FIQH PUASA ROMADHON


Image result for nasi dan lauk pauk
HUKUM TENTANG FIDYAH DAN HAL-HAL YANG TERKAIT DENGANNYA


PENGERTIAN FIDYAH

Secara lughoh (bahasa), Fidyah itu artinya adalah “sesuatu yang diberikan/diserahkan, baik yang berupa harta atau yang lainnya, dalam rangka untuk membebaskan tawanan atau yang lainnya.” Istilah lainnya adalah “tebusan”.

Sedangkan Fidyah (tebusan) bagi orang yang tidak mampu berpuasa di bulan Romadhon, bentuknya adalah : “memberikan makanan kepada satu orang miskin setiap harinya, sebagai ganti atas ketidakmampuannya melakukan puasa tersebut.”


BERAPAKAH UKURAN FIDYAH ITU ?

Tentang masalah ini,  ada perselisihan/perbedaan pendapat diantara para ulama sebagai berikut :

PENDAPAT PERTAMA : Ukurannya adalah satu mud makanan setiap hari, sama saja apakah makanan itu berupa burr (tepung terigu/gandum), tamr (kurma), sya’ir (gandum) atau yang selainnya yang berupa makanan pokok penduduk suatu negeri. Ini adalah pendapatnya Imam As-Syafi’i, Thowus, Sa’id bin Jubair dan Al-Auza’I rohimahumulloh ajma’in.

Beberapa ulama belakangan, seperti Syaikh Ibnu Baz ( Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/203), Syaikh Sholih Al Fauzan (Al Muntaqo min Fatawa Syaikh Sholih Al Fauzan, 3/140) dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Fatawa Al Lajnah  Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 1447, 10/198), mereka mengatakan bahwa ukuran fidyah adalah setengah sho’ dari makanan pokok di negeri masing-masing (baik dengan kurma, beras dan lainnya). Mereka mendasari ukuran ini berdasarkan pada fatwa beberapa sahabat, di antaranya adalah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

(Ukuran 1 sho’ sama dengan 4 mud. Satu sho’ kira-kira (kurang lebih) 3 kg. Setengah sho’ kira-kira 1½ kg)


Catatan : “Asal dari satu mud itu adalah seukuran dua telapak tangan manusia yang sedang, lalu dengan keduanya biasa dipakai untuk mengambil/memenuhi bahan makanan dengannya.” Mudahnya, dalam bahasa Jawa (Surabaya) : “sak cawukan”, wallohu a’lam (lihat An-Nihayah fii Ghoribil Hadits wal Atsar, 4/256). Adapun satu sho’ itu sama dengan 4 mud.


PENDAPAT KEDUA : Ukurannya adalah satu sho’ (4 mud) dari tamr (kurma), atau setengah sho’ dari hinthoh (biji gandum). Ini adalah pendapatnya Abu Hanifah rohimahulloh.

PENDAPAT KETIGA : Ukurannya adalah satu mud hinthoh atau dua mud sya’ir atau tamr. Ini pendapatnya Imam Ahmad rohimahulloh.

PENDAPAT KEEMPAT : Tidak ada batasan/ukuran tertentu. Imam As-Syaukani rohimahulloh mengatakan : “Tidak ada (riwayat/dalil) yang marfu’, yang menunjukkan ketentuan/ukuran yang tertentu (dalam masalah fidyah ini).”

Yakni, karena semua pendapat yang disampaikan oleh para ulama tersebut di atas, tidaklah berdasarkan dalil yang shohih dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, karena memang tidak ditemukan riwayat yang shohih dari Rosululloh tentang ukuran fidyah, sehingga mereka pun berijtihad sesuai dengan kemampuannya.

Lalu, mana yang rojih (kuat) dari beberapa pendapat tersebut di atas ?

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh menyatakan : “Apa yang dikatakan oleh As-Syaukani rohimahulloh tersebut di atas, dikuatkan oleh sebuah atsar dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, bahwasannya ketika beliau telah merasa lemah (tidak mampu berpuasa lagi) setahun atau dua tahun sebelum beliau wafat, beliau memberikan makanan (kepada orang-orang miskin) berupa khubz (roti) dan lahm (daging), dan beliau tidak puasa (maksudnya, beliau ketika sudah sangat  tua dan merasa tidak mampu lagi untuk berpuasa, maka beliau menggantinya dengan fidyah/memberi makan kepada orang-orang miskin, edt.).”

(Atsar tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dalam Shohih-nya (3/150-151) secara mu’allaq/tanpa sanad dalam Kitabut Tafsir (Bab. 25), Tafsir Surat Al-Baqoroh ayat 184) (Lihat pula : Ithaaful Anam (hal. 160) dan Fathul ‘Allam (2/66), keduanya karya guru kami tersebut di atas)


KESIMPULANNYA ?

Jadi kesimpulannya, fidyah itu tidak ada ukuran tertentunya, hanya saja dia itu berupa makanan yang siap saji (siap di makan), yang bisa mengenyangkan orang yang memakannya.

Adapun pendapat-pendapat yang mengatakan dengan ukuran-ukuran tertentu dari suatu bahan makanan pokok, maka yang demikian itu tidak ada dalil shohih pun yang menguatkannya, wallohu a’lam bis showab.

(Maroji’ : Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/259) karya An-Nawawi rohimahulloh, Nailul Author (4/232) karya As-Syaukani rohimahulloh dan Tafsir Al-Qurthubi (2/289) karya Al-Imam Al-Qurthubi rohimahulloh)

(Dinukil dari Kitab Ithaaful Anam (hal. 160) dan Fathul ‘Allam (2/66), keduanya karya guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohuloh)



Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby