FIQH PUASA ROMADHON

MENGGAPAI KEUTAMAAN LAILATUL QODAR


Image result for lailatul qadar
Saudaraku kaum muslimin ……

Salah satu keutamaan dan keistimewaan Bulan Romadhon, adalah adanya satu malam, yang beribadah pada malam tersebut, nilai dan keutamaan pahalanya sama dengan beribadah selama seribu bulan (kurang lebih, 83 tahun lebih 4 bulan). Itulah yang dinamai dengan Lailatul Qodar.

Berikut ini akan kami uraikan penjelasan singkat tentang apa itu Lailatul Qodar, dan hal-hal yang terkait dengannya. Tentunya, sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Nabi kita Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan penjelasan para ulama yang terpercaya.


Mengapa dinamai dengan Lailatul Qodar ?

Secara bahasa, Lailatul Qodar tersusun atas dua kata, “Lail”, yang artinya “malam”, dan “Al-Qodar”, yang artinya adalah “kemuliaan, atau penetapan, atau pengaturan”

Para ulama menyebutkan beberapa sebab/alasan, mengapa dinamai dengan Lailatul Qodar. Ada yang berpendapat, karena pada malam itu Alloh Ta’ala menentukan/mengatur sesuai dengan kehendak-Nya, semua urusan (yang terkait dengan kehidupan makhluk-Nya/hamba-Nya) selama satu tahun yang akan datang. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Alloh Ta’ala :

إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةٖ مُّبَٰرَكَةٍۚ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ ٣  فِيهَا يُفۡرَقُ كُلُّ أَمۡرٍ حَكِيمٍ ٤  أَمۡرٗا مِّنۡ عِندِنَآۚ إِنَّا كُنَّا مُرۡسِلِينَ ٥  رَحۡمَةٗ مِّن رَّبِّكَۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ٦

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul. Sebagai rahmat dari Robb-mu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Ad-Dukhon : 3-6)

Ada pula yang berpendapat, dinamai dengan Lailatul Qodar, adalah karena keagungan dan kemuliaan malam itu. Karena malam itu adalah malam yang dipilih oleh Alloh untuk diturunkannya Al-Qur’an, dan turunnya segenap Malaikat dengan membawa keberkahan yang banyak. Disamping itu, Al-Qodar itu sendiri secara bahasa maknanya adalah “kemuliaan atau keagungan atau penghormatan”.

Seperti dalam firman Alloh Ta’ala :

وَمَا قَدَرُواْ ٱللَّهَ حَقَّ قَدۡرِهِۦٓ ٩١

“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya…...” (QS Al-An’am : 91)

Atau seperti ucapan seseorang : لفلان قدر , “fulan mempunyai qodr”, artinya dia mempunyai “kemuliaan dan kedudukan”.

Ada pula yang berpendapat, dinamai dengan Lailatul Qodar, karena orang-orang yang melakukan amal-amal ketaatan pada malam itu akan mendapatkan “kedudukan yang agung” (di sisi Alloh) dan “balasan atau pahala yang melimpah” (banyak).

Dan disana masih banyak pendapat lainnya, mengapa dinamai seperti itu, wallohu a’lamu bis showab.

(lihat : Tafsir Al-Qurthubi, pada penjelasan Surat Al-Qodar, dan Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori, penjelasan hadits no. 2014)    


Apa fadhilah/keutamaan Lailatul Qodar tersebut ?

Tentang fadhilah dan keagungan Lailatul Qodar, dijelaskan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya :

إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ ١ وَمَآ أَدۡرَىٰكَ مَا لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ ٢  لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَيۡرٞ مِّنۡ أَلۡفِ شَهۡرٖ ٣  تَنَزَّلُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذۡنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمۡرٖ ٤  سَلَٰمٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطۡلَعِ ٱلۡفَجۡرِ ٥

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Robb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS Al-Qodar : 1-5)

As-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh menjelaskan : “…Dinamai Lailatul Qodar, karena besarnya kemuliaan dan keutamaannya di sisi Alloh, karena pada saat itu Alloh Ta’ala mengatur segala urusan selama setahun yang akan datang, baik yang berupa ajal (kematian seseorang), rejeki, dan semua ketentuan yang dikehendaki-Nya.

