FIQH PUASA ROMADHON

PUASANYA MUSAFIR (ORANG-ORANG YANG SEDANG BEPERGIAN)


Image result for BEPERGIAN 
Seorang musafir diperbolehkan berbuka puasa (tidak berpuasa), ketika dia sedang dalam perjalanan safarnya. Dan kewajibannya setelah itu adalah hendaknya dia mengqodho’ (mengganti/membayar hutang puasanya) di hari-hari lainnya selain bulan Romadhon.

Hal ini berdasarkan dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah maupun Ijma’ (kesepakatan para ulama kaum muslimin).

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Alloh ta’ala :

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ (١٨٥)

“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”(Al-Baqoroh : 185)

Dalil dari As-Sunnah banyak sekali, diantaranya adalah hadits Jabir rodhiyallohu anhu sebagaimana dalam Shohih Muslim (no. 1117) dan hadits Anas dalam As-Shohihahin (Al-Bukhori no. 1947 dan Muslim no. 1118) yang maknanya hampir yang bersama :

“Kami bepergian bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka diantara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka (tidak puasa), dan orang yang berbuka juga tidak mencela orang yang berpuasa.”
Juga hadits Hamzah bin ‘Amru Al-Aslami rodhiyallohu ‘anhu, ia berkata :

“Wahai Rosululloh, sesungguhnya aku mendapati pada diriku orang yang kuat untuk berpuasa ketika safar.” Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dia (yakni berbuka ketika safar itu) adalah ruhshoh (keringanan) dari Alloh, siapa yang mengambilnya maka itu adalah baik, dan barangsiapa (tetap) senang untuk berpuasa maka tidak ada dosa baginya.”(HR Imam Muslim dalam shohihnya)

Kemudian ada pula hadits-hadits lainnya yang menjelaskan tentang rukhshoh bagi musafir untuk tidak berpuasa, seperti hadits Ibnu Abbas, Abu Sa’id Al-Khudri, ‘Aisyah, Abu Darda’ dan lain-lain rodhiyallohu ‘anhum ajma’in, semuanya ada dalam As-Shohihain (lihat Shohih Al-Bukhori no. 1943-1945, Muslim no. 1113, 1116, dan 1121-1122).

Adapun dalil secara ijma’ (kesepakatan para ulama kaum muslimin), disebutkan oleh Imam An-Nawawi dan Ibnu Qudamah rohimahulloh ta’ala (lihat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/261), Al-Mughni (3/12) dan Majmu’ Al-Fatawa, 25/209)


BERAPAKAH UKURAN JARAK SAFAR (BEPERGIAN) YANG MEMBOLEHKAN SEORANG MUSAFIR UNTUK TIDAK BERPUASA ?

Ada beberapa pendapat para ulama dalam permasalahan ini :

1. Imam Malik, As-Syafi’i, Ahmad dan yang lainnya berpendapat : perjalanan sejauh dua hari perjalanan atau lebih, dengan menggunakan onta atau dengan berjalan kaki, atau kurang lebih sejauh 16 farsakh, seperti jarak antara Mekkah dan ‘Usfan.

2.   Abu Hanifah berpendapat : batasannya adalah perjalanan selama tiga hari.

3. Sekelompok ulama dari kalangan salaf dan kholaf berpendapat : tidak ada batasan tertentu. Mereka mengatakan : “Dibolehkannya berbuka dan mengqoshor sholat, selama perbuatannya tersebut masuk dalam istilah safar (bepergian jauh), meskipun perjalanannya tersebut kurang dari dua hari.”

    Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh, beliau berkata : “karena sesungguhnya telah tsabit bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sholat di ‘Arofah, Muzdalifah, dan di Mina bersama manusia (orang banyak), beliau mengqoshor sholat, dan di belakang beliau (sebagai makmum) orang-orang Mekkah, mereka sholat dengan sholatnya beliau. Beliau tidak memerintah seorang pun dari mereka untuk menyempurnakan (itmam) sholatnya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 25/211-212).


Pendapat yang terakhir inilah yang juga dirojihkan oleh Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh, sebagaimana dalam Zaadul Ma’aad (2/55), lihat pula Al-Muhalla (no. 762) karya Ibnu Hazm rohimahulloh.

