PUASANYA MUSAFIR (ORANG-ORANG YANG SEDANG BEPERGIAN)
Seorang musafir
diperbolehkan berbuka puasa (tidak berpuasa), ketika dia sedang dalam
perjalanan safarnya. Dan kewajibannya setelah itu adalah hendaknya dia mengqodho’
(mengganti/membayar hutang puasanya) di hari-hari lainnya selain bulan
Romadhon.
Hal ini
berdasarkan dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah maupun Ijma’
(kesepakatan para ulama kaum muslimin).
Dalil dari
Al-Qur’an adalah firman Alloh ta’ala :
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ (١٨٥)
“Barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”(Al-Baqoroh : 185)
Dalil dari
As-Sunnah banyak sekali, diantaranya adalah hadits Jabir rodhiyallohu anhu
sebagaimana dalam Shohih Muslim (no. 1117) dan hadits Anas dalam As-Shohihahin
(Al-Bukhori no. 1947 dan Muslim no. 1118) yang
maknanya hampir yang bersama :
“Kami
bepergian bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka diantara kami ada
yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa tidak mencela
orang yang berbuka (tidak puasa), dan orang yang berbuka juga tidak mencela
orang yang berpuasa.”
Juga hadits
Hamzah bin ‘Amru Al-Aslami rodhiyallohu ‘anhu, ia berkata :
“Wahai
Rosululloh, sesungguhnya aku mendapati pada diriku orang yang kuat untuk
berpuasa ketika safar.” Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Dia (yakni berbuka ketika safar itu) adalah ruhshoh (keringanan) dari
Alloh, siapa yang mengambilnya maka itu adalah baik, dan barangsiapa (tetap)
senang untuk berpuasa maka tidak ada dosa baginya.”(HR
Imam Muslim dalam shohihnya)
Kemudian ada
pula hadits-hadits lainnya yang menjelaskan tentang rukhshoh bagi musafir untuk
tidak berpuasa, seperti hadits Ibnu Abbas, Abu Sa’id Al-Khudri, ‘Aisyah, Abu
Darda’ dan lain-lain rodhiyallohu ‘anhum ajma’in, semuanya ada dalam As-Shohihain
(lihat Shohih Al-Bukhori no. 1943-1945, Muslim no.
1113, 1116, dan 1121-1122).
Adapun dalil
secara ijma’ (kesepakatan para ulama kaum muslimin), disebutkan oleh
Imam An-Nawawi dan Ibnu Qudamah rohimahulloh ta’ala (lihat Al-Majmu’
Syarh Al-Muhadzdzab (6/261), Al-Mughni (3/12) dan Majmu’
Al-Fatawa, 25/209)
BERAPAKAH
UKURAN JARAK SAFAR (BEPERGIAN) YANG MEMBOLEHKAN SEORANG MUSAFIR UNTUK TIDAK
BERPUASA ?
Ada beberapa
pendapat para ulama dalam permasalahan ini :
1. Imam Malik, As-Syafi’i, Ahmad dan yang lainnya
berpendapat : perjalanan sejauh dua hari perjalanan atau lebih, dengan
menggunakan onta atau dengan berjalan kaki, atau kurang lebih sejauh 16 farsakh,
seperti jarak antara Mekkah dan ‘Usfan.
2. Abu Hanifah berpendapat : batasannya adalah perjalanan
selama tiga hari.
3. Sekelompok ulama dari kalangan salaf dan kholaf
berpendapat : tidak ada batasan tertentu. Mereka mengatakan :
“Dibolehkannya berbuka dan mengqoshor sholat, selama perbuatannya tersebut
masuk dalam istilah safar (bepergian jauh), meskipun perjalanannya
tersebut kurang dari dua hari.”
Pendapat
ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh, beliau berkata :
“karena sesungguhnya telah tsabit bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
sholat di ‘Arofah, Muzdalifah, dan di Mina bersama manusia (orang banyak),
beliau mengqoshor sholat, dan di belakang beliau (sebagai makmum) orang-orang
Mekkah, mereka sholat dengan sholatnya beliau. Beliau tidak memerintah seorang
pun dari mereka untuk menyempurnakan (itmam) sholatnya.” (Majmu’
Al-Fatawa, 25/211-212).
Pendapat yang terakhir inilah yang
juga dirojihkan oleh Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh, sebagaimana dalam Zaadul
Ma’aad (2/55), lihat pula Al-Muhalla (no. 762) karya Ibnu
Hazm rohimahulloh.
Wallohu a’lamu bis showab.
BOLEHKAH
BAGI MUSAFIR BERPUASA KETIKA BEPERGIAN ITU ?
Dalam masalah
inipun ada beberapa pendapat, diantaranya :
1.
Sekelompok ulama berpendapat : Tidak boleh bagi
musafir untuk berpuasa ketika safarnya. Ini adalah pendapat sebagian Ahlu
Dhohir (madzhab Dhohiriyyah), seperti Dawud Ad-Dhohiri dan Ibnu Hazm
rohimahulloh. Diriwayatkan juga, bahwa ini adalah pendapatnya Abu Huroiroh dan
Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma, juga An-Nakho’i dan Az-Zuhri rohimahumalloh.
Mereka berdalil dengan hadits : (صائم رمضان في السفر كالمفطر في الحضر) “Orang yang
berpuasa romadhon di ketika safar seperti orang yang berbuka di ketika hadir
(tidak safar).” (HR An-Nasa’i (4/183), Ibnu Majah (no.
1666) dari hadits Abdurrahman bin Auf, dan yang rojih hadits ini mauquf)
Mereka juga berdalil dengan Firman
Alloh ta’ala : (فعدة من
ايام أخر) “Maka hendaknya mengganti (puasanya tersebut) pada hari-hari yang
lainnya.” (yakni, berdasarkan ayat tersebut (menurut pemahaman pendapat yang
pertama ini), seorang musafir itu diperintahkan berbuka ketika dalam keadaan
safarnya tersebut,akan tetapi tetap wajib mengganti hutang puasanya pada
hari-hari yang lainnya selain romadhon).
Mereka juga berdalil dengan sabda
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :(ليس من البر الصيام في السفر)) “Bukan termasuk
kebaikan, berpuasa ketika safar.” (HR Imam Muslim no. 1115, dari Jabir bin
Abdillah rodhiyallohu ‘anhuma)
Juga berdalil dengan sabda Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam, ketika Nabi bersabda kepada orang-orang yang
berbuka (ketika safar) : (أولئك العصاة ) “Mereka itu (orang-orang
yang tetap berpuasa ketika safar, edt.) adalah orang yang bermaksiat !”
2.
Jumhur ulama dan para Imam yang empat, mereka semua
berpendapat : Bolehnya berpuasa bagi orang yang sedang safar. Mereka berdalil
dengan hadits-hadits yang banyak, diantaranya hadits Anas, Jabir, dan Abu Sa’id
rodhiyallohu ‘anhum ajma’in, semuanya ada dalam As-Shohih, yang maknanya hampir
sama : ““Kami bepergian bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka
diantara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Orang yang
berpuasa tidak mencela orang yang berbuka (tidak puasa), dan orang yang berbuka
juga tidak mencela orang yang berpuasa.” (HR Imam Muslim no.
1116-1118, juga dikeluarkan Imam Al-Bukhori dari hadits Anas, no.
1947)
Juga berdalil dengan hadits Hamzah
bin Amru Al-Aslami rodhiyallohu ‘anhu yang telah disebutkan di atas.
Jawaban terhadap
dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat pertama, adalah sebagai berikut :
1.