Kemudian Alloh mengagungkan/membesarkannya kerdudukannya, dengan firman-Nya (“Dan tahukah kamu, apakah Lailatul Qodar itu ?”), yakni karena kedudukan/derajatnya yang agung. Kemudian firman-Nya : (“Lailatul Qodar itu lebih baik dari seribu bulan”), yakni sebanding dalam hal keutamaannya dengan seribu bulan, sehingga beramal (sholih) bertepatan dengan saat itu, lebih baik daripada beramal selama seribu bulan ……” (Taisir Al-Karimir Rohman fii Tafsir Kalamil Mannan, (hal. 882), penjelasan Surat Al-Qodar)   

Al-Imam Ibnu Katsir rohimahulloh juga menjelaskan : “Para Malaikat banyak yang turun pada malam ini, karena banyaknya kebaikan pada malam tersebut. Para Malaikat turun bersamaan dengan turunnya keberkahan dan rahmat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/444)

As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh juga menyatakan : “Dalam surat yang mulia ini (yakni surat Al-Qodr), terdapat (penjelasan tentang) beberapa keistimewaan Laiulatul Qodar, diantaranya sebagai berikut :

1. Alloh Ta’ala menurunkan pada malam tersebut kitab suci Al-Qur’an, sebagi petunjuk bagi umat manusia, dan kunci kebahagiaan bagi mereka di dunia dan di akhirat.

2.  Alloh Ta’ala mengagungkan Lailatul Qodar tersebut dengan pertanyaan : “Dan tahukah kamu, apakah Lailatul Qodar itu ?”

3.   Malam itu, lebih baik daripada seribu bulan.

4.   Para Malaikat turun pada malam tersebut, dengan membawa kebaikan, rahmat, dan keberkahan.

5.   Malam itu disebut “Salam” (kesejahteraan), karena banyak hamba-hamba Alloh yang selamat dari siksaan disebabkan ketaatannya kepada Alloh.

6.  Alloh Ta’ala menjelaskan tentang keutamaan Lailatul Qodar dengan menurunkan sebuah surat Al-Qur’an (yang khusus, yaitu surat Al-Qodr ini) yang akan dibaca sepanjang masa hingga kiamat tiba.”

(lihat : Majalis Syahri Romadhon, hal. 252-253)

FIQH PUASA ROMADHON


Image result for i'tikaf di masjid
I’TIKAF & KEUTAMAANNYA


Apa I’tikaf itu ?

I’tikaf secara bahasa, artinya adalah : “Melazimi (menetapi) sesuatu, dan menahan diri (untuk tetap terus menerus) di atasnya (yakni tekun berada di atas perkara tersebut, edt.).” Sebagaimana disebutkan dalam firman Alloh Ta’ala :

إِذْ قَالَ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ (٥٢)

(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu I’tikaf (tekun beribadat) kepadanya?" (QS Al-Anbiya’ : 52)

Adapun pengertian secara syar’i adalah : “Berdiam/tinggal di masjid, (yang dilakukan oleh) orang yang khusus, menurut cara-cara yang khusus, dalam rangka ta’abbud (beribadah) kepada Alloh Ta’ala.” (lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori, no. 2025)


Apa Hukum I’tikaf itu ?

Ketahuilah, I’tikaf itu masyru’ (perkara yang disyari’atkan), dan juga mustahab (perkara yang disunnahkan, bukan wajib), berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ (kesepakatan para ulama). 

Dan I’tikaf itu hukumnya tidak wajib, kecuali bagi orang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf, karena hal ini hukumnya wajib baginya, berdasarkan ijma’ para ulama.

Dalil dari Al-Qur’an, yakni firman Alloh Ta’ala :

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (١٨٧)

“Dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istrimu) itu, sedang kamu beri'tikaf di dalam masjid. (QS Al-Baqoroh : 187)

Adapun dalil dari sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, adalah hadits dari ‘Aisyah, Ibnu Umar dan Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhum ajma’in, yang semuanya terdapat dalam As-Shohihain, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Romadhon (HR Imam Al-Bukhori no. 2026, 2018, 2025, dan Muslim no. 1167, 1171 dan 1172). Dan dalil-dalil dari hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan disyari’atkan I’tikaf itu sangat banyak.