Wallohu a’lamu bis showab.


BOLEHKAH BAGI MUSAFIR BERPUASA KETIKA BEPERGIAN ITU ?

Dalam masalah inipun ada beberapa pendapat, diantaranya :

1.      Sekelompok ulama berpendapat : Tidak boleh bagi musafir untuk berpuasa ketika safarnya. Ini adalah pendapat sebagian Ahlu Dhohir (madzhab Dhohiriyyah), seperti Dawud Ad-Dhohiri dan Ibnu Hazm rohimahulloh. Diriwayatkan juga, bahwa ini adalah pendapatnya Abu Huroiroh dan Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma, juga An-Nakho’i dan Az-Zuhri rohimahumalloh.

Mereka berdalil dengan hadits : (صائم رمضان في السفر كالمفطر في الحضر) “Orang yang berpuasa romadhon di ketika safar seperti orang yang berbuka di ketika hadir (tidak safar).” (HR An-Nasa’i (4/183), Ibnu Majah (no. 1666) dari hadits Abdurrahman bin Auf, dan yang rojih hadits ini mauquf)

Mereka juga berdalil dengan Firman Alloh ta’ala : (فعدة من ايام أخر) “Maka hendaknya mengganti (puasanya tersebut) pada hari-hari yang lainnya.” (yakni, berdasarkan ayat tersebut (menurut pemahaman pendapat yang pertama ini), seorang musafir itu diperintahkan berbuka ketika dalam keadaan safarnya tersebut,akan tetapi tetap wajib mengganti hutang puasanya pada hari-hari yang lainnya selain romadhon).

Mereka juga berdalil dengan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :(ليس من البر الصيام في السفر)) “Bukan termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar.” (HR Imam Muslim no. 1115, dari Jabir bin Abdillah rodhiyallohu ‘anhuma)

Juga berdalil dengan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, ketika Nabi bersabda kepada orang-orang yang berbuka (ketika safar) : (أولئك العصاة ) “Mereka itu (orang-orang yang tetap berpuasa ketika safar, edt.) adalah orang yang bermaksiat !”

2.      Jumhur ulama dan para Imam yang empat, mereka semua berpendapat : Bolehnya berpuasa bagi orang yang sedang safar. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang banyak, diantaranya hadits Anas, Jabir, dan Abu Sa’id rodhiyallohu ‘anhum ajma’in, semuanya ada dalam As-Shohih, yang maknanya hampir sama : ““Kami bepergian bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka diantara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka (tidak puasa), dan orang yang berbuka juga tidak mencela orang yang berpuasa.” (HR Imam Muslim no. 1116-1118, juga dikeluarkan Imam Al-Bukhori dari hadits Anas, no. 1947)

Juga berdalil dengan hadits Hamzah bin Amru Al-Aslami rodhiyallohu ‘anhu yang telah disebutkan di atas.
Jawaban terhadap dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat pertama, adalah sebagai berikut :

1.      Adapun hadits :“Orang yang berpuasa romadhon ketika safar adalah seperti orang yang berbuka ketika hadir (tidak sedang bepergian)”, maka yang shohih ini adalah ucapan Abdurrohman bin Auf rodhiyallohu ‘anhu sendiri bukan hadits yang marfu’ (dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam). Sebagaimana hal ini dirojihkan (tentang kemauqufan hadits ini) oleh Abu Zur’ah rohimahulloh sebagaimana dalam Al-‘Ilal (1/239) karya Ibnu Abi Hatim Ar-Rozi dan Al-‘Ilal(4/383) karya Ad-Daruquthni, seperti yang diisyaratkan (juga tentang kemauqufan riwayat tersebut di atas) oleh An-Nasa’i rohimahulloh.

Al-Imam Al-Baihaqi rohimahulloh berkata : “(Hadits tersebut di atas) diriwayatkan juga secara marfu’, tetapi sanad-sanadnya dho’if.” (Sunan Al-Kubro, 4/283)

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh berkata: “Penilaian tentang mauqufnya riwayat tersebut di atas dari Abdurrohman bin Auf, juga tidak shohih (tidak benar), karena riwayat dari anak beliau (yang bernama ) Abu Salamah, dan telah dijelaskan oleh para ulama ahli ‘Ilalul Hadits (penyakit-penyakit/cacat-cacat hadits) bahwa dia tidak mendengar dari bapaknya.” (Ithaaful Anam, hal. 144)

2.      Adapun firman Alloh (yang artinya) :“Maka barangsiapa diantara kalian sakit atau ketika sedang safar (lalu berat untuk berpuasa) boleh baginya berbuka, maka kewajibannya adalah mengganti di hari-hari lainnya.” (Al-Baqoroh :184).

Maknanya adalah : “….atau ketika sedang safar, dan dia ingin berbuka, maka boleh baginya berbuka, dan wajib atas dia untuk menggantinya di hari-hari lainnya.” Kita katakan demikian, dalam rangka menggabungkan antara dalil-dalil al-Qur’an dan Al-Hadits. (jadi bukan maknanya seorang musafir itu diperintah untuk berbuka ketika safar, seperti yang dipahami pendapat yang pertama di atas, edt.)

3.      Adapun hadits : (“bukan termasuk kebaikan berpuasa ketika dalam keadaan safar”), hadits ini menceritakan tentang seseorang yang pingsan karena berpuasa (ketika safar), kemudian dia dibawa ke tempat yang teduh, lalu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Kenapa dia ?” Orang-orang menjawab : “Dia berpuasa (ketika dalam keadaan safar yang sangat panas, edt.).” Maka beliau pun bersabda :“Bukan termasuk kebaikan berpuasa ketika dalam keadaan safar.”

Maka hadits tersebut dibawa/dikenakan bagi orang yang berpuasa itu sesuatu yang sangat berat baginya (ketika safar), atau (dikenakan) bagi orang yang meninggalkan sesuatu yang lebih utama daripada puasa ketika safar (yakni berbuka itu lebih utama baginya dalam keadaan seperti itu, tetapi dia tetap berpuasa, edt.). Wallohu a’lam.

Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rohimahulloh berkata : “Orang-orang yang melarang untuk berpuasa ketika dalam keadaan safar (bagi musafir) berkata : “Sesungguhnya lafadz hadits tersebut bersifat umum, sedangkan ibroh (pelajaran yang bisa diambil darinya) adalah sesuai dengan keumumannya, tidak dikhususkan karena sebab tertentu.”

Kata beliau lagi : (Maka hal itu bisa dijawab) : “Yang seharusnya perlu untuk diperhatikan adalah perbedaan antara dalalatus sabab (penunjukan sebab-sebabnya hadits tersebut disampaikan), as-siyaq (konteks hadits itu juga), dan qorinah-qorinah (sesuatu tanda yang menunjukkan maksud disampaikannya hadits tersebut) atas pengkhususan perkara yang umum, dan (perlu juga diperhatikan) maksud si pembicara (yang menyampaikan hadits tersebut), dengan datangnya riwayat yang umum tersebut atas sebab-sebab (disampaikannya hadits itu). Karena sesungguhnya diantara dua perkara yang umum tersebut ada perbedaan yang sangat jelas.Siapa yang memperlakukan dua perkara yang umum tersebut hanya dari satu sisi saja, maka dia telah salah/keliru.”

Al-Imam As-Shon’ani rohimahulloh mengatakan : “Adapun hadits (bukan termasuk kebaikan berpuasa ketika dalam keadaan safar), Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hal itu hanyalah terhadap orang yang sangat merasa berat untuk berpuasa (ketika safar), sehingga sempurnalah berdalil dengan hadits ini tentang haramnya berpuasa ketika safar bagi orang yang merasa berat untuk berpuasa (ketika dalam keadaan seperti itu).” (Subulus Salam, 4/141-142)

4.      Adapun Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang tetap berpuasa ketika safar : (“Mereka itu adalah orang-orang yang bermaksiat/durhaka”), maka tentang hal ini ada dua jawaban :

a.      Pertama, bahwa puasa itu adalah perkara yang memberatkan mereka ketika itu, sebagaimana dalam konteks hadits itu sendiri, sebagaimana dikeluarkan imam Muslim dari hadits Jabir rodhiyallohu ‘anhuma. Sehingga pengkhususan larangan tersebut adalah bagi orang yang benar-benar merasa berat untuk berpuasa (tetapi tetap nekat berpuasa), seperti yang telah dijelaskan oleh As-Shon’ani rohimahulloh di atas.