Adapun hadits :“Orang yang berpuasa romadhon ketika
safar adalah seperti orang yang berbuka ketika hadir (tidak sedang bepergian)”,
maka yang shohih ini adalah ucapan Abdurrohman bin Auf rodhiyallohu ‘anhu
sendiri bukan hadits yang marfu’ (dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam). Sebagaimana hal ini dirojihkan (tentang kemauqufan hadits ini) oleh
Abu Zur’ah rohimahulloh sebagaimana dalam Al-‘Ilal (1/239) karya
Ibnu Abi Hatim Ar-Rozi dan Al-‘Ilal(4/383) karya Ad-Daruquthni,
seperti yang diisyaratkan (juga tentang kemauqufan riwayat tersebut di atas)
oleh An-Nasa’i rohimahulloh.
Al-Imam Al-Baihaqi rohimahulloh
berkata : “(Hadits tersebut di atas) diriwayatkan juga secara marfu’, tetapi
sanad-sanadnya dho’if.” (Sunan Al-Kubro, 4/283)
Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali
bin Hizam hafidzhohulloh berkata: “Penilaian tentang mauqufnya riwayat tersebut
di atas dari Abdurrohman bin Auf, juga tidak shohih (tidak benar), karena
riwayat dari anak beliau (yang bernama ) Abu Salamah, dan telah dijelaskan oleh
para ulama ahli ‘Ilalul Hadits (penyakit-penyakit/cacat-cacat hadits) bahwa
dia tidak mendengar dari bapaknya.” (Ithaaful Anam, hal. 144)
2.
Adapun firman Alloh (yang artinya) :“Maka
barangsiapa diantara kalian sakit atau ketika sedang safar (lalu berat untuk
berpuasa) boleh baginya berbuka, maka kewajibannya adalah mengganti di
hari-hari lainnya.” (Al-Baqoroh :184).
Maknanya adalah : “….atau ketika
sedang safar, dan dia ingin berbuka, maka boleh baginya berbuka, dan wajib atas
dia untuk menggantinya di hari-hari lainnya.” Kita katakan demikian, dalam
rangka menggabungkan antara dalil-dalil al-Qur’an dan Al-Hadits. (jadi bukan
maknanya seorang musafir itu diperintah untuk berbuka ketika safar, seperti
yang dipahami pendapat yang pertama di atas, edt.)
3.
Adapun hadits : (“bukan termasuk kebaikan berpuasa
ketika dalam keadaan safar”), hadits ini menceritakan tentang seseorang
yang pingsan karena berpuasa (ketika safar), kemudian dia dibawa ke tempat yang
teduh, lalu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Kenapa dia ?”
Orang-orang menjawab : “Dia berpuasa (ketika dalam keadaan safar yang sangat
panas, edt.).” Maka beliau pun bersabda :“Bukan termasuk kebaikan berpuasa
ketika dalam keadaan safar.”
Maka hadits tersebut dibawa/dikenakan
bagi orang yang berpuasa itu sesuatu yang sangat berat baginya (ketika safar),
atau (dikenakan) bagi orang yang meninggalkan sesuatu yang lebih utama daripada
puasa ketika safar (yakni berbuka itu lebih utama baginya dalam keadaan seperti
itu, tetapi dia tetap berpuasa, edt.). Wallohu a’lam.
Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied
rohimahulloh berkata : “Orang-orang yang melarang untuk berpuasa ketika dalam
keadaan safar (bagi musafir) berkata : “Sesungguhnya lafadz hadits tersebut
bersifat umum, sedangkan ibroh (pelajaran yang bisa diambil darinya) adalah
sesuai dengan keumumannya, tidak dikhususkan karena sebab tertentu.”