Adapun dalil dari ijma’, tidak hanya satu ulama saja yang menukilkan bahwa I’tikaf itu disunnahkan. 

Dan I’tikaf itu tidaklah wajib, kecuali dengan sebab nadzar. Yang menyatakan hal itu diantaranya : Al-Imam Ibnul Mundzir, Ibnu Qudamah dan An-Nawawi rohimahulloh ajma’in, dan juga para ulama yang selain mereka.

(Lihat : Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/407), Al-Mughni (3/63) )


Apakah I’tikah itu harus di masjid ?

Tentang hal ini, Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh menyatakan : “I’tikaf itu tidaklah sah bila dilakukan selain di masjid. Hal ini bila orang yang I’tikaf itu adalah orang laki-laki. Tentang hal ini, kami tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan pendapat) diantara ahlul ilmi (ulama). Dasarnya adalah firman Alloh Ta’ala :

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (١٨٧)

“Dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istrimu) itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid.” (QS Al-baqoroh : 187).

Seandainya I’tikaf itu sah di selain masjid, maka tidaklah dikhususkan keharaman mubasyaroh (menggauli istri itu) di dalamnya. Hal ini karena larangan menggauli istri ketika I’tikaf adalah larangan yang mutlak.”  

Ibnu Abdil Barr rohimahulloh menukilkan adanya ijma’ tentang hal ini, demikian pula Al-Qurthubi rohimahulloh dalam tafsirnya, dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh.

Tetapi (anggapan adanya) ijma’ tentang masalah ini adalah tidak benar. Karena disana didapati adanya khilaf (penyelisihan) yang syad (nyleneh) yang tidak perlu ditoleh (dipedulikan), sebagaimana hal itu disebutkan dalam Fathul Bari.

Jadi kesimpulannya, I’tikaf itu harus di masjid, sebagaimana dalil tersebut di atas.


Di masjid manakah I’tikaf itu boleh dilakukan ?

Sebagian ulama berpendapat, I’tikaf itu secara khusus hanya boleh dilakukan di tiga masjid saja, yakni Masjidil Harom di Mekkah, Masjid An-Nabawi di Madinah, dan Masjidil Aqsho di Palestina. Ini adalah pendapatnya Hudzaifah rodhiyallohu ‘anhu.

Adapun Atho’ rohimahulloh berpendapat : dikhususkan di Masjidil Harom di Mekkah dan Masjid An-Nabawi yang ada di Madinah saja.

Adapun Ibnul Musayyab rohimahulloh berpendapat : khusus di Masjid An-Nabawi yang ada di Madinah saja.

Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat : secara umum boleh dilakukan di semua masjid, khususnya yang biasa dilakukan sholat jama’ah dan sholat Jum’at di dalamnya.

Adapun Imam As-Syafi’i rohimahulloh berpendapat : dilakukan khusus di masjid jami’ saja. Bahkan Imam Malik rohimahulloh mensyaratkan hal ini. Karena menurut beliau, I’tikaf itu terputus dengan adanya sholat jum’at.

Sedangkan Al-Hasan Al-Bashri, Hammad, Az-Zuhri, Imam Malik dalam salah satu pendapatnya, mereka semua berpendapat : I’tikaf itu tidak sah kecuali di masjid yang disitu ditegakkan sholat jum’at.

Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur rohimahumulloh berpendapat : boleh dilakukan di masjid yang ditegakkan sholat lima waktu (dengan berjama’ah) di dalamnya.

Dari beberapa pendapat di atas, manakah yang rojih (kuat dan terpilih) ? 

Menurut guru kami, Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh, beliau mengatakan : 

“Pendapat inilah yang rojih (yakni pendapat yang terakhir, yang menyatakan bolehnya I’tikaf di masjid yang ditegakkan sholat-sholat lima waktu di dalamnya, meskipun tidak dilakukan sholat jum’at di dalamnya, edt.). Hal itu karena, I’tikaf yang dilakukan di masjid yang tidak ditegakkan sholat berjama’ah, berarti boleh jadi dia meninggalkan sholat berjama’ah sedangkan dia tetap berada di masjid itu, dan ini hukumnya tidak boleh. Atau boleh jadi pula dia akan banyak keluar (dari masjid yang tidak dipakai untuk sholat berjama’ah, untuk keluar menuju masjid yang ada sholat berjama’ahnya, edt.), dan banyak keluar seperti ini menafikan (meniadakan) I’tikaf, padahal sebenarnya dia mampu menjaga diri darinya (untuk tidak banyak keluar dari masjid tempat I’tikaf, edt.).” (Ithaaful Anam, hal. 228)

Adapun hadits :

 لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة  

“Tidak ada I’tikaf (yakni dianggap tidak sah I’tikaf itu) kecuali di tiga masjid saja” (Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Isma’ily dalam Mu’jam-nya (no. 336), Al-Baihaqi (4/316), Ath-Thohawi (4/20), Ath-Thobari (no. 9511), dan Al-Faqihi (2/149), dari hadits Hudzaifah rodhiyallohu ‘anhu)

Para ulama berbeda pendapat tentang marfu’nya atau mauqufnya hadits ini. Yang benar, hadits ini mauquf (berhenti sanadnya hanya sampai) Hudzaifah rodhiyallohu ‘anhu. 

Dan seandainya hadits ini marfu’ (terangkat sanadnya sampai Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam), sebagian ahlul ilmi membawa pengertiannya pada “dinafikannya/ditiadakannya keutamaan dan kesempurnaannya.” (maksudnya, makna hadits tersebut menjadi : “tidak sempurna I’tikaf (seseorang itu) kecuali (yang dilakukan) di tiga masjid”, bukan maknanya : “tidak sah I’tikaf itu, kecuali (yang dilakukan) di tiga masjid”, edt.) Wallohu a’lamu bis showab.

FIQH PUASA ROMADHON

PUASANYA MUSAFIR (ORANG-ORANG YANG SEDANG BEPERGIAN)


Image result for BEPERGIAN 
Seorang musafir diperbolehkan berbuka puasa (tidak berpuasa), ketika dia sedang dalam perjalanan safarnya. Dan kewajibannya setelah itu adalah hendaknya dia mengqodho’ (mengganti/membayar hutang puasanya) di hari-hari lainnya selain bulan Romadhon.

Hal ini berdasarkan dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah maupun Ijma’ (kesepakatan para ulama kaum muslimin).

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Alloh ta’ala :

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ (١٨٥)

“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”(Al-Baqoroh : 185)

Dalil dari As-Sunnah banyak sekali, diantaranya adalah hadits Jabir rodhiyallohu anhu sebagaimana dalam Shohih Muslim (no. 1117) dan hadits Anas dalam As-Shohihahin (Al-Bukhori no. 1947 dan Muslim no. 1118) yang maknanya hampir yang bersama :

“Kami bepergian bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka diantara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka (tidak puasa), dan orang yang berbuka juga tidak mencela orang yang berpuasa.”
Juga hadits Hamzah bin ‘Amru Al-Aslami rodhiyallohu ‘anhu, ia berkata :

“Wahai Rosululloh, sesungguhnya aku mendapati pada diriku orang yang kuat untuk berpuasa ketika safar.” Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dia (yakni berbuka ketika safar itu) adalah ruhshoh (keringanan) dari Alloh, siapa yang mengambilnya maka itu adalah baik, dan barangsiapa (tetap) senang untuk berpuasa maka tidak ada dosa baginya.”(HR Imam Muslim dalam shohihnya)

Kemudian ada pula hadits-hadits lainnya yang menjelaskan tentang rukhshoh bagi musafir untuk tidak berpuasa, seperti hadits Ibnu Abbas, Abu Sa’id Al-Khudri, ‘Aisyah, Abu Darda’ dan lain-lain rodhiyallohu ‘anhum ajma’in, semuanya ada dalam As-Shohihain (lihat Shohih Al-Bukhori no. 1943-1945, Muslim no. 1113, 1116, dan 1121-1122).

Adapun dalil secara ijma’ (kesepakatan para ulama kaum muslimin), disebutkan oleh Imam An-Nawawi dan Ibnu Qudamah rohimahulloh ta’ala (lihat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/261), Al-Mughni (3/12) dan Majmu’ Al-Fatawa, 25/209)


BERAPAKAH UKURAN JARAK SAFAR (BEPERGIAN) YANG MEMBOLEHKAN SEORANG MUSAFIR UNTUK TIDAK BERPUASA ?

Ada beberapa pendapat para ulama dalam permasalahan ini :

1. Imam Malik, As-Syafi’i, Ahmad dan yang lainnya berpendapat : perjalanan sejauh dua hari perjalanan atau lebih, dengan menggunakan onta atau dengan berjalan kaki, atau kurang lebih sejauh 16 farsakh, seperti jarak antara Mekkah dan ‘Usfan.

2.   Abu Hanifah berpendapat : batasannya adalah perjalanan selama tiga hari.

3. Sekelompok ulama dari kalangan salaf dan kholaf berpendapat : tidak ada batasan tertentu. Mereka mengatakan : “Dibolehkannya berbuka dan mengqoshor sholat, selama perbuatannya tersebut masuk dalam istilah safar (bepergian jauh), meskipun perjalanannya tersebut kurang dari dua hari.”

    Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh, beliau berkata : “karena sesungguhnya telah tsabit bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sholat di ‘Arofah, Muzdalifah, dan di Mina bersama manusia (orang banyak), beliau mengqoshor sholat, dan di belakang beliau (sebagai makmum) orang-orang Mekkah, mereka sholat dengan sholatnya beliau. Beliau tidak memerintah seorang pun dari mereka untuk menyempurnakan (itmam) sholatnya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 25/211-212).


Pendapat yang terakhir inilah yang juga dirojihkan oleh Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh, sebagaimana dalam Zaadul Ma’aad (2/55), lihat pula Al-Muhalla (no. 762) karya Ibnu Hazm rohimahulloh.

Wallohu a’lamu bis showab.

FIQH PUASA ROMADHON

HUKUM PUASANYA
WANITA YANG HAMIL DAN YANG SEDANG MENYUSUI BAYI


Image result for dot susu bayi yang bagus
Seorang wanita yang sedang hamil, atau wanita yang sedang menyusui bayinya yang masih kecil, lalu dia tidak mampu berpuasa karena kuatir dengan keadaan janin yang dikandungnya atau kuatir dengan anak yang disusuinya, dan juga mengkuatirkan keadaan kesehatan dirinya, bolehkah dia tidak berpuasa ? Lalu jika dia tidak berpuasa, apa kewajiban baginya itu ?

Dalam permasalahan ini, ada beberapa pendapat para ulama, diantaranya sebagai berikut :

PENDAPAT PERTAMA : Bahwa keduanya dibolehkan untuk berbuka/tidak berpuasa, dan berkewajiban memberi makan kepada seorang miskin setiap harinya (yakni membayar fidyah).

Ini adalah pendapatnya Ibnu Abbas (atsar dari Ibnu Abbas ini dikeluarkan oleh Imam Ath-Thobari dalam tafsirnya (3/425-427) dengan sanad yang shohih), Ibnu Umar (atsar ini dikeluarkan oleh As-Syafi’i dalam Musnad-nya (1/278), Abdur Rozaq dalam Al-Mushonnaf (4/218) dan Al-Baihaqi dalam Sunan-nya (4/230) sanadnya shohih), Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Al-Qosim bin Muhammad, dan Ishaq bin Rohawaih rohimahulloh ajma’in.

Mereka berdalil dengan firman Alloh ta’ala : 

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ (١٨٤)

 “Dan bagi orang yang tidak mampu/lemah berpuasa, hendaknya dia membayar fidyah, (yaitu) memberi makan kepada satu orang miskin.” (QS Al-Baqoroh : 184)

PENDAPAT KEDUA : Bahwa keduanya dibolehkan untuk berbuka, hanya saja wajib mengqodho’ (mengganti hutang puasanya tersebut di hari lainnya), tidak perlu membayar fidyah.

Ini adalah pendapatnya Al-Hasan Al-Bashri, An-Nakho’i, Atho’, Az-Zuhri, Ad-Dhohak, Al-Auza’i, Robi’ah, Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Al-Laits, Ath-Thobari, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid. Adapun Imam Malik berpendapat, hukum tersebut di atas khusus untuk wanita yang sedang menyusui bayinya. Salah satu pendapat As-Syafi’i menyatakan : Hukum tersebut untuk wanita yang sedang hamil.

Mereka semuanya berdalil dengan hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya Alloh telah meletakkan puasa bagi orang yang safar (bepergian jauh) dan (juga meletakkan) separuh sholat (untuk musafir tersebut). (Demikian pula Alloh juga meletakkan) puasa bagi orang yang hamil dan yang menyusui.” (HR Abu Daud (no. 2408), At-Tirmidzi (no. 715), An-Nasa’i (4/180 dan 190), dan Ibnu Majah (no. 1668), dishohihkan oleh Syaikh Muqbil al-Wadi’i rohimahulloh dalam Al-Jaami’us Shohih)

Berdasarkan dalil tersebut, mereka mengatakan : “(Makna hadits tersebut), yakni bolehnya berbuka bagi keduanya (sebagai suatu keringanan baginya). Dan dibolehkannya hal itu karena adanya udzur yang “tidak asli” (bukan bawaan atau sesuatu yang terus menerus ada/melekat padanya). Maka tidak diwajibkan baginya kaffaroh/fidyah, seperti keadaan orang yang sakit (Jadi, yang wajib baginya adalah untuk mengqodho’ saja).”

Pendapat kedua ini adalah pendapat yang dirojihkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Syaikh Ibnu Baaz, dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahumulloh ajma’in.

PENDAPAT KETIGA : Jika keduanya menguatirkan (kesehatan) dirinya sendiri, atau menguatirkan dirinya dan anaknya, maka boleh bagi keduanya berbuka/tidak berpuasa, kewajibannya adalah mengqodho’ dan tidak perlu membayar fidyah. Tetapi bila keduanya hanya menguatirkan (kesehatan/keselamatan) anaknya saja tanpa menguatirkan (kesehatan) dirinya, maka keduanya boleh berbuka/tidak berpuasa, dan berkewajiban untuk mengqodho’ dan juga membayar fidyah. Ini adalah pendapatnya As-Syafi’i, Ahmad dan Mujahid rohimahumulloh ajma’in.

PENDAPAT KEEMPAT : Orang yang hamil boleh berbuka/tidak puasa dan berkewajiban mengqodho’ saja tanpa membayar fidyah. Sedangkan wanita yang menyusui bayinya boleh berbuka/tidak puasa, dan berkewajiban untuk mengqodho’ dan membayar fidyah. Ini adalah pendapatnya Malik, Al-Laits, dan dirojihkan oleh Ibnu Abdil Barr rohimahulloh.

PENDAPAT KELIMA : Boleh bagi keduanya untuk berbuka/tidak berpuasa, dan tidak ada kewajiban untuk mengqodho’ maupun membayar fidyah bagi keduanya. Ini pendapat Ibnu Hazm rohimahulloh.

Beliau berdalil dengan hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi rodhiyallohu ‘anhu yang telah terdahulu (yakni beliau memahami dari dalil tersebut bahwa makna “meletakkan puasa” adalah membebaskannya/tidak mewajibkan untuk berpuasa, yang berarti juga tidak ada kewajiban untuk mengqodho’ atau membayar fidyah, wallohu a’lam, edt.).

Jawaban atas pendapat ini : Sesungguhnya yang dimaksud dengan (“meletakkan puasa”), yakni meletakkan kewajiban untuk menunaikannya, bukan meletakkan (membebaskan) qodho’ baginya, berdasarkan dalil (seperti dalam hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi tersebut di atas) bahwa seorang musafir (orang yang bepergian jauh) wajib baginya untuk tetap mengganti puasa (mengqodho’nya) di hari-hari yang lainnya, sebagaimana firman Alloh ta’ala :

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ (١٨٤)

“Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…” (QS Al-Baqoroh : 184)

FIQH PUASA ROMADHON


Image result for nasi dan lauk pauk
HUKUM TENTANG FIDYAH DAN HAL-HAL YANG TERKAIT DENGANNYA


PENGERTIAN FIDYAH

Secara lughoh (bahasa), Fidyah itu artinya adalah “sesuatu yang diberikan/diserahkan, baik yang berupa harta atau yang lainnya, dalam rangka untuk membebaskan tawanan atau yang lainnya.” Istilah lainnya adalah “tebusan”.

