MENGENAL HUKUM SEPUTAR UDH-HIYYAH (Bagian ke-4)

ADAB-ADAB & SUNNAH-SUNNAH YANG HARUS DIPERHATIKAN OLEH ORANG YANG BERQURBAN
Hasil gambar untuk masjid al haram
Saudaraku kaum muslimin......
Adab-adab yang harus diperhatikan oleh orang yang akan menyembelih qurban, diantaranya adalah sebagai berikut :

A.  Bila seseorang mampu, hendaknya dia(orang yang berqurban itu) menyembelih hewan sembelihannya dengan kedua tangannya sendiri (tidak diwakilkan kepada orang lain).

Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :

“Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibas (domba) yang warnanya putih bercampur hitam (dan bertanduk), aku melihat beliau meletakkan telapak kakinya pada sisi tubuhnya, beliau mengucapkan basmalah dan bertakbir, beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri.” (HR Imam Al-Bukhori no. 5565 dan Imam Muslim no. 1966)

Imam An-Nawawi rohimahulloh menjelaskan hadits tersebut di atas dengan mengatakan : “Disunnahkan bagi orang yang berqurban untuk menyembelih sendiri hewan qurbannya, dan tidak mewakilkan sembelihannya tersebut (kepada orang lain) kecuali karena udzur.”

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh mengatakan : “Para ahli ilmu (ulama) menyunnahkan bagi orang yang berqurban untuk menyembelih sendiri (hewan qurbannya), karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menyembelih sendiri (hewan qurbannya). Mereka juga mengatakan : “Jika hal itu diwakilkan kepada salah seorang muslim, maka hal itu boleh tanpa adanya khilaf (perbedaan pendapat).” Hanya saja mereka berbeda pendapat bila diwakilkan kepada seorang kafir dzimmi…… (lalu beliau menyebutkan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini).” (Fathul ‘Allam, 5/538-539)


B.  Dibolehkan menambahkan lafadz Takbir setelah Basmalah

Dalilnya sebagaimana dalam hadits Anas rodhiyallohu ‘alaihi yang telah disebutkan diatas :“Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibas (domba) yang warnanya putih bercampur hitam (dan bertanduk), aku melihat beliau meletakkan telapak kakinya pada sisi tubuhnya, beliau mengucapkan basmalah dan bertakbir, beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri.” (HR Imam Al-Bukhori no. 5565 dan Imam Muslim no. 1966)

Disebutkan dalam Imam Muslim (no. 1966) tersebut, beliau mengucapkan :“Bismillaahi, wallohu akbar.”(dengan menyebut nama Alloh, dan Alloh itu Maha Besar)

Boleh juga mengucapkan : ) اللهم لك و منك تقبل مني( , “Ya Alloh, ini untuk-Mu dan dari-Mu, terimalah (qurban) dariku.”Hal ini berdasarkan hadits Jabir dalam Sunan Abi Dawud (no. 2795), dan hadits Abu Huroiroh serta Aisyah rodhiyallohu ‘anhuma, sebagaimana dalam Sunan Al-Baihaqi (9/281), hadits ini Hasan bi Syawahidih.  (lihatFathul ‘Allam, 5/522)

Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahullohmengatakan : “Tidak ada khilaf (perselisihan di kalangan para ulama) tentang disunnahkannya (mengucapkan) takbir bersama dengan tasmiyyah (bacaan basmalah), dan tidak ada khilaf pula bahwa tasmiyyah itu sudah cukup (sah) meskipun tanpa takbir.” (lihatAl-Mughni (13/390), dinukil secara makna)


C.  Bagi orang yang berqurban, hendaknya meletakkan kaki kanannya pada bahu hewan yang akan disembelihnya setelah dia membaringkan hewan sembelihan tersebut pada sisi tubuhnya yang sebelah kiri (dibaringkan miring dari sisi tubuhnya sebelah kiri), karena hal itu akan lebih mudah untuk melakukan penyembelihan.

Hal ini bila hewan sembelihannya berupa kambing atau sapi. Dalilnya sebagaimana dalam hadits Anas rodhiyallohu ‘anhu seperti yang telah disebutkan di atas.