b.      Kedua, bahwa yang benar, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka (para sahabat) ketika itu untuk berbuka adalah perintah yang ‘azimah (wajib dilaksanakan, karena safar mereka ketika itu adalah untuk berjihad/perang), sebagaimana disebutkan dalam Shohih Muslim sebuah hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu, beliau menceritakan : “Maka kami turun di suatu tempat, lalu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya kalian akan berhadapan dengan musuh kalian, dan berbuka (tidak puasa) itu akan lebih menguatkan (fisik) kalian, karena itu berbukalah kalian semua…”(al-hadits). Sehingga perintah dalam hadits ini adalah sesuatu ‘azimah (keharusan/kewajiban), sehingga kami semua berbuka. Kemudian kami memandang bolehnya berpuasa ketika safar setelah peristiwa itu (yakni selain dalam keadaan perang menghadapi musuh, edt.).”

5.      Adapun ucapan Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma :“Sesungguhnya berbuka (tidak berpuasa) itu adalah suatu ‘azimah (suatu keharusan) bagi musafir”, hal itu berlaku hukumnya bagi mereka yang merasa berat untuk berpuasa ketika safar, bukan untuk orang yang merasa ringan/mudah berpuasa meskipun dalam keadaan safar, wallohu a’lam bis showab.
Dari beberapa penjelasan dan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa insya Alloh pendapat yang rojih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat Jumhur Ulama (pendapat kedua), wallohu a’lamu bis showab.

(Maroji’ :Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (no. 1946), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/264), Majmu’ Al-Fatawa (25/211), Al-Muhalla (no. 762), Subulus Salam (4/141-142), Hasyiyah Kitabus Shiyam (1/242-243) dan At-Tamhid, 7/232)


Mana yang lebih utama (afdhol) bagi musafir, tetap berpuasa atau berbuka (tidak berpuasa) ?

Dalam masalah ini ada tiga pendapat para ulama, sebagai berikut :

Pertama : Bahwa berbuka itu lebih utama bagi musafir. Ini adalah pendapatnya Imam Al-Auza’i, Ahmad bin Hambal dan Ishaq rohimahumulloh ajma’in.

Mereka berdalil dengan beberapa hadits Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam, diantaranya :

a.      Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :“Bukan termasuk kebaikan berpuasa ketika dalam keadaan safar.”

b.      Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :“Hendaknya kalian mengambil rukhshoh (keringanan) dari Alloh, yang bisa meringankan kalian…” (HR Imam Muslim no. 1115)

c.       Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :“Sesungguhnya Alloh senang untuk didatangi rukhshoh-Nya (oleh seorang hamba) sebagaimana Dia benci didatangi perbuatan maksiat kepada-Nya .”(HR Imam Ahmad (2/108), Ibnu Khuzaimah (no. 950), Ibnu Hibban (no. 2742) dari hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma dengan sanad yang shohih)

d.      Hadits Hamzah bin ‘Amru Al-Aslami rodhiyallohu ‘anhu dalam Shohih Muslim (no. 1121), bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Itu adalah rukhshoh dari Alloh. Siapa yang mengambilnya maka itu adalah baik, dan siapa yang suka untuk tetap berpuasa, maka tidak ada dosa baginya.”

e.      Firman Alloh ta’ala (yang artinya) :“Alloh menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.” (QS Al-Baqoroh : 185)
Pendapat yang pertama ini dirojihkan oleh Ibnu Qudamah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahumalloh ta’ala.

Kedua : Yang lebih utama adalah mana yang dirasa paling mudah/ringan baginya (artinya, kalau berpuasa itu terasa mudah/ringan, maka yang lebih utama adalah tetap berpuasa meskipun safar. Tetapi bila berbuka itu yang lebih ringan/mudah baginya, maka hendaknya dia berbuka, edt.)

Ini adalah pendapat Umar bin Abdil Aziz rohimahulloh, dan dirojihkan oleh Al-Imam Ibnul Mundzir rohimahulloh. Dalilnya, sebagaimana dalam ayat tersebut di atas (QS Al-Baqoroh : 185)

Ketiga : Bahwa puasa itu lebih utama bagi musafir yang merasa kuat untuk tetap berpuasa dan tidak ada rasa berat atau sulit untuk berpuasa ketika safar. Ini adalah pendapatnya Jumhur Ulama, diantaranya Imam Malik dan As-Syafi’I rohimahumalloh ta’ala.

Dalilnya adalah sebagai berikut :

a.      Hadits Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata : “Kami pernah keluar bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari yang sangat panas di bulan Roamdhon, dan tidak ada yang berpuasa ketika itu kecuali Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan Abdulloh bin Rowahah rodhiyallohu ‘anhu.” (HR Imam Al-Bukhori no. 1945 dan Muslim no. 1122)

b.      Hadits Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu :“……… maka orang yang berpuasa (ketika safar) tidak mencela orang yang berbuka (yang tidak berpuasa), dan orang yang berbuka juga tidak mencela orang yang tetap berpuasa. Mereka (para sahabat) berpendapat/memandang bahwa siapa yang mendapati dirinya mempunyai kekuatan (untuk berpuasa ketika safar tersebut) lalu dia tetap berpuasa, maka yang demikian itu baik. Sedangkan siapa yang mendapati dirinya merasa lemah (tidak mampu berpuasa ketika safar tersebut) lalu dia berbuka, maka yang demikian itu juga baik.” (HR Imam Muslim no. (1116) (96) )

c.        Firman Alloh ta’ala (yang artinya) :“Dan bersegeralah kalian menuju kepada ampunan dari Robb kalian….” (QS Ali Imron : 133), ayat lainnya : “Maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan…” (QS Al-Maidah : 48)

d.      Dalil/alasan lainnya : Bahwa tetap berpuasa ketika safar (selama masih mempunyai kekuatan/kemampuan untuk itu) adalah dalam rangka cepat-cepat dalam Ibroudz Dzimmah (melepaskan tanggungan/kewajiban untuk berpuasa), disamping itu berpuasa bersama orang banyak (di bulan Romadhon) hal itu lebih mudah daripada di bulan-bulan lainnya.
Golongan yang berpendapat dengan pendapat ketiga ini, membantah dalil-dalil pendapat kedua sebagai berikut :

a.      Dalil-dalil yang mereka bawakan (tentang “bukan suatu kebaikan untuk berpuasa ketika safar”), hal itu ditujukan khususnya kepada orang yang sangat merasa berat dan membahayakan mereka untuk berpuasa ketika safar. Dalam keadaan seperti itu, yang lebih utama baginya adalah berbuka.

b.      Kemudian dalil tentang keharusan untuk mengambil rukhshoh (keringan dari Alloh), hal itu ditujukan untuk yang memang sengaja berpaling/tidak menerima keringanan dari Alloh dan dikuatirkan munculnya sifat “ujub” (bangga diri) kalau dia tetap berpuasa (yakni merasa bangga diri karena masih kuat untuk berpuasa), maka dia dianjurkan untuk mengambil rukhshoh tersebut. Walllohu a’lam.
Keempat : Sebagian ulama ada yang berpendapat : Bagi musafir, sama saja hukumnya, apakah dia mau berpuasa atau berbuka, semuanya terserah dia. Pendapat ini yang dirojihkan oleh guru kami yang mulia, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh, dalam kitab beliau Dhiya’us Salikin, fii Ahkami wa Adabil Musafirin, hal. 189-190)

Dari keempat pendapat tersebut, menurut guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh, yang rojih adalah pendapat ketiga (karena kuatnya dalil atau hujjah mereka tersebut). (Ithaaful Anam, hal. 147)

Dan ini pula yang dirojihkan oleh Imam An-Nawawi dan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahumalloh ajma’in.

(Maroji’ :Fathul Bari (no. 1946), Subulus Salam (4/142-143), Al-Inshof (3/259), As-Syarhul Mumti’ (6/355-356), Majmu’ Al-Fatawa (25/213-214) dan Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/265-266) )

Masalah : “Dalam safarnya, di pagi hari seorang musafir masih berpuasa, lalu di siang harinya dia ingin membatalkan puasanya, padahal tidak ada udzur baginya, bolehkah baginya untuk berbuka (membatalkan puasanya) ketika itu ?”

