ADAB-ADAB & SUNNAH-SUNNAH YANG HARUS DIPERHATIKAN OLEH ORANG YANG BERQURBAN
Saudaraku kaum muslimin......
Adab-adab yang harus diperhatikan
oleh orang yang akan menyembelih qurban, diantaranya adalah sebagai berikut :
A. Bila
seseorang mampu, hendaknya dia(orang yang berqurban itu) menyembelih hewan
sembelihannya dengan kedua tangannya sendiri (tidak diwakilkan kepada orang
lain).
Sebagaimana dijelaskan
dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :
“Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibas (domba)
yang warnanya putih bercampur hitam (dan bertanduk), aku melihat beliau
meletakkan telapak kakinya pada sisi tubuhnya, beliau mengucapkan basmalah dan
bertakbir, beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri.”
(HR Imam Al-Bukhori no. 5565 dan Imam Muslim no.
1966)
Imam An-Nawawi
rohimahulloh menjelaskan hadits tersebut di atas dengan mengatakan :
“Disunnahkan bagi orang yang berqurban untuk menyembelih sendiri hewan
qurbannya, dan tidak mewakilkan sembelihannya tersebut (kepada orang lain)
kecuali karena udzur.”
Guru kami, Syaikh
Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh mengatakan : “Para ahli ilmu
(ulama) menyunnahkan bagi orang yang berqurban untuk menyembelih sendiri (hewan
qurbannya), karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menyembelih sendiri
(hewan qurbannya). Mereka juga mengatakan : “Jika hal itu diwakilkan kepada
salah seorang muslim, maka hal itu boleh tanpa adanya khilaf (perbedaan
pendapat).” Hanya saja mereka berbeda pendapat bila diwakilkan kepada seorang
kafir dzimmi…… (lalu beliau menyebutkan perbedaan pendapat para ulama
dalam masalah ini).” (Fathul ‘Allam, 5/538-539)
B. Dibolehkan
menambahkan lafadz Takbir setelah Basmalah
Dalilnya sebagaimana dalam
hadits Anas rodhiyallohu ‘alaihi yang telah disebutkan diatas :“Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibas (domba)
yang warnanya putih bercampur hitam (dan bertanduk), aku melihat beliau
meletakkan telapak kakinya pada sisi tubuhnya, beliau mengucapkan basmalah
dan bertakbir, beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri.”
(HR Imam Al-Bukhori no. 5565 dan Imam Muslim no.
1966)
Disebutkan dalam Imam
Muslim (no. 1966) tersebut, beliau mengucapkan :“Bismillaahi,
wallohu akbar.”(dengan menyebut nama Alloh, dan Alloh itu Maha Besar)
Boleh juga mengucapkan :
) اللهم لك و منك تقبل مني( , “Ya Alloh,
ini untuk-Mu dan dari-Mu, terimalah (qurban) dariku.”Hal ini berdasarkan
hadits Jabir dalam Sunan Abi Dawud (no. 2795), dan hadits Abu
Huroiroh serta Aisyah rodhiyallohu ‘anhuma, sebagaimana dalam Sunan
Al-Baihaqi (9/281), hadits ini Hasan bi Syawahidih. (lihatFathul ‘Allam, 5/522)
Al-Imam Ibnu Qudamah
rohimahullohmengatakan : “Tidak ada khilaf (perselisihan di kalangan para ulama)
tentang disunnahkannya (mengucapkan) takbir bersama dengan tasmiyyah (bacaan
basmalah), dan tidak ada khilaf pula bahwa tasmiyyah itu sudah cukup (sah)
meskipun tanpa takbir.” (lihatAl-Mughni (13/390), dinukil secara
makna)
C. Bagi
orang yang berqurban, hendaknya meletakkan kaki kanannya pada bahu hewan yang
akan disembelihnya setelah dia membaringkan hewan sembelihan tersebut pada sisi
tubuhnya yang sebelah kiri (dibaringkan miring dari sisi tubuhnya sebelah
kiri), karena hal itu akan lebih mudah untuk melakukan penyembelihan.
Hal ini bila hewan
sembelihannya berupa kambing atau sapi. Dalilnya sebagaimana dalam hadits Anas
rodhiyallohu ‘anhu seperti yang telah disebutkan di atas.
Imam As-Syaukani rohimahulloh berkata :
“Dalam hadits ini (terdapat dalil) disunnahkannya membaringkan kambing tatkala
menyembelihnya, dan bahwa kambing itu tidak disembelih dengan cara berdiri,
tidak pula dengan cara berlutut, tetapi(dengan cara) berbaring, karena hal itu
lebih lembut baginya. Dalam masalah ini, telah datang banyak hadits, dan kaum
muslimin telah sepakat akan hal ini.” (Nailul Author(3/486),
lihat juga Syarh Shohih Muslim, 13/106)
Sebagaimana Imam
An-Nawawi juga berkata : “(Para ulama) telah sepakat, bahwa
membaringkan (hewan sembelihan berupa kambing atau sapi itu) pada sisi tubuhnya
sebelah kiri.” (Syarh Shohih Muslim, penjelasan hadits no. 1967)
Guru kami, Syaikh Yahya
bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh berkata : “Sesungguhnya Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam meletakkan telapak kakinya (yang kanan) pada bahu hewan
sembelihan, tujuannya adalah agar lebih kokoh (dalam memegangnya), dan
memungkinkan agar kepala hewan sembelihan itu tidak bergerak, sehingga (bila
kepalanya bergerak-gerak) bisa menghalangi sempurnanya sembelihan (proses
penyembelihan), atau (hewan tersebut) akan menyakiti orang yang
menyembelihnya….” (At-Tajliyyah, hal. 50)
Wallohu a’lamu bis showab.
D. Jika
hewan sembelihannya itu berupa onta, menyembelihnya adalah dengan cara Nahr,
dalam keadaan berdiri dan diikat kaki kirinya yang bagian depan.
Yang dimaksud dengan Nahr
adalah :“Menusuk urat nadi pada pangkal leher onta dengan besi yang runcing
atau dengan pisau.”
Dalil yang menunjukkan hal itu adalah
firman Alloh Ta’ala :
ٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا
صَوَافَّ
“Maka sebutlah olehmu nama
Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat)…” (QS Al-Hajj : 36)
Dalam hadits Anas rodhiyallohu ‘anhu,
dia berkata :“Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan nahr pada tujuh
ekor ontanya dalam keadaan berdiri.” (HR Imam Al-Bukhori, no.
1714)
Juga disebutkan tentang
kisah Ibnu Umar rodhiyalohu ‘anhuma :“Bahwa beliau mendatangi seseorang yang
telah menderumkan (membaringkan) ontanya untuk disembelih, maka beliau berkata
: “Bangkitkanlah dia (dan sembelihlah) dalam keadaan berdiri dan terikat (kaki
depannya yang sebelah kiri), inilah sunnah Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa
sallam.” (HR Imam Al-Bukhori)
Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata :
“Disunnahkan menyembelih onta dalam keadaan berdiri dan diikat kaki depannya
yang sebelah kiri. Adapun sapi dan onta, disunnahkan untuk disembelih dalam
keadaan berbaring pada sisi tubuh sebelah kiri, membiarkan kaki yang kanan
(bagian belakang) terlepas dan mengikat kaki-kaki yang lainnya menjadi satu……”
(Syarh Shohih Muslim)
E. Memakan
sebagian dari daging sembelihan qurban tersebut, dan sebagian lainnya
disedekahkan.
Hal ini sebagaimana
diperintahkan oleh Alloh Ta’ala dalam firman-Nya :
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Maka makanlah sebahagian
daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang
sengsara dan fakir.” (QS Al-Hajj : 28)
Juga firman-Nya :
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ
وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٣٦)
“Maka makanlah
sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya
(yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.Demikianlah Kami telah
menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.”(QS Al-Hajj : 36)
Para ulama berbeda
pendapat tentang pembagian daging qurban tersebut.Mayoritas ulama Hanabilah dan
sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat hendaknya daging itu dibagi tiga bagian
; sepertiga untuk dimakan, sepertiga untuk disedekahkan dan sepertiga lainnya untuk
dihadiahkan. Dinukilkan juga bahwa ini pendapat dari Ibnu Mas’ud rodhiyallohu
‘anhu. Sebagian ulama Hanabilah dan Syafi’iyyah berpendapat hendaknya dibagi
dua bagian ; setengahnya untuk dimakan dan setengah lainnya untuk disedekahkan,
berdasarkan dalil dua ayat yang terdahulu, dan pendapat ini adalah pendapat
yang dipilih oleh Syaikh Al-‘Allamah Ibnu Utsaimin rohimahulloh. Sedangkan para
ulama Hanafiyyah berpendapat daging sembelihan yang disedekahkan hendaknya
lebih banyak daripada yang dimakan. (lihat Al-Mughni (13/371) dan
As-Syarhul Mumti’ (7/522-523))
Guru kami, Syaikh Muhammad
bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh mengomentari tentang perselisihan di atas
dengan mengatakan : “Tidak ada batasan (ketentuan khusus) dalam masalah
tersebut. Semua pendapat tersebut baik, tetapi memberikan nafkah untuk keluarga
adalah lebih besar pahalanya daripada sedekah (kepada orang lain).” (lihatFathul
‘Allam, 5/535-536)
Masalah : “Benarkah ada dalil
yang melarang menyimpan daging sembelihan hewan qurban lebih dari tiga hari ?”
Benar, awalnya memang ada
larangan seperti itu, tetapi kemudian larangan tersebut dihapus, seperti dalam
hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda :“Simpanlah tiga hari, kemudian (setelah itu) sedekahkan sisanya.”
