FIQH PUASA ROMADHON


Image result for kamar rumah sakit 
HUKUM PUASANYA ORANG YANG SAKIT


KEADAAN ORANG YANG SAKIT

Ketahuilah, bahwa dalam kaitannya dengan ibadah puasa Romadhon, maka orang yang sakit itu mempunyai dua keadaan :

Pertama : Orang sakit yang keadaannya tidak mampu berpuasa sama sekali, maka berbuka/tidak berpuasa baginya adalah wajib.

Kedua : Orang sakit yang masih mampu berpuasa, akan tetapi bisa membahayakan sakitnya atau sangat memberatkan dirinya apabila berpuasa. Dalam keadaan seperti ini, disunnahkan baginya untuk berbuka/tidak berpuasa. (lihatTafsir Al-Qurthubi (2/276), karya Al-Imam Al-Qurthubi rohimahulloh)


BAGAIMANAKAH KETENTUAN SAKIT, YANG DIBOLEHKAN ATAU DIBERI KERINGANAN UNTUK TIDAK BERPUASA ITU ?

Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata : “Para sahabat kami (yakni para ulama madzhab Syafi’iyyah) berkata : “Syarat dibolehkannya berbuka (bagi orang yang sakit) adalah adanya masyaqqoh (rasa sulit/berat) yang ditanggungnya ketika melakukan puasa tersebut. Adapun sakit yang ringan yang tidak ada masyaqqoh yang nampak yang dirasakannya ketika berpuasa, maka tidak boleh baginya untuk berbuka/tidak berpuasa, dalam masalah ini tidak ada khilaf (perselisihan) di sisi kami (madzhab as-Syafi’i), berbeda dengan pendapatnya Ahlu Dhohir (madzhab Dhohiriyyah).” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/257)

Dan apa yang telah ditetapkan oleh para ulama Syafi’iyyah tersebut di atas, hal itu juga merupakan madzhabnya para ulama Hanabilah (pengikut pendapat Imam Ahmad bin Hambal) sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Qudamah rohimahulloh, dan juga madzhabnya Malikiyyah (pengikut pendapat Imam Malik) sebagaimana hal itu diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi rohimahulloh. Kemudian juga pendapatnya Al-Imam Al-Mardawy rohimahulloh, wallohu a’lam.

(Lihat :Al-Inshof (3/257-258), Al-Mughni (3/41) dan Tafsir Al-Qurthubi (2/276) )


TENTANG ORANG SAKIT YANG TIDAK BISA DIHARAPKAN KESEMBUHANNYA

Imam An-Nawawi rohimahulloh mengatakan : “Hukumnya adalah sama seperti orang tua yang lemah yang tidak mampu berpuasa sama sekali, tentang hal ini tidak ada khilaf (diantara para ulama).”  (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/258-259)

Lalu apa yang diwajibkan baginya dalam keadaannya seperti itu ? Insya Alloh akan dijelaskan lebih luas pada pembahasan tentang Puasanya Orang-Orang Yang Lemah, wallohu a’lam.


Orang Sakit Yang Tidak Bisa Diharapkan Kesembuhannya, dia tidak berpuasa. Lalu suatu saat dia merasa mampu berpuasa, maka dia pun berpuasa, maka apakah ada kewajiban untuk mengqodho’ baginya atas puasa yang ditinggalkannya ?

Dalam masalah ini, ada dua pendapat di kalangan para ulama madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah. Yang shohih dari keduanya adalah : Wajib baginya untuk mengqodho’ (membayar hutang puasanya), karena memberi makan (kepada orang miskin, yakni fidyah) adalah ganti atas kelemahannya (ketidakmampuannya berpuasa), dan telah jelas bagi kita (dalam keadaannya sekarang ini) hilangnya kelemahan/ketidakmampuannya tersebut.

Pendapat seperti itulah yang dirojihkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh, sebagaimana yang disampaikan beliau dalam salah satu pelajaran beliau. Alloh Subahanhu wa ta’ala berfirman :

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ (١٨٤)

“Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…” (QS Al-Baqoroh : 184)

(Lihat :Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/259)



BOLEHKAH BAGI ORANG YANG SAKIT MENINGGALKAN NIAT (YAKNI TIDAK BERNIAT) UNTUK BERPUASA ?

