FIQH PUASA ROMADHON


Image result for i'tikaf di masjid
I’TIKAF & KEUTAMAANNYA


Apa I’tikaf itu ?

I’tikaf secara bahasa, artinya adalah : “Melazimi (menetapi) sesuatu, dan menahan diri (untuk tetap terus menerus) di atasnya (yakni tekun berada di atas perkara tersebut, edt.).” Sebagaimana disebutkan dalam firman Alloh Ta’ala :

إِذْ قَالَ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ (٥٢)

(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu I’tikaf (tekun beribadat) kepadanya?" (QS Al-Anbiya’ : 52)

Adapun pengertian secara syar’i adalah : “Berdiam/tinggal di masjid, (yang dilakukan oleh) orang yang khusus, menurut cara-cara yang khusus, dalam rangka ta’abbud (beribadah) kepada Alloh Ta’ala.” (lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori, no. 2025)


Apa Hukum I’tikaf itu ?

Ketahuilah, I’tikaf itu masyru’ (perkara yang disyari’atkan), dan juga mustahab (perkara yang disunnahkan, bukan wajib), berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ (kesepakatan para ulama). 

Dan I’tikaf itu hukumnya tidak wajib, kecuali bagi orang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf, karena hal ini hukumnya wajib baginya, berdasarkan ijma’ para ulama.

Dalil dari Al-Qur’an, yakni firman Alloh Ta’ala :

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (١٨٧)

“Dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istrimu) itu, sedang kamu beri'tikaf di dalam masjid. (QS Al-Baqoroh : 187)

Adapun dalil dari sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, adalah hadits dari ‘Aisyah, Ibnu Umar dan Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhum ajma’in, yang semuanya terdapat dalam As-Shohihain, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Romadhon (HR Imam Al-Bukhori no. 2026, 2018, 2025, dan Muslim no. 1167, 1171 dan 1172). Dan dalil-dalil dari hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan disyari’atkan I’tikaf itu sangat banyak.

Adapun dalil dari ijma’, tidak hanya satu ulama saja yang menukilkan bahwa I’tikaf itu disunnahkan. 

Dan I’tikaf itu tidaklah wajib, kecuali dengan sebab nadzar. Yang menyatakan hal itu diantaranya : Al-Imam Ibnul Mundzir, Ibnu Qudamah dan An-Nawawi rohimahulloh ajma’in, dan juga para ulama yang selain mereka.

(Lihat : Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/407), Al-Mughni (3/63) )


Apakah I’tikah itu harus di masjid ?

Tentang hal ini, Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh menyatakan : “I’tikaf itu tidaklah sah bila dilakukan selain di masjid. Hal ini bila orang yang I’tikaf itu adalah orang laki-laki. Tentang hal ini, kami tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan pendapat) diantara ahlul ilmi (ulama). Dasarnya adalah firman Alloh Ta’ala :

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (١٨٧)

“Dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istrimu) itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid.” (QS Al-baqoroh : 187).

Seandainya I’tikaf itu sah di selain masjid, maka tidaklah dikhususkan keharaman mubasyaroh (menggauli istri itu) di dalamnya. Hal ini karena larangan menggauli istri ketika I’tikaf adalah larangan yang mutlak.”  

Ibnu Abdil Barr rohimahulloh menukilkan adanya ijma’ tentang hal ini, demikian pula Al-Qurthubi rohimahulloh dalam tafsirnya, dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh.

Tetapi (anggapan adanya) ijma’ tentang masalah ini adalah tidak benar. Karena disana didapati adanya khilaf (penyelisihan) yang syad (nyleneh) yang tidak perlu ditoleh (dipedulikan), sebagaimana hal itu disebutkan dalam Fathul Bari.

Jadi kesimpulannya, I’tikaf itu harus di masjid, sebagaimana dalil tersebut di atas.


Di masjid manakah I’tikaf itu boleh dilakukan ?

Sebagian ulama berpendapat, I’tikaf itu secara khusus hanya boleh dilakukan di tiga masjid saja, yakni Masjidil Harom di Mekkah, Masjid An-Nabawi di Madinah, dan Masjidil Aqsho di Palestina. Ini adalah pendapatnya Hudzaifah rodhiyallohu ‘anhu.

Adapun Atho’ rohimahulloh berpendapat : dikhususkan di Masjidil Harom di Mekkah dan Masjid An-Nabawi yang ada di Madinah saja.

Adapun Ibnul Musayyab rohimahulloh berpendapat : khusus di Masjid An-Nabawi yang ada di Madinah saja.

Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat : secara umum boleh dilakukan di semua masjid, khususnya yang biasa dilakukan sholat jama’ah dan sholat Jum’at di dalamnya.

Adapun Imam As-Syafi’i rohimahulloh berpendapat : dilakukan khusus di masjid jami’ saja. Bahkan Imam Malik rohimahulloh mensyaratkan hal ini. Karena menurut beliau, I’tikaf itu terputus dengan adanya sholat jum’at.

Sedangkan Al-Hasan Al-Bashri, Hammad, Az-Zuhri, Imam Malik dalam salah satu pendapatnya, mereka semua berpendapat : I’tikaf itu tidak sah kecuali di masjid yang disitu ditegakkan sholat jum’at.

Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur rohimahumulloh berpendapat : boleh dilakukan di masjid yang ditegakkan sholat lima waktu (dengan berjama’ah) di dalamnya.

Dari beberapa pendapat di atas, manakah yang rojih (kuat dan terpilih) ? 

Menurut guru kami, Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh, beliau mengatakan : 

“Pendapat inilah yang rojih (yakni pendapat yang terakhir, yang menyatakan bolehnya I’tikaf di masjid yang ditegakkan sholat-sholat lima waktu di dalamnya, meskipun tidak dilakukan sholat jum’at di dalamnya, edt.). Hal itu karena, I’tikaf yang dilakukan di masjid yang tidak ditegakkan sholat berjama’ah, berarti boleh jadi dia meninggalkan sholat berjama’ah sedangkan dia tetap berada di masjid itu, dan ini hukumnya tidak boleh. Atau boleh jadi pula dia akan banyak keluar (dari masjid yang tidak dipakai untuk sholat berjama’ah, untuk keluar menuju masjid yang ada sholat berjama’ahnya, edt.), dan banyak keluar seperti ini menafikan (meniadakan) I’tikaf, padahal sebenarnya dia mampu menjaga diri darinya (untuk tidak banyak keluar dari masjid tempat I’tikaf, edt.).” (Ithaaful Anam, hal. 228)

Adapun hadits :

 لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة  

“Tidak ada I’tikaf (yakni dianggap tidak sah I’tikaf itu) kecuali di tiga masjid saja” (Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Isma’ily dalam Mu’jam-nya (no. 336), Al-Baihaqi (4/316), Ath-Thohawi (4/20), Ath-Thobari (no. 9511), dan Al-Faqihi (2/149), dari hadits Hudzaifah rodhiyallohu ‘anhu)

Para ulama berbeda pendapat tentang marfu’nya atau mauqufnya hadits ini. Yang benar, hadits ini mauquf (berhenti sanadnya hanya sampai) Hudzaifah rodhiyallohu ‘anhu. 

Dan seandainya hadits ini marfu’ (terangkat sanadnya sampai Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam), sebagian ahlul ilmi membawa pengertiannya pada “dinafikannya/ditiadakannya keutamaan dan kesempurnaannya.” (maksudnya, makna hadits tersebut menjadi : “tidak sempurna I’tikaf (seseorang itu) kecuali (yang dilakukan) di tiga masjid”, bukan maknanya : “tidak sah I’tikaf itu, kecuali (yang dilakukan) di tiga masjid”, edt.) Wallohu a’lamu bis showab.



Bagaimana dengan I’tikafnya para wanita, haruskah juga I’tikaf di masjid ?

Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri rohimahumalloh berpendapat : Cukup bagi para wanita untuk beri’tikaf di masjid yang ada di rumahnya saja. Dan ini juga pendapat lama dari Imam As-Syafi’i rohimahulloh.

Tetapi yang benar adalah pendapat Imam Ahmad dan pendapat Imam As-Syafi’i yang terbaru, yakni tidaklah sah I’tikaf itu, kecuali di masjid. 

Hal ini berdasarkan keumuman firman Alloh Ta’ala :  وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ  (“sedangkan kamu beri’tikaf di masjid”), dan juga karena dahulu para istri-istri Nabi pernah meminta izin kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan I’tikaf di masjid, kemudian beliau mengijinkan mereka, tetapi selanjutnya beliau melarang mereka (karena suatu sebab tertentu). Seandainya di masjid itu bukan merupakan syarat (untuk sahnya I’tikaf), tentu tidak akan terjadi permintaan ijin atau adanya larangan tersebut. Hal itu menunjukkan, tidaklah cukup bagi mereka (para wanita) melakukan I’tikaf hanya di masjid yang ada di dalam rumahnya. (Ithaaful Anam, hal. 228-229)

(lihat pula masalah ini pada kitab-kitab : Al-Mughni (3/67), Fathul Bari (no. 2025 dan 2033), Tafsir Al-Qurthubi (2/333), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/410) )

Catatan : Tidak disyaratkan (tidak harus) bagi wanita I’tikaf di masjid yang dipakai untuk sholat berjama’ah, tetapi boleh/cukup bagi mereka di semua masjid (meskipun tidak dipakai rutin sholat berjama’ah), hal itu karena sholat berjama’ah tidak wajib bagi mereka. Hal ini ditegaskan oleh Imam Ahmad dan Imam As-Syafi’i (lihat : Al-Mughni, 3/67)


Orang yang akan beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Romadhon, sejak kapankan dia harus memulai I’tikafnya ?

Dalam masalah ini ada dua pendapat para ulama sebagai berikut :

Pertama : Dia memulai I’tikafnya setelah selesai sholat Shubuh pada hari ke-21. Ini adalah pendapatnya Al-Auza’i, Al-Laits dan Ats-Tsauri. Mereka berdalil dengan hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anhu dalam As-Shohihain : “Bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam apabila akan bri’tikaf pada sepuluh hari terakhir (dari bulan Romadhon), beliau sholat fajr (shubuh) kemudian beliau masuk ke tempat i’tikafnya.” (HR Imam Al-Bukhori no. 2041 dan Muslim no. 1173)

Kedua : Dia memulai I’tikafnya sejak tenggelamnya matahari pada hari ke-20 (yakni sore hari, tepat saat-saat sebelum maghrib dia sudah masuk ke dalam masjid, edt.). Ini adalah pendapatnya pemilik madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, As-Syafi’i dan Ahmad), dan juga sekelompok ulama. Hal itu karena sepuluh hari terakhir itu, dimulai dari sejak tenggelamnya matahari (pada hari ke-20, sehingga masuk malam ke-21).

Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu : “Bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf pada sepuluh hari dari pertengahan bulan Romadhon untuk mencari lailatul qodar, kemudian menjadi jelaslah bagi beliau (yakni baru diberitahukan pada beliau, edt.) bahwa lailatul qodar itu terjadi pada sepuluh hari terakhir. Maka beliau bersabda : “Barangsiapa (telah) beri’tikaf bersamaku, maka hendaknya dia bermalam (tetap berada) di tempat I’tikafnya.” (HR Imam Al-Bukhori no. 2018 dan Muslim no. 1167) 

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh berkata : “Pendapat inilah (pendapat kedua) yang rojih. Dan pendapat ini pula yang dirojihkan oleh syaikh kami (guru kami), Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh.

Adapun tentang hadits ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha (seperti tersebut di atas), para ulama menjelaskan maknanya : bahwa (sebenarnya) Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam masuk (ke dalam masjid) sejak dari awal malam (yakni saat tenggelamnya matahari di waktu maghrib, edt.), akan tetapi (makna bahwa beliau masuk ke tempat I’tikafnya tersebut) hanyalah beliau ingin menyendiri di tempat yang telah disediakan untuk beliau (yakni tempat semacam bilik/ruangan kecil yang dibuatkan untuk beliau di dalam masjid) setelah menunaikan sholat shubuh. Atau maknanya : bahwa beliau ingin masuk ke tempat khusus yang telah disediakan untuk beliau buat I’tikaf selama sepuluh hari terakhir tersebut setelah menunaikan sholat shubuh. Wallohu a’lam.” (Ithaaful Anam, hal. 236)

(lihat masalah ini : Fathul Bari (no. 2033), Al-Mughni (3/80-81) )


Kapankah orang yang I’tikaf tersebut dianggap selesai dari I’tikafnya, dan boleh keluar dari masjid ?

Para ulama, seperti Imam Ahmad, Malik, As-Syafi’i dan Al-Auza’i, mereka berpendapat : orang yang I’tikaf boleh keluar dari masjid apabila matahari (di akhir romadhon) telah tenggelam. Hal itu karena sepuluh hari (terakhir dari bulan Romadhon) itu berakhir/telah selesai dengan selesainya bulan. Dan selesainya bulan itu (tandanya) adalah dengan tenggelamnya matahari (di akhir Romadhon tersebut, yang berarti malamnya adalah malam idul fitri, edt.). Dan insya Alloh inilah pendapat yang rojih (kuat dan terpilih), wallohu a’lam bis showab.

(lihat : Tafsir Al-Qurthubi, 2/336)


Berapa lamakah waktu I’tikaf yang paling sedikit itu ?

Dalam masalah ini, ada dua pendapat para ulama. 

Pendapat pertama mengatakan : tidak ada batasan tertentu tentang waktu I’tikaf yang paling sedikit. Suatu I’tikaf itu dianggap sah, meskipun hanya dilakukan sesaat (meski waktu yang sebentar) saja. Ini adalah pendapatnya Dawud Ad-Dhohiri, salah satu dari pendapat Imam Ahmad, dan juga pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir dan Ibnul Arobi Al-Maliki, dan juga salah satu pendapat dari Abu Hanifah.

Adapun pendapat kedua mengatakan : waktu yang paling sedikit untuk I’tikaf itu adalah sehari semalam. Ini adalah pendapat Imam Malik, dan pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah.

Yang rojih dari dua pendapat tersebut adalah pendapat pertama. Karena I’tikaf secara bahasa itu, bisa terjadi untuk waktu yang sedikit (sebentar) atau banyak (lama). Dan syari’at ini sama sekali tidak membatasi secara khusus tentang berapa lama waktu I’tikaf yang paling sedikit itu (yakni tidak ada dalil tertentu yang menentukan batasan waktu yang paling sedikit untuk I’tikaf, edt.). Oleh karena itu, hukumnya tetap kembali pada asalnya, yakni dibolehkannya I’tikaf, meski sebentar ataupun lama. Wallohu a’lamu bis showab.

(lihat : Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/420) cetakan Maktabah Al-Irsyad, dan Tafsir Al-Qurthubi, 2/333)


Apa saja perkara yang dibenci/dilarang bagi orang yang sedang beri’tikaf itu ?

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh menjelaskan : “Jumhur ulama berpendapat, bahwa tidaklah dimakruhkan/dibenci (bagi orang yang beri’tikaf) kecuali apa saja yang dibenci/dilarang (untuk dilakukan) di dalam masjid ketika dia sedang berada dalam I’tikafnya. Adapun Imam Malik memakruhkan “melakukan pekerjaan apapun (selain ibadah)”, sampai-sampai tholabul ilmi sekalipun.” (Fathul Bari, no. 2028)

Jadi, yang mesti dilakukan oleh orang yang sedang I’tikaf adalah semua bentuk ibadah kepada Alloh, apakah itu sholat fardhu, sholat-sholat sunnah, membaca Al-Qur’an, berdzikir, berdoa, bersholawat, termasuk di dalamnya menghadiri majelis ta’lim yang diselenggarakan di masjid tersebut tempat dia beri’tikaf dan sebagainya. Boleh baginya untuk tidur/istirahat ketika saatnya harus tidur, atau ke kamar mandi/wc dan sebagainya. Adapun apa saja yang memalingkan dari I’tikafnya tersebut, seperti bekerja, berdagang, belanja dan seterusnya, maka ini harus ditinggalkan, karena hal ini bisa membatalkan I’tikafnya. Wallohu a’lamu bis showab.


Apa saja yang dibolehkan bagi orang yang I’tikaf untuk keluar dari masjid ?

Para ulama telah sepakat, boleh bagi orang yang I’tikaf untuk keluar dari masjid untuk keperluan buang air besar (berak atau BAB) atau buang air kecil (kencing atau BAK). Yang menukilkan adanya ijma’ para ulama dalam masalah ini, diantaranya adalah Al-Imam Ibnul Mundzir, Al-Imam Ibnu Qudamah dan yang selain keduanya. (lihat : Al-Mughni (3/68), Subulus Salam Syarh Bulughil Marom (4/186) dan Fathul Bari, no. 2029)

Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan : “Termasuk dalam hal ini adalah (keluar dari masjid) untuk keperluan makan dan minum apabila di dalam masjid tidak ada yang menyediakannya. Maka boleh keluar baginya apabila dia membutuhkannya (tetapi bila di masjid sudah ada yang menyediakan, tidak boleh dia bermudah-mudah keluar dari masjid, edt.). Demikian pula jika seseorang ingin muntah, maka dia boleh keluar dari masjid untuk mengeluarkan muntahannya di luar masjid. Demikian pula semua perkara yang mengharuskannya untuk keluar dari masjid dan tidak memungkinnya untuk dilakukan di dalam masjid, maka boleh baginya keluar dari masjid. Dalam keadaan seperti itu, tidak batal I’tikafnya.

Demikian pula boleh keluar bagi orang yang beri’tikaf tersebut untuk melakukan apa saja yang diperintahkan/diwajibkan oleh Alloh Ta’ala, seperti misalnya di masjid tempat dia I’tikaf itu tidak ada sholat jum’at, maka dia boleh keluar untuk melakukan sholat jum’at di masjid lain yang diselenggarakan sholat jum’at. Dalam keadaan seperti ini, tidak batal I’tikafnya.” (lihat Al-Mughni, 3/68)


Bila seseorang yang I’tikaf itu keluar dari masjid tanpa keperluan yang dibolehkan, apakah hal  itu bisa membatalkan I’tikafnya ?

Para ulama, seperti Imam Ahmad, Abu Hanifah, Malik dan As-Syafi’i berpendapat bahwa hal itu bisa membatalkan I’tikafnya, meskipun keluarnya itu sedikit/sebentar saja.

Tetapi para ulama lain, seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan, mereka berpendapat bahwa keluar seperti itu tidak membatalkan I’tikaf, sampai keluarnya itu benar-benar lebih dari setengah hari (yakni lama waktu keluarnya tersebut lebih dari setengah hari, edt.). Adapun kalau keluarnya hanya ringan/sebentar, maka hal itu dimaafkan.

Dalilnya adalah sebuah hadits yang menyebutkan, bahwa ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sedang I’tikaf di masjid, maka Shofiyyah rodhiyallohu ‘anha (salah satu istri Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) mendatangi beliau untuk satu keperluan, lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengantarkannya keluar hingga pulang (HR Imam Al-Bukhori no. 2035 dan Muslim no. 2175)

Tetapi alasan dengan dalil hadits ini bisa dijawab : Bahwa dilarangnya keluar dari masjid itu adalah bila tidak ada keperluan (yang mengharuskan keluar/dhorurat). Sedangkan dalam kisah hadits tersebut, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menguatirkan istri beliau, karena keadaan saat itu malam (gelap gulita, sehingga beliau pun harus keluar untuk mengantar, jadi ini keadaannya dhorurat, wallohu a’lam, edt.)

Jadi, yang rojih dalam permasalahan ini adalah pendapat pertama, yakni tidak boleh keluar dari masjid tanpa ada keperluan yang mendesak. Bila keluar dengan sengaja, meskipun sebentar, maka akan batal I’tikafnya. Wallohu a’lamu bis showab.

(lihat : Al-Mughni, 3/69-70)

Demikianlah beberapa hukum yang terkait dengan I’tikaf, yang bisa kita bahas. Semoga bermanfaat dan menambah ilmu serta wawasan kita tentang sebagian dari ilmu-ilmu agama Islam yang patut kita ketahui dan kita pelajari.


Dinukil dan diringkas dari Kitab Ithaaful Anam bi Ahkaami wa Masaailis Shiyam (hal. 224-238) karya guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafdidzhohulloh.


Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby
www.darul-ilmi-sby.blogspot.co.id