Kata beliau lagi : (Maka hal itu bisa
dijawab) : “Yang seharusnya perlu untuk diperhatikan adalah perbedaan antara dalalatus
sabab (penunjukan sebab-sebabnya hadits tersebut disampaikan), as-siyaq
(konteks hadits itu juga), dan qorinah-qorinah (sesuatu tanda yang
menunjukkan maksud disampaikannya hadits tersebut) atas pengkhususan perkara
yang umum, dan (perlu juga diperhatikan) maksud si pembicara (yang menyampaikan
hadits tersebut), dengan datangnya riwayat yang umum tersebut atas sebab-sebab
(disampaikannya hadits itu). Karena sesungguhnya diantara dua perkara yang umum
tersebut ada perbedaan yang sangat jelas.Siapa yang memperlakukan dua perkara
yang umum tersebut hanya dari satu sisi saja, maka dia telah salah/keliru.”
Al-Imam As-Shon’ani rohimahulloh
mengatakan : “Adapun hadits (bukan termasuk kebaikan berpuasa ketika dalam
keadaan safar), Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hal
itu hanyalah terhadap orang yang sangat merasa berat untuk berpuasa (ketika
safar), sehingga sempurnalah berdalil dengan hadits ini tentang haramnya
berpuasa ketika safar bagi orang yang merasa berat untuk berpuasa
(ketika dalam keadaan seperti itu).” (Subulus Salam, 4/141-142)
4.
Adapun Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
tentang orang yang tetap berpuasa ketika safar : (“Mereka itu adalah
orang-orang yang bermaksiat/durhaka”), maka tentang hal ini ada dua jawaban
:
a. Pertama, bahwa puasa itu adalah perkara yang
memberatkan mereka ketika itu, sebagaimana dalam konteks hadits itu sendiri,
sebagaimana dikeluarkan imam Muslim dari hadits Jabir rodhiyallohu ‘anhuma.
Sehingga pengkhususan larangan tersebut adalah bagi orang yang benar-benar
merasa berat untuk berpuasa (tetapi tetap nekat berpuasa), seperti yang telah
dijelaskan oleh As-Shon’ani rohimahulloh di atas.
b. Kedua, bahwa yang benar, Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka (para sahabat) ketika itu untuk berbuka
adalah perintah yang ‘azimah (wajib dilaksanakan, karena safar mereka
ketika itu adalah untuk berjihad/perang), sebagaimana disebutkan dalam Shohih
Muslim sebuah hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu, beliau
menceritakan : “Maka kami turun di suatu tempat, lalu Nabi shollallohu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Sesungguhnya kalian akan berhadapan dengan musuh kalian,
dan berbuka (tidak puasa) itu akan lebih menguatkan (fisik) kalian, karena itu
berbukalah kalian semua…”(al-hadits). Sehingga perintah dalam hadits ini
adalah sesuatu ‘azimah (keharusan/kewajiban), sehingga kami semua berbuka.
Kemudian kami memandang bolehnya berpuasa ketika safar setelah peristiwa itu
(yakni selain dalam keadaan perang menghadapi musuh, edt.).”
5.
Adapun ucapan Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma :“Sesungguhnya
berbuka (tidak berpuasa) itu adalah suatu ‘azimah (suatu keharusan) bagi musafir”,
hal itu berlaku hukumnya bagi mereka yang merasa berat untuk berpuasa ketika
safar, bukan untuk orang yang merasa ringan/mudah berpuasa meskipun dalam
keadaan safar, wallohu a’lam bis showab.
Dari beberapa penjelasan
dan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa insya Alloh pendapat yang rojih
(kuat) dalam masalah ini adalah pendapat Jumhur Ulama (pendapat kedua), wallohu
a’lamu bis showab.
(Maroji’ :Fathul Bari
Syarh Shohih Al-Bukhori (no. 1946), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab
(6/264), Majmu’ Al-Fatawa (25/211), Al-Muhalla (no.
762), Subulus Salam (4/141-142), Hasyiyah Kitabus Shiyam
(1/242-243) dan At-Tamhid, 7/232)
Mana yang lebih utama
(afdhol) bagi musafir, tetap berpuasa atau berbuka (tidak berpuasa) ?
Dalam masalah ini ada
tiga pendapat para ulama, sebagai berikut :
Pertama : Bahwa berbuka itu lebih
utama bagi musafir. Ini adalah pendapatnya Imam Al-Auza’i, Ahmad bin Hambal dan
Ishaq rohimahumulloh ajma’in.
Mereka berdalil dengan
beberapa hadits Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam, diantaranya :
a.
Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :“Bukan
termasuk kebaikan berpuasa ketika dalam keadaan safar.”
b.
Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :“Hendaknya
kalian mengambil rukhshoh (keringanan) dari Alloh, yang bisa meringankan
kalian…” (HR Imam Muslim no. 1115)
c.
Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :“Sesungguhnya
Alloh senang untuk didatangi rukhshoh-Nya (oleh seorang hamba) sebagaimana Dia
benci didatangi perbuatan maksiat kepada-Nya .”(HR Imam Ahmad
(2/108), Ibnu Khuzaimah (no. 950), Ibnu Hibban (no.
2742) dari hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma dengan sanad yang shohih)
d.
Hadits Hamzah bin ‘Amru Al-Aslami rodhiyallohu ‘anhu
dalam Shohih Muslim (no. 1121), bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda :“Itu adalah rukhshoh dari Alloh. Siapa yang mengambilnya maka itu
adalah baik, dan siapa yang suka untuk tetap berpuasa, maka tidak ada dosa
baginya.”
e.
Firman Alloh ta’ala (yang artinya) :“Alloh
menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi
kalian.” (QS Al-Baqoroh : 185)
Pendapat yang pertama ini dirojihkan oleh
Ibnu Qudamah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahumalloh ta’ala.
Kedua : Yang lebih utama adalah mana yang dirasa
paling mudah/ringan baginya (artinya, kalau berpuasa itu terasa mudah/ringan,
maka yang lebih utama adalah tetap berpuasa meskipun safar. Tetapi bila berbuka
itu yang lebih ringan/mudah baginya, maka hendaknya dia berbuka, edt.)
Ini adalah pendapat Umar bin Abdil Aziz
rohimahulloh, dan dirojihkan oleh Al-Imam Ibnul Mundzir rohimahulloh. Dalilnya,
sebagaimana dalam ayat tersebut di atas (QS Al-Baqoroh : 185)
Ketiga : Bahwa puasa itu lebih utama bagi musafir
yang merasa kuat untuk tetap berpuasa dan tidak ada rasa berat atau sulit untuk
berpuasa ketika safar. Ini adalah pendapatnya Jumhur Ulama, diantaranya Imam
Malik dan As-Syafi’I rohimahumalloh ta’ala.
Dalilnya adalah sebagai berikut :
a.
Hadits Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata : “Kami
pernah keluar bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari
yang sangat panas di bulan Roamdhon, dan tidak ada yang berpuasa ketika itu
kecuali Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan Abdulloh bin Rowahah
rodhiyallohu ‘anhu.” (HR Imam Al-Bukhori no. 1945 dan Muslim
no. 1122)
b.
Hadits Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu :“………
maka orang yang berpuasa (ketika safar) tidak mencela orang yang berbuka (yang
tidak berpuasa), dan orang yang berbuka juga tidak mencela orang yang tetap
berpuasa. Mereka (para sahabat) berpendapat/memandang bahwa siapa yang
mendapati dirinya mempunyai kekuatan (untuk berpuasa ketika safar tersebut)
lalu dia tetap berpuasa, maka yang demikian itu baik. Sedangkan siapa yang
mendapati dirinya merasa lemah (tidak mampu berpuasa ketika safar tersebut)
lalu dia berbuka, maka yang demikian itu juga baik.” (HR Imam Muslim
no. (1116) (96) )
c.
Firman Alloh
ta’ala (yang artinya) :“Dan bersegeralah kalian menuju kepada ampunan dari
Robb kalian….” (QS Ali Imron : 133), ayat lainnya : “Maka
berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan…” (QS Al-Maidah : 48)
d.
Dalil/alasan lainnya : Bahwa tetap berpuasa ketika
safar (selama masih mempunyai kekuatan/kemampuan untuk itu) adalah dalam rangka
cepat-cepat dalam Ibroudz Dzimmah (melepaskan tanggungan/kewajiban untuk
berpuasa), disamping itu berpuasa bersama orang banyak (di bulan Romadhon) hal itu
lebih mudah daripada di bulan-bulan lainnya.
Golongan yang berpendapat dengan pendapat
ketiga ini, membantah dalil-dalil pendapat kedua sebagai berikut :
a.
Dalil-dalil yang mereka bawakan (tentang “bukan suatu
kebaikan untuk berpuasa ketika safar”), hal itu ditujukan khususnya kepada
orang yang sangat merasa berat dan membahayakan mereka untuk berpuasa ketika
safar. Dalam keadaan seperti itu, yang lebih utama baginya adalah berbuka.
b.
Kemudian dalil tentang keharusan untuk mengambil
rukhshoh (keringan dari Alloh), hal itu ditujukan untuk yang memang sengaja
berpaling/tidak menerima keringanan dari Alloh dan dikuatirkan munculnya sifat
“ujub” (bangga diri) kalau dia tetap berpuasa (yakni merasa bangga diri karena
masih kuat untuk berpuasa), maka dia dianjurkan untuk mengambil rukhshoh
tersebut. Walllohu a’lam.
Keempat : Sebagian ulama ada yang berpendapat : Bagi
musafir, sama saja hukumnya, apakah dia mau berpuasa atau berbuka, semuanya
terserah dia. Pendapat ini yang dirojihkan oleh guru kami yang mulia, Syaikh
Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh, dalam kitab beliau Dhiya’us
Salikin, fii Ahkami wa Adabil Musafirin, hal. 189-190)
Dari keempat pendapat tersebut, menurut guru
kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh, yang rojih adalah pendapat
ketiga (karena kuatnya dalil atau hujjah mereka tersebut). (Ithaaful
Anam, hal. 147)
Dan ini pula yang dirojihkan oleh Imam
An-Nawawi dan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahumalloh ajma’in.
(Maroji’ :Fathul Bari (no.
1946), Subulus Salam (4/142-143), Al-Inshof (3/259),
As-Syarhul Mumti’ (6/355-356), Majmu’ Al-Fatawa
(25/213-214) dan Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/265-266) )
Masalah : “Dalam safarnya, di pagi hari seorang
musafir masih berpuasa, lalu di siang harinya dia ingin membatalkan puasanya,
padahal tidak ada udzur baginya, bolehkah baginya untuk berbuka (membatalkan
puasanya) ketika itu ?”
Jawabannya boleh ! Ini adalah pendapat
segenap ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah. Dalilnya adalah hadits Ibnu Abbas
rodhiyallohu ‘anhuma dalam As-Shohihain : “Bahwa Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam keluar (bepergian) menuju Mekkah pada bulan
Romadhon dalam keadaan berpuasa, ketika sampai di daerah Kudid (tempat yang
terletak antara Mekkah dan Madinah) beliaupun berbuka (membatalkan puasanya),
lalu berbukalah pula orang-orang ketika itu.” (HR Al-Bukhori
no. 1944 dan Muslim no. 1113) Lihat juga hadits Jabir bin
Abdillah rodhiyallohu ‘anhuma dalam Shohih Muslim.
Inilah pendapat yang benar dan rojih,
sebagaimana dirojihkan oleh Imam An-Nawawi dan Ibnu Qudamah rohimahumalloh
ta’ala, wallohu a’lamu bis showab.
(Maroji’ : Al-Majmu’ Syarh
Al-Muhadzdzab (6/261), Al-Mughni (3/13-14), Al-Inshof
(3/260) dan At-Tamhid (7/222-227) )
Masalah : “Seseorang di pagi hari masih muqim
(tidak bepergian), terus di siang harinya hendak bepergian. Kapankah dibolehkan
baginya untuk berbuka (membatalkan puasanya) ?”
Dalam masalah ini, para ulama Syafi’iyyah,
Hanabilah dan Malikiyyah berpendapat : “Dibolehkan baginya berbuka apabila
telah keluar dari kotanya (kampung halamannya).”
Alasannya, tidaklah seseorang itu
disifati/dinamai sebagai musafir (orang yang bepergian) sampai dia keluar dari
negeri/kotanya.Dan selama dia berada di dalam kotanya (tempat tinggalnya), maka
berlaku baginya hukum-hukum orang yang muqim/hadir (yang tidak bepergian),
karena itulah tidak boleh baginya untuk mengqoshor sholat. Wallohu a’lam.
Sebagian ulama lainnya, seperti Al-Hasan
Al-Bashri, Ishaq, Atho’ dan lainnya berpendapat : “Boleh baginya berbuka
meskipun masih berada di rumahnya, apabila dia telah benar-benar ber’azam
(bertekad) untuk melakukan safar (bepergian).”
Mereka berdalil dengan hadits Anas bin Malik
rodhiyallohu ‘anhu, dari jalan Muhammad bin Ka’ab, dia berkata : “Aku
mendatangi Anas bin Malik, ketika itu beliau telah bersiap-siap naik kendaraannya,
dan beliau telah memakai baju safar (untuk bepergian), lalu beliau meminta
dibawakan makanan kemudian memakannya. Lalu aku bertanya bertanya kepada beliau
: “Apakah ini sunnah ?” Kata beliau : “Ya, ini sunnah !”
Atsar tersebut dikeluarkan oleh Imam At-Tirmidzi
(no. 799) dan Ad-Daruquthni (2/287-288) dengan sanad yang shohih,
sebagaimana dishohihkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh
dalam Al-Jami’us Shohih, dan beliau merojihkan pendapat ini
berdasarkan atsar tersebut.
Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam
hafidzhohulloh berkata : “Aku melihat bahwa Al-Imam Ibnu Abi Hatim Ar-Rozi
rohimahulloh dalam kitabnya Al-‘Ilal (1/239), menjelaskan bahwa
Ad-Darowardi telah meriwayatkan atsar Anas bin Malik tersebut dari Zaid bin
Aslam, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Muhammad bin Ka’ab, di dalamnya
terdapat lafadz : “Kami bertanya (kepada Anas) : “Apakah ini sunnah ?” Beliau
menjawab : “Bukan termasuk sunnah !”
Lalu Al-Imam Ibnu Abi Hatim berkata (setelah
membawakan riwayat tersebut di atas : “Bapakku (yakni Al-Imam Abu Hatim Ar-Rozi
rohimahulloh) berkata : “Hadits Ad-Darowardi lebih shohih (daripada hadits
riwayat At-Tirmidzi dan Ad-Daruquthni).”
Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam
hafidzhohulloh berkata : “Berdasarkan hal itulah (yakni atsar Anas yang lebih
shohih) maka pendapat yang pertama adalah pendapat yang rojih, wallohu
a’lam.” (Ithaaful Anam, hal. 151)
Jadi, yang shohih dan rojih adalah dibolehkan
berbuka (membatalkan puasanya) bagi orang yang muqim yang hendak bepergian
adalah ketika dia sudah melakukan perjalanan dan telah keluar dari kotanya
(kampung halamannya), wallohu a’lamu bis showab.
(Maroji’ :Al-Mughni (3/13) dan At-Tamhid
(7/227) )
Masalah : “Bila seorang musafir telah tiba di
kotanya/kampung halamannya dalam keadaan dia berbuka (tidak berpuasa),
sedangkan waktu maghrib masih beberapa saat lagi, apakah wajib/harus baginya
untuk menahan diri (yakni tidak makan dan minum) di sisa waktu tersebut ?”
Dalam masalah ini, jawaban yang rojih adalah
tidak harus menahan diri (berpuasa/tidak makan dan minum) di sisa waktunya hari
itu. Ini adalah pendapat Imam Malik, As-Syafi’i dan para sahabat mereka, juga
ini salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan Daud Ad-Dhohiri.
Bahkan, sampai-sampai Malik dan As-Syafi’i
berpendapat : “Seandainya seorang musafir telah tiba di rumahnya dalam
keadaannya seperti itu, lalu dia mendapati istrinya dalam keadaan suci (tidak
sedang haid) di sisa hari itu, maka boleh baginya menggauli istrinya tersebut.”
Tetapi As-Syafi’i rohimahulloh akhirnya
mengatakan : “Yang lebih aku sukai adalah hendaknya keduanya (suami istri
tersebut) untuk mencegah dirinya dari makan dan minum serta berjima’, karena
kuatir tuhmah (terkena kaffaroh).”
(Maroji’ :At-Tamhid
(7/129-130), Al-Majmu’ (6/262), Zaadul Ma’aad
(2/56), Al-Istidzkar (10/91) dan Al-Inshof
(3/255-256) )
Masalah : “Seorang musafir telah tiba kembali di
rumahnya (kotanya/kampung halamannya) dalam keadaan dia berpuasa. Apakah boleh
baginya berbuka (membatalkan puasanya) padahal dia sekarang telah menjadi orang
yang muqim ?”
Jawabannya adalah : tidak boleh baginya
membatalkan puasanya dalam keadaan seperti itu. Hal itu karena sekarang (dalam
keadaannya seperti tersebut di atas) dia telah berubah menjadi seorang yang
muqim, dan telah hilang rukhshoh (keringanan) baginya ketika dalam keadaan
safar.
Ini adalah pendapat jumhur ulama syafi’iyyah,
juga pendapatnya Abu Thoyyib, dan Abu Ishaq As-Syairozy rohimahulloh.Wallohu
a’lam.
(Maroji’ :Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab
(6/262) )
Masalah : “Apabila seorang musafir telah berada
(tinggal) di suatu tempat tujuan dan bermukim disitu beberapa lama, apakah dia
harus menahan diri dari makan dan minum (yakni berpuasa), ataukah boleh tetap
berbuka (tidak puasa) baginya ?
Imam An-Nawawi rohimahulloh menjelaskan :
“Bila seorang musafir berniat untuk muqim (tinggal) di suatu negeri/tempat
tertentu, sehingga terputus rukhshoh (keringanan) baginya, maka menurut madzhab
As-Syafi’i ada dua pendapat dalam masalah ini. Yang paling shohih adalah
pendapat yang mengatakan diharamkan bagi musafir tersebut untuk
berbuka.Dan pendapat ini yang dirojihkan oleh Asy-Syairozi, Al-Qodhi Abu
Thoyyib, dan juga Al-Fauroni, serta sekelompok ulama dari Khurosan.”
Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam
hafidzhohulloh berkata : “Pendapat inilah yang rojih – wallohu a’lam – bahwa
jika dia (musafir itu) telah ber’azam/bertekad untuk muqim (tinggal di suatu
tempat) selama empat hari atau lebih, maka tidak ada rukhshoh baginya untuk
berbuka. Karena dia telah dianggap sebagai orang yang muqim. Dan pendapat ini
juga dirojihkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rohimahulloh.” (Ithaaful Anam, hal. 153)
(Maroji’ :Al-Majmu’ (6/262), Al-Muhalla
(no. 763) dan Fatawa Romadhon (1/316-317) )
Demikian pembahasan ringkas yang bisa kami
sampaikan. Sebenarnya masih banyak masalah yang dibahas, tetapi apa yang ada
ini insya Alloh sudah mencukupi dan mewakili permasalahan yang sering terjadi
dan sering ditanyakan. Semoga bermanfaat.
Wallohu a’lamu bis showab.
Akhukum
fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby
www.darul-ilmi-sby.blogspot.co.id