Sedangkan Fidyah (tebusan) bagi orang yang tidak mampu berpuasa di bulan Romadhon, bentuknya adalah : “memberikan makanan kepada satu orang miskin setiap harinya, sebagai ganti atas ketidakmampuannya melakukan puasa tersebut.”


BERAPAKAH UKURAN FIDYAH ITU ?

Tentang masalah ini,  ada perselisihan/perbedaan pendapat diantara para ulama sebagai berikut :

PENDAPAT PERTAMA : Ukurannya adalah satu mud makanan setiap hari, sama saja apakah makanan itu berupa burr (tepung terigu/gandum), tamr (kurma), sya’ir (gandum) atau yang selainnya yang berupa makanan pokok penduduk suatu negeri. Ini adalah pendapatnya Imam As-Syafi’i, Thowus, Sa’id bin Jubair dan Al-Auza’I rohimahumulloh ajma’in.

Beberapa ulama belakangan, seperti Syaikh Ibnu Baz ( Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/203), Syaikh Sholih Al Fauzan (Al Muntaqo min Fatawa Syaikh Sholih Al Fauzan, 3/140) dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Fatawa Al Lajnah  Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 1447, 10/198), mereka mengatakan bahwa ukuran fidyah adalah setengah sho’ dari makanan pokok di negeri masing-masing (baik dengan kurma, beras dan lainnya). Mereka mendasari ukuran ini berdasarkan pada fatwa beberapa sahabat, di antaranya adalah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

(Ukuran 1 sho’ sama dengan 4 mud. Satu sho’ kira-kira (kurang lebih) 3 kg. Setengah sho’ kira-kira 1½ kg)


Catatan : “Asal dari satu mud itu adalah seukuran dua telapak tangan manusia yang sedang, lalu dengan keduanya biasa dipakai untuk mengambil/memenuhi bahan makanan dengannya.” Mudahnya, dalam bahasa Jawa (Surabaya) : “sak cawukan”, wallohu a’lam (lihat An-Nihayah fii Ghoribil Hadits wal Atsar, 4/256). Adapun satu sho’ itu sama dengan 4 mud.


PENDAPAT KEDUA : Ukurannya adalah satu sho’ (4 mud) dari tamr (kurma), atau setengah sho’ dari hinthoh (biji gandum). Ini adalah pendapatnya Abu Hanifah rohimahulloh.

PENDAPAT KETIGA : Ukurannya adalah satu mud hinthoh atau dua mud sya’ir atau tamr. Ini pendapatnya Imam Ahmad rohimahulloh.

PENDAPAT KEEMPAT : Tidak ada batasan/ukuran tertentu. Imam As-Syaukani rohimahulloh mengatakan : “Tidak ada (riwayat/dalil) yang marfu’, yang menunjukkan ketentuan/ukuran yang tertentu (dalam masalah fidyah ini).”

Yakni, karena semua pendapat yang disampaikan oleh para ulama tersebut di atas, tidaklah berdasarkan dalil yang shohih dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, karena memang tidak ditemukan riwayat yang shohih dari Rosululloh tentang ukuran fidyah, sehingga mereka pun berijtihad sesuai dengan kemampuannya.

Lalu, mana yang rojih (kuat) dari beberapa pendapat tersebut di atas ?

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh menyatakan : “Apa yang dikatakan oleh As-Syaukani rohimahulloh tersebut di atas, dikuatkan oleh sebuah atsar dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, bahwasannya ketika beliau telah merasa lemah (tidak mampu berpuasa lagi) setahun atau dua tahun sebelum beliau wafat, beliau memberikan makanan (kepada orang-orang miskin) berupa khubz (roti) dan lahm (daging), dan beliau tidak puasa (maksudnya, beliau ketika sudah sangat  tua dan merasa tidak mampu lagi untuk berpuasa, maka beliau menggantinya dengan fidyah/memberi makan kepada orang-orang miskin, edt.).”

(Atsar tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dalam Shohih-nya (3/150-151) secara mu’allaq/tanpa sanad dalam Kitabut Tafsir (Bab. 25), Tafsir Surat Al-Baqoroh ayat 184) (Lihat pula : Ithaaful Anam (hal. 160) dan Fathul ‘Allam (2/66), keduanya karya guru kami tersebut di atas)