Jawabannya boleh ! Ini adalah pendapat segenap ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah. Dalilnya adalah hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma dalam As-Shohihain : “Bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam keluar (bepergian) menuju Mekkah pada bulan Romadhon dalam keadaan berpuasa, ketika sampai di daerah Kudid (tempat yang terletak antara Mekkah dan Madinah) beliaupun berbuka (membatalkan puasanya), lalu berbukalah pula orang-orang ketika itu.” (HR Al-Bukhori no. 1944 dan Muslim no. 1113) Lihat juga hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu ‘anhuma dalam Shohih Muslim.

Inilah pendapat yang benar dan rojih, sebagaimana dirojihkan oleh Imam An-Nawawi dan Ibnu Qudamah rohimahumalloh ta’ala, wallohu a’lamu bis showab.

(Maroji’ : Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/261), Al-Mughni (3/13-14), Al-Inshof (3/260) dan At-Tamhid (7/222-227) )

Masalah : “Seseorang di pagi hari masih muqim (tidak bepergian), terus di siang harinya hendak bepergian. Kapankah dibolehkan baginya untuk berbuka (membatalkan puasanya) ?”
Dalam masalah ini, para ulama Syafi’iyyah, Hanabilah dan Malikiyyah berpendapat : “Dibolehkan baginya berbuka apabila telah keluar dari kotanya (kampung halamannya).”

Alasannya, tidaklah seseorang itu disifati/dinamai sebagai musafir (orang yang bepergian) sampai dia keluar dari negeri/kotanya.Dan selama dia berada di dalam kotanya (tempat tinggalnya), maka berlaku baginya hukum-hukum orang yang muqim/hadir (yang tidak bepergian), karena itulah tidak boleh baginya untuk mengqoshor sholat. Wallohu a’lam.
Sebagian ulama lainnya, seperti Al-Hasan Al-Bashri, Ishaq, Atho’ dan lainnya berpendapat : “Boleh baginya berbuka meskipun masih berada di rumahnya, apabila dia telah benar-benar ber’azam (bertekad) untuk melakukan safar (bepergian).”

Mereka berdalil dengan hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dari jalan Muhammad bin Ka’ab, dia berkata : “Aku mendatangi Anas bin Malik, ketika itu beliau telah bersiap-siap naik kendaraannya, dan beliau telah memakai baju safar (untuk bepergian), lalu beliau meminta dibawakan makanan kemudian memakannya. Lalu aku bertanya bertanya kepada beliau : “Apakah ini sunnah ?” Kata beliau : “Ya, ini sunnah !”

Atsar tersebut dikeluarkan oleh Imam At-Tirmidzi (no. 799) dan Ad-Daruquthni (2/287-288) dengan sanad yang shohih, sebagaimana dishohihkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh dalam Al-Jami’us Shohih, dan beliau merojihkan pendapat ini berdasarkan atsar tersebut.

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh berkata : “Aku melihat bahwa Al-Imam Ibnu Abi Hatim Ar-Rozi rohimahulloh dalam kitabnya Al-‘Ilal (1/239), menjelaskan bahwa Ad-Darowardi telah meriwayatkan atsar Anas bin Malik tersebut dari Zaid bin Aslam, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Muhammad bin Ka’ab, di dalamnya terdapat lafadz : “Kami bertanya (kepada Anas) : “Apakah ini sunnah ?” Beliau menjawab : “Bukan termasuk sunnah !”

Lalu Al-Imam Ibnu Abi Hatim berkata (setelah membawakan riwayat tersebut di atas : “Bapakku (yakni Al-Imam Abu Hatim Ar-Rozi rohimahulloh) berkata : “Hadits Ad-Darowardi lebih shohih (daripada hadits riwayat At-Tirmidzi dan Ad-Daruquthni).”

Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh berkata : “Berdasarkan hal itulah (yakni atsar Anas yang lebih shohih) maka pendapat yang pertama adalah pendapat yang rojih, wallohu a’lam.” (Ithaaful Anam, hal. 151)

Jadi, yang shohih dan rojih adalah dibolehkan berbuka (membatalkan puasanya) bagi orang yang muqim yang hendak bepergian adalah ketika dia sudah melakukan perjalanan dan telah keluar dari kotanya (kampung halamannya), wallohu a’lamu bis showab.
(Maroji’ :Al-Mughni (3/13) dan At-Tamhid (7/227) )

Masalah : “Bila seorang musafir telah tiba di kotanya/kampung halamannya dalam keadaan dia berbuka (tidak berpuasa), sedangkan waktu maghrib masih beberapa saat lagi, apakah wajib/harus baginya untuk menahan diri (yakni tidak makan dan minum) di sisa waktu tersebut ?”

Dalam masalah ini, jawaban yang rojih adalah tidak harus menahan diri (berpuasa/tidak makan dan minum) di sisa waktunya hari itu. Ini adalah pendapat Imam Malik, As-Syafi’i dan para sahabat mereka, juga ini salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan Daud Ad-Dhohiri.

Bahkan, sampai-sampai Malik dan As-Syafi’i berpendapat : “Seandainya seorang musafir telah tiba di rumahnya dalam keadaannya seperti itu, lalu dia mendapati istrinya dalam keadaan suci (tidak sedang haid) di sisa hari itu, maka boleh baginya menggauli istrinya tersebut.”

Tetapi As-Syafi’i rohimahulloh akhirnya mengatakan : “Yang lebih aku sukai adalah hendaknya keduanya (suami istri tersebut) untuk mencegah dirinya dari makan dan minum serta berjima’, karena kuatir tuhmah (terkena kaffaroh).”

(Maroji’ :At-Tamhid (7/129-130), Al-Majmu’ (6/262), Zaadul Ma’aad (2/56), Al-Istidzkar (10/91) dan Al-Inshof (3/255-256) )

Masalah : “Seorang musafir telah tiba kembali di rumahnya (kotanya/kampung halamannya) dalam keadaan dia berpuasa. Apakah boleh baginya berbuka (membatalkan puasanya) padahal dia sekarang telah menjadi orang yang muqim ?”

Jawabannya adalah : tidak boleh baginya membatalkan puasanya dalam keadaan seperti itu. Hal itu karena sekarang (dalam keadaannya seperti tersebut di atas) dia telah berubah menjadi seorang yang muqim, dan telah hilang rukhshoh (keringanan) baginya ketika dalam keadaan safar.

Ini adalah pendapat jumhur ulama syafi’iyyah, juga pendapatnya Abu Thoyyib, dan Abu Ishaq As-Syairozy rohimahulloh.Wallohu a’lam.

(Maroji’ :Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/262) )

Masalah : “Apabila seorang musafir telah berada (tinggal) di suatu tempat tujuan dan bermukim disitu beberapa lama, apakah dia harus menahan diri dari makan dan minum (yakni berpuasa), ataukah boleh tetap berbuka (tidak puasa) baginya ?

Imam An-Nawawi rohimahulloh menjelaskan : “Bila seorang musafir berniat untuk muqim (tinggal) di suatu negeri/tempat tertentu, sehingga terputus rukhshoh (keringanan) baginya, maka menurut madzhab As-Syafi’i ada dua pendapat dalam masalah ini. Yang paling shohih adalah pendapat yang mengatakan diharamkan bagi musafir tersebut untuk berbuka.Dan pendapat ini yang dirojihkan oleh Asy-Syairozi, Al-Qodhi Abu Thoyyib, dan juga Al-Fauroni, serta sekelompok ulama dari Khurosan.”

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh berkata : “Pendapat inilah yang rojih – wallohu a’lam – bahwa jika dia (musafir itu) telah ber’azam/bertekad untuk muqim (tinggal di suatu tempat) selama empat hari atau lebih, maka tidak ada rukhshoh baginya untuk berbuka. Karena dia telah dianggap sebagai orang yang muqim. Dan pendapat ini juga dirojihkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rohimahulloh.”  (Ithaaful Anam, hal. 153)

(Maroji’ :Al-Majmu’ (6/262), Al-Muhalla (no. 763) dan Fatawa Romadhon (1/316-317) )
Demikian pembahasan ringkas yang bisa kami sampaikan. Sebenarnya masih banyak masalah yang dibahas, tetapi apa yang ada ini insya Alloh sudah mencukupi dan mewakili permasalahan yang sering terjadi dan sering ditanyakan. Semoga bermanfaat.

Wallohu a’lamu bis showab.

Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby

www.darul-ilmi-sby.blogspot.co.id