Imam As-Syaukani rohimahulloh berkata : “Dalam hadits ini (terdapat dalil) disunnahkannya membaringkan kambing tatkala menyembelihnya, dan bahwa kambing itu tidak disembelih dengan cara berdiri, tidak pula dengan cara berlutut, tetapi(dengan cara) berbaring, karena hal itu lebih lembut baginya. Dalam masalah ini, telah datang banyak hadits, dan kaum muslimin telah sepakat akan hal ini.” (Nailul Author(3/486), lihat juga Syarh Shohih Muslim, 13/106)

Sebagaimana Imam An-Nawawi juga berkata : “(Para ulama) telah sepakat, bahwa membaringkan (hewan sembelihan berupa kambing atau sapi itu) pada sisi tubuhnya sebelah kiri.” (Syarh Shohih Muslim, penjelasan hadits no. 1967)

Guru kami, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh berkata : “Sesungguhnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak kakinya (yang kanan) pada bahu hewan sembelihan, tujuannya adalah agar lebih kokoh (dalam memegangnya), dan memungkinkan agar kepala hewan sembelihan itu tidak bergerak, sehingga (bila kepalanya bergerak-gerak) bisa menghalangi sempurnanya sembelihan (proses penyembelihan), atau (hewan tersebut) akan menyakiti orang yang menyembelihnya….” (At-Tajliyyah, hal. 50)
Wallohu a’lamu bis showab.


D. Jika hewan sembelihannya itu berupa onta, menyembelihnya adalah dengan cara Nahr, dalam keadaan berdiri dan diikat kaki kirinya yang bagian depan.

Yang dimaksud dengan Nahr adalah :“Menusuk urat nadi pada pangkal leher onta dengan besi yang runcing atau dengan pisau.”

Dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Alloh Ta’ala :

ٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ
“Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat)…” (QS Al-Hajj : 36)

Dalam hadits Anas rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :“Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan nahr pada tujuh ekor ontanya dalam keadaan berdiri.” (HR Imam Al-Bukhori, no. 1714)

Juga disebutkan tentang kisah Ibnu Umar rodhiyalohu ‘anhuma :“Bahwa beliau mendatangi seseorang yang telah menderumkan (membaringkan) ontanya untuk disembelih, maka beliau berkata : “Bangkitkanlah dia (dan sembelihlah) dalam keadaan berdiri dan terikat (kaki depannya yang sebelah kiri), inilah sunnah Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam.” (HR Imam Al-Bukhori)

Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata : “Disunnahkan menyembelih onta dalam keadaan berdiri dan diikat kaki depannya yang sebelah kiri. Adapun sapi dan onta, disunnahkan untuk disembelih dalam keadaan berbaring pada sisi tubuh sebelah kiri, membiarkan kaki yang kanan (bagian belakang) terlepas dan mengikat kaki-kaki yang lainnya menjadi satu……” (Syarh Shohih Muslim)



E. Memakan sebagian dari daging sembelihan qurban tersebut, dan sebagian lainnya disedekahkan.

Hal ini sebagaimana diperintahkan oleh Alloh Ta’ala dalam firman-Nya :

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS Al-Hajj : 28)

Juga firman-Nya :

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٣٦)

“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.”(QS Al-Hajj : 36)

Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian daging qurban tersebut.Mayoritas ulama Hanabilah dan sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat hendaknya daging itu dibagi tiga bagian ; sepertiga untuk dimakan, sepertiga untuk disedekahkan dan sepertiga lainnya untuk dihadiahkan. Dinukilkan juga bahwa ini pendapat dari Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu. Sebagian ulama Hanabilah dan Syafi’iyyah berpendapat hendaknya dibagi dua bagian ; setengahnya untuk dimakan dan setengah lainnya untuk disedekahkan, berdasarkan dalil dua ayat yang terdahulu, dan pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Al-‘Allamah Ibnu Utsaimin rohimahulloh. Sedangkan para ulama Hanafiyyah berpendapat daging sembelihan yang disedekahkan hendaknya lebih banyak daripada yang dimakan. (lihat Al-Mughni (13/371) dan As-Syarhul Mumti’ (7/522-523))

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh mengomentari tentang perselisihan di atas dengan mengatakan : “Tidak ada batasan (ketentuan khusus) dalam masalah tersebut. Semua pendapat tersebut baik, tetapi memberikan nafkah untuk keluarga adalah lebih besar pahalanya daripada sedekah (kepada orang lain).” (lihatFathul ‘Allam, 5/535-536)


Masalah : “Benarkah ada dalil yang melarang menyimpan daging sembelihan hewan qurban lebih dari tiga hari ?”

Benar, awalnya memang ada larangan seperti itu, tetapi kemudian larangan tersebut dihapus, seperti dalam hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Simpanlah tiga hari, kemudian (setelah itu) sedekahkan sisanya.” (HR Imam Muslim, no. 1971) 

Namun setelah itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Sesungguhnya aku  melarang kalian itu hanyalah karena bertumpuk-tumpuknya (daging sembelihan qurban tersebut). Maka (sekarang) makanlah, simpanlah dan sedekahkanlah..!”

Dalam hadits Abu Said Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Wahai penduduk Madinah, janganlah kalian memakan daging-daging sembelihan qurban kalian di atas tiga.” Berkata Ibnu Al-Mutsanna (perowi hadits ini) : “Yakni maksudnya di atas tiga hari.”Maka manusiapun merasa berat dan mengadu kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya mereka mempunyai keluarga, sanak kerabat dan juga pelayan/pembantu (yang juga butuh makan sembelihan qurban tersebut, edt.). Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallambersabda :“Makanlah (daging sembelihan qurban tersebut), berikan makan pula (kepada orang lain), tahanlah atau simpanlah..” (HR Imam Muslim no. 1975)

Juga berdasarkan hadits Buroidah, dari bapaknya rodhiyallohu ‘anhu, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallambersabda : “Dahulu aku melarang kalian dari berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah kalian. Dahulu aku juga melarang kalian dari (memakan) daging-daging sembelihan qurban kalian, maka (sekarang) tahanlah (simpanlah) sesuai apa yang nampak (bermanfaat) bagi kalian…….” (HR Imam Muslim, no. 1977) Wallohu a’lamu bis showab.


F.  Hendaknya menggemukkan hewan sembelihan qurban (yakni memilih hewan qurban yang gemuk atau yang mahal).

Dalilnya, sebuah atsar yang shohih, dari Yahya bin Sa’id, dia berkata : “Aku mendengar Abu Umamah bin Sahl rohimahulloh berkata : “Dahulu kami menggemukkan hewan-hewan qurban kami di Madinah, dan kaum muslimin juga melakukan hal itu.”(HR Imam Al-Bukhori)

Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata : “Disunnahkan menggemukkan dan membaguskan hewan-hewan sembelihan, berdasarkan firman Alloh Ta’ala :

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (٣٢)

“Demikianlah (perintah Allah).Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al-Hajj : 32)

Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu berkata (dalam rangka menafsirkan ayat tersebut di atas) : “Mengagungkannya (syi’ar-syi’ar Alloh tersebut) adalah dengan menggemukkan, membesarkan dan membaguskan (hewan sembelihannya).” Hal itu karena lebih besar pahalanya dan lebih banyak manfaatnya.” (Al-Mughni, (13/367), lihat juga Fathul ‘Allam, 5/518)


G.     Hendaknya disembelih pada hari Nahr, yakni Hari Idul Adha.

Dalilnya adalah hadits Al-Baro’ bin ‘Azib rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan pada hari ini adalah sholat (yakni sholat ‘Idhul Adha), kemudian kita pulang lalu menyembelih (hewan qurban). Barangsiapa melakukan seperti itu, maka dia telah mencocoki/sesuai dengan sunnah (tuntunan) kami. Dan barangsiapa telah menyembelih sebelum sholat, maka itu hanyalah daging (sembelihan biasa) yang dia berikan untuk keluarganya, bukan sembelihan qurban sedikitpun.” (HR Imam Al-Bukhori no. 5545 dan Imam Muslim no. 1961)

Dalil tersebut menunjukkan, bahwa awal waktu penyembelihan qurban adalah pada Hari Idul Adha, setelah menunaikan sholat ied.Dan boleh menyembelih pada hari-hari Tasyriq, sebagaimana telah dijelaskan pada risalah terdahulu.

Hanya saja, guru kami, Syaikh Yahya Al-Hajuri hafidzhohulloh menegaskan : “Penyembelihan yang dilakukan pada hari Idul Adha adalah afdhol (lebih utama) daripada hari-hari penyembelihan lainnya,  karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menyembelihnya pada hari itu, dan tidak kita ketahui adanya dalil yang menunjukkan bahwa beliau pernah menyembelih selain pada hari tersebut. Dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidaklah memilihkan untuk Nabi-Nya sesuatu kecuali yang afdhol (lebih utama).” (At-Tajliyyah, hal. 55) 

Wallohu a’lamu bis showab.

Maroji’ :
1.  At-Tajliyyah, li Ahkamil Hadyi wal Udh-hiyyah, karya guru kami, Fadhilatus Syaikh Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh.

2.  Fathul ‘Allam, fii Dirosah Ahaaditsi Bulughil Marom (jilid 5), karya guru kami Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al-Fudholi Al-Ba’dani hafidzhohulloh.

Penyusun : Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby