ADAB-ADAB BERPUASA (5) :
MENJAUHI SEMUA PERKARA YANG BISA MERUSAKKAN
ATAU MENGURANGI PAHALA PUASA
Sebagaimana kita ketahui, Alloh subhanahu wa
Ta’ala mensyari’atkan kepada kita berpuasa untuk satu tujuan dan hikmah yang
agung, sebagaimana dalam firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ (١٨٣)
“Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqoroh :
183)
Al-Imam Ibnu
katsir rohimahulloh menjelaskan ayat yang mulia ini dalam tafsirnya : “Alloh
Ta’ala berfirman kepada orang-orang mukmin dari kalangan umat ini, dan Dia
memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa, yaitu : menahan diri dari makan dan
minum dan segala hal yang bisa merusakkan (puasanya tersebut), dengan niat
ikhlas karena Alloh Azza wa Jalla, mengingat bahwa di dalam puasa tersebut ada
pembersihan terhadap jiwa dan kesuciannya, dan juga pembersihan diri dari
tercampurnya (jiwa itu) dengan kerendahan dan akhlak yang hina.” (Tafsir
Al-Qur’anul Adzim)
Maka seorang
muslim itu diperintah untuk selalu menjaga dirinya dari semua perkara yang
dilarang, baik itu yang berupa perkataan ataupun perbuatan yang jelek, di
setiap waktunya, lebih-lebih lagi di bulan yang suci lagi mulia ini, yakni
Romadhon.
Dalam hadits Abu
Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu disebutkan bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل فليس لله حاجة في أن يدع طعامه
وشربه
“Barangsiapa tidak
bisa meninggalkan berkata dusta (bohong) dan beramal dengannya serta berbuat
bodoh, maka Alloh tidak membutuhkan dia meninggalkan makanan dan minumannya
(yakni Alloh tidak butuh kepada puasa orang tersebut, edt.).” (HR Imam
Al-Bukhori no. 6057)
Al-Imam
As-Shon’ani rohimahulloh berkata : “Hadits ini menunjukkan haramnya dusta dan
melakukan kedustaan itu, dan juga haramnya melakukan perbuatan bodoh, bagi
orang yang berpuasa. Keduanya juga diharamkan bagi selain orang yang berpuasa,
tetapi bagi orang yang berpuasa lebih diharamkan lagi, sebagaimana sangat
diharamkan perbuatan zina itu bagi orang yang telah tua, dan juga haramnya
sombong bagi orang yang miskin.” (Subulus Salam, 4/126)
Bahkan Imam
Al-Auza’i rohimahulloh berpendapat bahwa ghibah itu (bahasa
jawanya : ngrasani orang) bisa membatalkan puasa. Ibnu Hazm rohimahulloh
menganggap dalam perbuatan ghibah itu terkumpul padanya semua bentuk
kemaksiatan. Beliau juga berpendapat bahwa semua bentuk kemaksiatan itu bisa
membatalkan puasa. Kedua imam tersebut berhujjah/berdalil dengan hadits Abu
Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu yang tersebut di atas. Juga berdalil dengan hadits
Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu yang lainnya, bahwa Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam berbsabda :
رب صائم ليس له من صيامه إلجوع , ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر
“Betapa banyaknya
orang yang berpuasa, dia tidak mendapatkan apapun (balasan) dari puasanya
kecuali lapar saja. Dan betapa banyaknya orang yang bangun (di waktu malam),
dia tidak mendapatkan apapun (balasan) dari bangunnya tersebut kecuali begadang
saja.” (HR Imam An-Nasa’i dalam As-Sunanul Kubro
(2/239) dan Imam Ahmad dalam Al-Musnad (2/373),
sanadnya shohih)
Adapun mayoritas
(kebanyakan) para ulama lainnya berpendapat bahwa semua bentuk perbuatan dosa
tetap dianggap sebagai suatu kemaksiatan (kedurhakaan terhadap Allloh Ta’ala),
tetapi tidak sampai membatalkan puasa.
Adapun pendalilan
mereka (pendapat pertama yang mengatakan batalnya puasa bagi orang yang
melakukan dosa atau maksiat) dengan hadits-hadits tersebut di atas, dijawab
oleh Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh sebagai berikut :
“Para sahabat kami
(yakni para ulama madzhab Syafi’iyyah, edt.) menjawab hadits-hadits tersebut
dengan mengatakan : “Bahwa yang dimaksud dengan hadits-hadits tersebut adalah
masalah kesempurnaan puasa dan keutamaan yang dituntut (bagi orang yang
berpuasa), sesungguhnya hal itu hanyalah bisa terjadi dengan penjagaan dirinya
dari perbuatan yang sia-sia, perkataan yang rendah (dan sebagainya), bukan
menunjukkan bahwa puasa itu bisa batal dengan sebab perbuatan tersebut.” (Al-Majmu’
Syarh Al-Muhadzdzab, 6/356)
Disamping itu juga
bisa dijawab : Bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam masih menetapkan adanya
puasa baginya, hanya saja dinafikan (ditiadakan) pahala baginya,
sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam : (“tidak ada puasa
baginya”). Demikian pula dalam hadits Qudsi disebutkan firman Alloh Ta’ala
: (“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kamu berbuat kesalahan di malam dan di
siang hari, sedangkan Aku akan mengampuni dosa-dosa itu semuanya…”) (HR
Imam Muslim no. 2577, dari hadits Abu Dzar rodhiyallohu ‘anhu).
Maka atas dasar
inilah kita tahu, bahwa seseorang itu tidak ada yang selamat dari berbuat dosa
atau kesalahan, tetapi Alloh Ta’ala adalah Dzat Yang Maha Mengampuni semua dosa
dan kesalahan.
Jadi, orang yang
berpuasa lalu dia juga masih berbuat dosa, seperti ghibah, berkata jelek dan
lain-lain, menurut pendapat yang rojih, hal itu tidaklah sampai membatalkan
puasanya, hanya saja bisa jadi berkurang atau tidak ada nilai pahala puasa baginya,
wallohu a’lamu bis showab.
Maka sudah
sepantasnya bagi kita yang sedang berpuasa, untuk menjaga puasa kita agar tidak
rusak/batal, dan juga tidak berkurang pahalanya karena dosa atau kemaksiatan
yang kita lakukan. Kita memohon taufiq kepada Alloh Ta’ala, agar Dia membimbing
kita untuk selalu berbuat yang benar dan lurus, khususnya selama menunaikan
ibadah puasa Romadhon kali ini, agar puasa kita dan semua rangkaian ibadah yang
kita lakukan di dalamnya benar-benar diterima oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Wallohu waliyut
taufiq.
Akhukum
fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby
www.darul-ilmi-sby.blogspot.co.id