Dalam hal ini, Imam An-Nawawi rohimahulloh menjelaskan : “Para sahabat kami berkata : “Bila orang yang sakit itu adalah orang yang boleh untuk berbuka/tidak berpuasa, maka boleh baginya meninggalkan niat / tidak berniat untuk berpuasa di malam harinya (yakni tidak harus baginya berniat pada malam harinya untuk berpuasa besoknya). Orang yang sakit itu kadang panas badannya (kambuh sakitnya)dan kadang tidak.Kemudian ketika badannya panas dia tidak mampu berpuasa, sedangkan ketika tidak panas dia mampu berpuasa. Jika dia dalam keadaan panas badannya (kambuh sakitnya) ketika akan memulai puasa, maka boleh baginya untuk tidak berniat puasa. Jika tidak sedang kambuh, maka wajib baginya untuk berniat puasa di waktu malam harinya.Kemudian ketika sedang puasa lalu kambuh lagi sakitnya, dan dia sangat membutuhkan untuk berbuka/membatalkan puasanya, maka hendaknya dia berbuka/tidak berpuasa.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/258)


Bila di pagi hari dia sembuh dan berpuasa, lalu dia sakit lagi. Apa yang harus dilakukannya ?

Imam An-Nawawi mengatakan : “Boleh baginya berbuka/tidak puasa, tanpa adanya khilaf (perselisihan) di kalangan ulama.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/258)

Al-Mardawy rohimahulloh menukilkan ijma’ (kesepakatan para ulama) atas disunnahkannya berbuka/tidak berpuasa (bagi orang sakit seperti keadaan di atas, edt.)  (Al-Inshof, 3/257)


Bila orang sakit tersebut merasa mampu berpuasa, lalu dia berpuasa, apa hukumnya ?
  
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rohimahulloh berkata : “Kesepakatan mereka (para ulama) adalah bahwa orang sakit yang merasa mampu berpuasa lalu dia pun berpuasa hingga sempurna satu hari, maka puasanya itu mencukupi (yakni sah puasanya). (At-Tamhid, 7/235)

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh mengomentari apa yang dinyatakan oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr rohimahulloh di atas tentang adanya ijma’ (kesepakatan ulama) dalam masalah tersebut : “Kenyataannya, ada khilaf (perselisihan para ulama tentang masalah tersebut). Yang menyelisihi pendapat di atas adalah Ibnu Hazm rohimahulloh. Beliau berkata : “Puasanya itu tidak mencukupi (tidak sah).” Tetapi pendapat yang shohih adalah puasanya sah !” (Ithaaful Anam, hal. 139)

Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata : “Bila orang yang sakit membebani dirinya (merasa mampu) berpuasa kemudian benar-benar berpuasa, maka dia telah melakukan sesuatu yang makruh (dibenci), dikarenakan dia melakukan hal-hal yang mengandung madhorot (sesuatu yang membahayakan) pada dirinya dan meninggalkan keringanan dari Alloh ta’ala serta (meninggalkan) rukhshoh. (Maka meski demikian) puasanya tetap sah dan mencukupi, karena dia bersungguh-sungguh (benar-benar melakukannya) dan boleh baginya untuk meninggalkan rukhshoh (keringan tersebut).Bila dia membebani dirinya (memaksa diri untuk berpuasa), maka puasanya itu mencukupi (sah), sebagaimana orang yang sakit yang diberi rukhshoh untuk tidak sholat jum’at, tetapi dia meninggalkan rukhshoh tersebut dengan menghadiri sholat jum’at (maka sholat jum’atnya tersebut sah, edt.). Demikian pula seperti orang yang dibolehkan untuk tidak berdiri dalam sholat (karena udzur/sakit tertentu), apabila dia tetap sholat dengan berdiri (maka sholatnya tersebut sah,edt.).” (Al-Mughni, 3/42)

(lihat pula As-Syarhul Mumti’ (6/353) karya Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh)

Wallohu a’lamu bis showab

(Semua pembahasan di atas dinukil dari kitab Ithaaful Anam bi Ahkaami wa Masaaili As-Shiyaam (hal. 137-139), karya Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh dengan sedikit perubahan)


Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby
www.darul-ilmi-sby.blogspot.co.id