(HR Imam Muslim, no. 1971)
Namun setelah itu Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Sesungguhnya aku melarang kalian itu hanyalah karena
bertumpuk-tumpuknya (daging sembelihan qurban tersebut). Maka (sekarang)
makanlah, simpanlah dan sedekahkanlah..!”
Dalam hadits Abu Said
Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda
:“Wahai penduduk Madinah, janganlah kalian memakan daging-daging sembelihan
qurban kalian di atas tiga.” Berkata Ibnu Al-Mutsanna (perowi hadits ini) :
“Yakni maksudnya di atas tiga hari.”Maka manusiapun merasa berat dan mengadu
kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya mereka mempunyai
keluarga, sanak kerabat dan juga pelayan/pembantu (yang juga butuh makan sembelihan
qurban tersebut, edt.). Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallambersabda :“Makanlah
(daging sembelihan qurban tersebut), berikan makan pula (kepada orang lain),
tahanlah atau simpanlah..” (HR Imam Muslim no. 1975)
Juga berdasarkan hadits
Buroidah, dari bapaknya rodhiyallohu ‘anhu, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallambersabda : “Dahulu aku melarang kalian dari berziarah kubur, maka
(sekarang) berziarahlah kalian. Dahulu aku juga melarang kalian dari (memakan)
daging-daging sembelihan qurban kalian, maka (sekarang) tahanlah (simpanlah)
sesuai apa yang nampak (bermanfaat) bagi kalian…….” (HR Imam Muslim,
no. 1977) Wallohu a’lamu bis showab.
F. Hendaknya
menggemukkan hewan sembelihan qurban (yakni memilih hewan qurban yang gemuk
atau yang mahal).
Dalilnya, sebuah atsar
yang shohih, dari Yahya bin Sa’id, dia berkata : “Aku mendengar Abu Umamah bin
Sahl rohimahulloh berkata : “Dahulu kami menggemukkan hewan-hewan qurban
kami di Madinah, dan kaum muslimin juga melakukan hal itu.”(HR Imam
Al-Bukhori)
Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata :
“Disunnahkan menggemukkan dan membaguskan hewan-hewan sembelihan, berdasarkan
firman Alloh Ta’ala :
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ
فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (٣٢)
“Demikianlah (perintah Allah).Dan
barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari
ketakwaan hati.” (QS Al-Hajj : 32)
Ibnu Abbas rodhiyallohu
‘anhu berkata (dalam rangka menafsirkan ayat tersebut di atas) :
“Mengagungkannya (syi’ar-syi’ar Alloh tersebut) adalah dengan menggemukkan,
membesarkan dan membaguskan (hewan sembelihannya).” Hal itu karena lebih besar
pahalanya dan lebih banyak manfaatnya.” (Al-Mughni, (13/367),
lihat juga Fathul ‘Allam, 5/518)
G. Hendaknya
disembelih pada hari Nahr, yakni Hari Idul Adha.
Dalilnya adalah hadits Al-Baro’ bin ‘Azib rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan pada hari ini
adalah sholat (yakni sholat ‘Idhul Adha), kemudian kita pulang lalu menyembelih
(hewan qurban). Barangsiapa melakukan seperti itu, maka dia telah
mencocoki/sesuai dengan sunnah (tuntunan) kami. Dan barangsiapa telah
menyembelih sebelum sholat, maka itu hanyalah daging (sembelihan biasa) yang
dia berikan untuk keluarganya, bukan sembelihan qurban sedikitpun.” (HR Imam Al-Bukhori
no. 5545 dan Imam Muslim no. 1961)
Dalil tersebut
menunjukkan, bahwa awal waktu penyembelihan qurban adalah pada Hari Idul Adha,
setelah menunaikan sholat ied.Dan boleh menyembelih pada hari-hari Tasyriq,
sebagaimana telah dijelaskan pada risalah terdahulu.
Hanya saja, guru kami,
Syaikh Yahya Al-Hajuri hafidzhohulloh menegaskan : “Penyembelihan yang
dilakukan pada hari Idul Adha adalah afdhol (lebih utama) daripada
hari-hari penyembelihan lainnya, karena
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menyembelihnya pada hari itu, dan tidak kita
ketahui adanya dalil yang menunjukkan bahwa beliau pernah menyembelih selain
pada hari tersebut. Dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidaklah memilihkan untuk
Nabi-Nya sesuatu kecuali yang afdhol (lebih utama).” (At-Tajliyyah,
hal. 55)
Wallohu a’lamu bis showab.
Maroji’ :
1. At-Tajliyyah,
li Ahkamil Hadyi wal Udh-hiyyah, karya guru kami, Fadhilatus Syaikh
Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh.
2. Fathul
‘Allam, fii Dirosah Ahaaditsi Bulughil Marom (jilid 5), karya guru kami Syaikh
Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al-Fudholi Al-Ba’dani hafidzhohulloh.
Penyusun : Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby