya adalah : Ali bin Abi Tholib,
Jubair bin Muth’im, Ibnu ‘Abbas, ‘Atho’, Al-Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdil
Aziz, Sulaiman bin Musa al-Asadi sorang ulama yang faqih dari negeri Syam,
Makhul, Dawud ad-Dhohiri dan lain-lainnya. Pendapat inilah yang dipilih oleh
Syaikh Al-‘Allamah Ibnu Baaz, Syaikh Al-‘Allamah Ibnu Utsaimin, dan Syaikh
al-‘Allamah Muqbil al-Wadi’i rohimahumulloh ajma’in, dan juga para guru kami,
seperti syaikh Yahya al-Hajuri, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam dan Syaikh
Zayid Al-Wushobi hafidzhohumulloh.
Dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadits Nabisyah al-Hudzali
rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
أيام التشريق أيام أكل وشرب وذكر الله عز وجل
“Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari makan dan minum dan
berdzikir kepada Alloh.” (HR Imam Muslim no. 1141)
Pada hari-hari tasyriq tersebut adalah hari-hari dibolehkannya terus
melakukan sembelihan qurban, hingga tenggelamnya matahari pada hari tanggal 13
Dzulhijjah, berdasarkan hadits Jubair bin Muth’im rodhiyallohu ‘anhu, bahwa
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Semua hari-hari tasyriq
adalah sembelihan (yakni bolehnya melakukan sembelihan qurban,edt.)”. (HR Imam
Ahmad (4/82) no. 16.751, Syaikh Yahya Al-Hajuri hafidzhohulloh berkata
tentang hadits ini :“Hadits ini Hasan dengan Syawahidnya
(penguat-penguatnya).”Lihat :At-Tajliyyah, hal. 24)
F. Tidak
boleh berserikat/bersekutu atau patungan dalam berqurban, lebih dari jumlah
orang yang telah ditentukan (yakni tujuh orang untuk sapi atau onta, dan satu
orang untuk kambing)
Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam
At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1505), beliau menyebutkan dengan
sanad-sanadnya hingga Atho’ bin Yasar, dia berkata :
“Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshori rodhiyallohu ‘anhu
: “Bagaimanakah keadaan (cara) berqurban di jaman Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam ?” Dia menjawab : “Seseorang berqurban dengan seekor kambing
darinya dan dari keluarganya semuanya. Dia memakan (daging) dari qurbannya
tersebut dan juga memberikannya (pada orang lain), sampai manusiaberlomba-lamba
sehingga ibadah qurban seperti apa yang kamu saksikan sekarang ini.” (HR At-Tirmidzi,
no. 1505)
Al-Imam As-Syaukani rohimahulloh dalam Nailul Author
berkata : “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seekor kambing mencukupi untuk
(qurban) dari seluruh penghuni rumah/satu keluarga, karena para sahabat
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan yang demikian itu pada jaman
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.”
Guru kami, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh juga berkata :
“Maka seseorang dengan anggota keluarganya (yang berada dalam satu rumah,
edt.), mencukupi bagi mereka satu ekor sembelihan (qurban). Dan tidak
cukup/tidak sah bersekutu/patungan dalam berqurban dengan seekor kambing yang
lebih banyak dari satu rumah (satu keluarga).” (At-Tajliyyah,
hal. 31)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh juga mengatakan : “Boleh
berqurban dengan seekor kambing untuk satu rumah dan seluruh penghuninya, (baik
itu) istri-istrinya, anak-anaknya dan orang-orang yang bersamanya (dalam rumah
tersebut), sebagaimana hal ini dilakukan oleh para sahabat rodhiyallohu
‘anhum.” (Majmu’ Al-Fatawa, 23/164)
Al-Imam As-Syaukani rohimahulloh juga menegaskan : “Yang benar, bahwa sah
(berqurban dengan seekor kambing) untuk satu keluarga/satu rumah, meskipun
jumlah mereka (dalam keluarga tersebut) seratus jiwa atau lebih banyak dari
itu, sebagaimana hal itu telah ditetapkan dalam as-sunnah.” (Nailul
Author, 3/485)
Berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan di atas pula, tidak sah berqurban
dengan cara berpatungan untuk beli seekor kambing atau beberapa kambing dengan banyak
orang, seperti yang banyak dilakukan di sekolah-sekolah atau di desa-desa di
masyarakat kita di Indonesia, yang mereka sebut ‘Urunan Qurban”, wallohu a’lamu
bis showab.
Selanjutnya, dibolehkan bersekutu/berpatungan dalam berqurban dengan
seekor sapi atau onta yang dilakukan oleh tujuh orang, dan tidak boleh lebih
dari itu. Hal itu berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu ‘anhuma,
dia berkata :“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami
untuk bersekutu/berpatungan dalam (berqurban) dengan onta dan juga sapi,
(yakni) setiap tujuh orang dari kami untuk satu ekor onta (dan juga sapi).”
(HR Imam Muslim)
Dalam rirayat lainnya (juga dalam hadits Jabir, juga dalam riwayat Muslim)
:“Kami bersekutu/berpatungan bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam (untuk berqurban) dalam berhaji dan berumroh, setiap tujuh orang dari
kami untuk satu ekor onta.” Kemudian ada seseorang yang bertanya kepada Jabir :
“(Apakah boleh) bersekutu/berpatungan dalam berqurban dengan sapi sebagaimana
(dibolehkan berqurban) dengan seekor onta?” Jabir menjawab : “Tidak lain hal
itu hanyalah seperti satu badan/satu jiwa (yakni sapi dan onta itu sama
hukumnya, edt.).”
Dalam riwayat lainnya :“Kami berhaji bersama Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam, maka kami menyembelih onta dari tujuh orang, dan (juga
menyembelih sapi) dari tujuh orang.”
Al-Imam At-Tirmidzi rohimahulloh menjelaskan tentang hadits-hadits
tersebut di atas, dengan berkata : “Telah mengamalkan hal ini sekelompok ulama
dari kalangan para sahabat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan yang selain
mereka. Ini juga pendapatnya Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarok, As-Syafi’i,
Ahmad, dan Ishaq…” (Sunan At-Tirmidzi, penjelasan hadits no.
1502)
Al-Imam Al-Baghowi rohimahulloh berkata : “Ini adalah pendapat umumnya
Ahlul Ilmi (para ulama) dari kalangan sahabat Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam dan orang-orang yang selain mereka. Mereka mengatakan : “Apabila
bersekutu tujuh orang dalam berqurban dengan onta atau sapi, atau (bersekutu
tujuh orang) dalam sembelihan Hadyu (sembelihan denda bagi orang yang
berhaji/berumroh), maka hal itu boleh. Tetapi tidak boleh (berqurban dengan
onta/sapi) lebih dari tujuh orang, menurut kebanyakan para ulama tadi..” (Syarhus
Sunnah, 4/355)
Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh juga mengatakan : “Sama saja, apakah
orang-orang yang bersekutu/berpatungan itu dari anggota keluarganya (dalam satu
rumah), atau yang selin mereka, atau orang-orang yang diwajibkan untuk
berqurban (seperti karena sebab nadzar untuk qurban, edt.) atau orang-orang
yang disunnahkan berqurban, atau sebagian mereka menginginkan qurban dan
sebagian lainnya sekedar menginginkan dagingnya (dengan sembelihan qurban
tersebut) (maka hal itu boleh bersekutu/berpatungan qurban dengan onta atau
sapi dari tujuh orang). Hal itu karena setiap orang itu sesuai dengan
bagiannya, tidak membahayakan (terhadap sahnya amalan qurban) dengan adanya
niat untuk yang selainnya (selain untuk berqurban)..” (Al-Mughni,
13/125)
Walhasil, kesimpulannya : bolehnya bersekutu atau berpatungan dalam
berqurban dengan seekor onta atau sapi, dari tujuh orang, tidak boleh lebih
dari itu, wallohu a’lamu bis showab.
G. Membaca
Basmallah ketika memulai menyembelih hewan qurban, dan juga sembelihan lainnya.
Hal itu karena, sembelihan bila tidak disebutkan Nama Alloh Ta’ala
ketika menyembelihnya, maka sembelihan itu tidak sah dan dagingnya haram untuk
dimakan. Sebagaimana hal itu dijelaskan dalam firman Alloh Ta’ala :
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ
اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ
لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ (١٢١
“Dan janganlah kamu
memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.”(QS Al-An’am : 121)
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ
مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ
اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (٤
“Mereka menanyakan
kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah:
"Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh
binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu
mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari
apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas
itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Amat cepat hisab-Nya.”(Al-Maidah : 4)
فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ (١١٨
“Maka makanlah
binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
jika kamu beriman kepada ayat-ayatNya.” (QS Al-An’am : 118)
Selanjutnya, dalil-dalil dari hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam yang menunjukkan wajibnya tasmiyyah (membaca Basmallah) ketika
menyembelih, sangatlah banyak. Diantaranya hadits Jundub bin Sufyan Al-Bajali
rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa yang telah menyembelih sebelum sholat, maka
hendaknya dia menyembelih hewan lainnya sebagai ganti darinya. Dan barangsiapa
yang belum menyembelih sampai kami selesai sholat, hendaknya dia menyembelih dengan
menyebut nama Alloh.” (HR Imam Al-Bukhori no. 985 dan Imam
Muslim no. 1960)
Dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :“Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor domba yang berwarna
putih ada warna hitamnya dan yang bertanduk. Beliau menyembelih dengan kedua
tangannya, beliau membaca Bismillah dan bertakbir.” (HR Imam
Al-Bukhori no. 5558 dan Imam Muslim no. 1966)
Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata : “Dalam hadits ini (menunjukkan)
Itsbat (penetapan/tetapnya) Tasmiyyah (membaca Bismillah) dalam sembelihan qurban (dan juga lainnya),
dan ini disepakati oleh para ulama.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh dalam “Tafsir-nya”
(4/11) juga mengatakan : “Tasmiyyah dalam sembelihan qurban adalah perkara yang
disyari’atkan.”
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rohimahulloh mengatakan pula : “Para ulama telah
sepakat bahwa termasuk syarat sembelihan qurban dan melepaskan binatang buruan
(sebelum menerkam mangsa) adalah tasmiyyah (membaca Bismillah). Barangsiapa
dengan sengaja menganggap hal itu bukan syarat (yakni dengan meninggalkan
tasmiyyah), hal itu masuk dalam kefasikan sebagaimana dalam firman Alloh (“sesungguhnya
hal itu adalah kefasikan”).” (At-Tamhid, 10/319 dan 321)
Masalah :“Bagaimana bila seseorang dengan tidak sengaja lupa
membaca Basmalah, atau dia jahil (belum mengetahui hukumnya) ?”
Dalam masalah ini para ulama berbeda-beda pendapat. Adapun ringkasnya
adalah sebagaimana ditegaskan oleh guru kami, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri
hafidzhohulloh Ta’ala sebagai berikut : “Maka diketahui dari ini, bahwa siapa
yang sengaja meninggalkan tasmiyyah (membaca basmalah
ketika menyembelih), dia terjatuh pada perkara yang harom, dikarenakan Alloh
Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Sesungguhnya hal itu adalah kefasikan”,
dan hukum (daging) sembelihannya adalah harom berdasarkan dalil-dalil
yang terdahulu dalam bab ini….
Dan barangsiapa meninggalkan tasmiyyah karena lupa (atau
tidak sengaja), maka pena (catatan amal) diangkat darinya dan dia tidak berdosa
(yakni tidak dianggap berdosa karena perbuatannya yang disebabkan karena lupa
tersebut, edt.). Hal itu juga karena adanya hadits sebagaimana yang disebutkan
oleh Imam As-Shon’ani tersebut di atas (yakni hadits yang berbunyi :
“Sesungguhnya Alloh memaafkan dari umatku (perbuatan yang
dilakukan) karena tersalah dan karena lupa.”), juga berdasarkan firman Alloh Ta’ala
(yang artinya) : (“Wahai Robb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika
kami lupa atau tersalah..”). Dan juga berdasarkan hadits Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam :“Aku tidaklah mengkuatirkan kesalahan atas kalian,
tetapi aku mengkuatirkan kesengajaan atas kalian.”
Maka berdasarkan dalil-dalil ini, dosa-dosa terangkat darinya (yakni
orang yang lupa tidak dianggap berdosa ketika berbuat dosa tersebut karena
lupa), tidak pula menjadi fasik dengan sebab sembelihannya tersebut (yang tidak
disebut nama Alloh padanya karena lupa). Adapun (daging) sembelihannya, tetap
tidak halal, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menunjukkan larangan dari
memakan sesuatu yang tidak disebut nama Alloh ketika menyembelihnya.”
Ringkasnya permasalahan : “Bahwa siapa yang meninggalkan tasmiyyah
(menyebut nama Alloh ketika menyembelih) dengan sengaja, dia berdosa, dan
daging sembelihannya harom, karena dia sengaja melanggar/melampaui hukum-hukum
Alloh. Barangsiapa meninggalkan tasmiyyah karena lupa, maka dia tidak berdosa
karena meninggalkan tasmiyyah tersebut, tetapi daging sembelihannya tetap
harom, sebagaimana telah terdahulu penjelasannya berdasarkan pendapat yang
shohih, walhamdulillah.” (At-Tajliyyah, hal. 39-40)
Masalah :“Apa yang dibaca ketika menyembelih qurban atau yang
selain qurban itu ?”
Guru kami yang mulia, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh
menegaskan : “Tidak sah menyebut suatu nama untuk Alloh ketika menyembelih,
kecuali dengan mengucapkan “Bismillah” (dengan menyebut nama
Alloh), karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan selain
dengan nama ini (ketika menyembelih), tidak pula ketika makan dan yang semisal
itu, sedangkan beliau bersabda : “Barangsiapa membuat-buat perkara baru
dalam agama ini dengan sesuatu yang tidak ada perintahnya dari kami, maka
amalannya itu tertolak.”( At-Tajliyyah, hal. 40)
Boleh menambahkan lafadz takbir selain menyebut nama Alloh ketika
menyembelih, berdasarkan hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu :
“Bahwasannya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor domba
yang berwarna putih bercampur hitam, dan yang bertanduk, beliau menyebut nama
Alloh (ketika menyembelihnya) dan bertakbir……” (HR Imam Al-Bukhori
no. 5565 dan Imam Muslim no. 1966)
Yakni dengan mengucapkan :“Bismillahi, wallohu akbar.” Dan
hal itu hukumnya sunnah, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah
rohimahulloh dalam Al-Mughni (13/390), dan juga disebutkan oleh
guru kami, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh dalam At-Tajliyyah
(hal. 49), wallohu a’lamu bis showab.
Demikian itulah beberapa syarat agar sembelihan qurban kita benar-benar
diterima di sisi Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Semoga pembahasan yang sederhana
ini bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin. Insya Alloh pembahasan berikutnya
akan menyusul, terutama tentang Kewajiban-Kewajiban yang harus dilakukan dalam
berqurban dan juga adab-adab serta sunnah-sunnah yang juga mesti dilakukan
dalam berqurban. Semoga Alloh Ta’ala memudahkan kami untuk menyusunnya.Wallohu
waliyyut taufiq, walhamdulillah.
Maroji’ :
1. At-Tajliyyah,
li Ahkamil Hadyi wal Udh-hiyyah, karya guru kami, Fadhilatus Syaikh
Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh.
2. Fathul
‘Allam, fii Dirosah Ahaaditsi Bulughil Marom (jilid 5), karya guru kami Syaikh
Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al-Fudholi
Al-Ba’dani hafidzhohulloh.
Penyusun : Abu Abdirrohman
Yoyok WN Sby