HUKUM PUASANYA
WANITA YANG HAMIL DAN YANG SEDANG MENYUSUI BAYI
Seorang wanita yang sedang hamil, atau wanita
yang sedang menyusui bayinya yang masih kecil, lalu dia tidak mampu berpuasa
karena kuatir dengan keadaan janin yang dikandungnya atau kuatir dengan anak
yang disusuinya, dan juga mengkuatirkan keadaan kesehatan dirinya, bolehkah dia
tidak berpuasa ? Lalu jika dia tidak berpuasa, apa kewajiban baginya itu ?
Dalam permasalahan ini, ada beberapa pendapat
para ulama, diantaranya sebagai berikut :
PENDAPAT PERTAMA : Bahwa keduanya dibolehkan untuk
berbuka/tidak berpuasa, dan berkewajiban memberi makan kepada seorang miskin
setiap harinya (yakni membayar fidyah).
Ini adalah pendapatnya Ibnu Abbas (atsar dari
Ibnu Abbas ini dikeluarkan oleh Imam Ath-Thobari dalam tafsirnya
(3/425-427) dengan sanad yang shohih), Ibnu Umar (atsar ini dikeluarkan oleh As-Syafi’i
dalam Musnad-nya (1/278), Abdur Rozaq dalam Al-Mushonnaf (4/218)
dan Al-Baihaqi dalam Sunan-nya (4/230) sanadnya shohih), Ikrimah,
Sa’id bin Jubair, Al-Qosim bin Muhammad, dan Ishaq bin Rohawaih rohimahulloh
ajma’in.
Mereka berdalil dengan firman Alloh ta’ala :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ (١٨٤)
“Dan
bagi orang yang tidak mampu/lemah berpuasa, hendaknya dia membayar fidyah,
(yaitu) memberi makan kepada satu orang miskin.” (QS Al-Baqoroh : 184)
PENDAPAT KEDUA : Bahwa keduanya dibolehkan untuk berbuka,
hanya saja wajib mengqodho’ (mengganti hutang puasanya tersebut
di hari lainnya), tidak perlu membayar fidyah.
Ini adalah pendapatnya Al-Hasan Al-Bashri,
An-Nakho’i, Atho’, Az-Zuhri, Ad-Dhohak, Al-Auza’i, Robi’ah, Ats-Tsauri, Abu
Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Al-Laits, Ath-Thobari, Abu Tsaur, dan Abu
Ubaid. Adapun Imam Malik berpendapat, hukum tersebut di atas khusus untuk
wanita yang sedang menyusui bayinya. Salah satu pendapat As-Syafi’i menyatakan
: Hukum tersebut untuk wanita yang sedang hamil.
Mereka semuanya berdalil dengan hadits Anas
bin Malik Al-Ka’bi rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“Sesungguhnya Alloh telah meletakkan puasa
bagi orang yang safar (bepergian jauh) dan (juga meletakkan) separuh sholat
(untuk musafir tersebut). (Demikian pula Alloh juga meletakkan) puasa bagi
orang yang hamil dan yang menyusui.” (HR Abu Daud (no. 2408), At-Tirmidzi
(no. 715), An-Nasa’i (4/180 dan 190), dan Ibnu Majah
(no. 1668), dishohihkan oleh Syaikh Muqbil al-Wadi’i rohimahulloh dalam Al-Jaami’us
Shohih)
Berdasarkan dalil tersebut, mereka mengatakan
: “(Makna hadits tersebut), yakni bolehnya berbuka bagi keduanya (sebagai suatu
keringanan baginya). Dan dibolehkannya hal itu karena adanya udzur yang “tidak
asli” (bukan bawaan atau sesuatu yang terus menerus ada/melekat padanya).
Maka tidak diwajibkan baginya kaffaroh/fidyah, seperti keadaan orang yang sakit
(Jadi, yang wajib baginya adalah untuk mengqodho’ saja).”
Pendapat kedua ini adalah pendapat yang
dirojihkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Syaikh Ibnu Baaz, dan Syaikh
Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahumulloh ajma’in.
PENDAPAT KETIGA : Jika keduanya menguatirkan (kesehatan)
dirinya sendiri, atau menguatirkan dirinya dan anaknya, maka boleh bagi
keduanya berbuka/tidak berpuasa, kewajibannya adalah mengqodho’ dan tidak perlu
membayar fidyah. Tetapi bila keduanya hanya menguatirkan
(kesehatan/keselamatan) anaknya saja tanpa menguatirkan (kesehatan) dirinya,
maka keduanya boleh berbuka/tidak berpuasa, dan berkewajiban untuk mengqodho’
dan juga membayar fidyah. Ini adalah pendapatnya As-Syafi’i,
Ahmad dan Mujahid rohimahumulloh ajma’in.
PENDAPAT KEEMPAT : Orang yang hamil boleh berbuka/tidak puasa
dan berkewajiban mengqodho’ saja tanpa membayar fidyah. Sedangkan wanita yang
menyusui bayinya boleh berbuka/tidak puasa, dan berkewajiban untuk mengqodho’
dan membayar fidyah. Ini adalah pendapatnya Malik, Al-Laits, dan dirojihkan
oleh Ibnu Abdil Barr rohimahulloh.
PENDAPAT KELIMA : Boleh bagi keduanya untuk berbuka/tidak
berpuasa, dan tidak ada kewajiban untuk mengqodho’ maupun membayar fidyah bagi
keduanya. Ini pendapat Ibnu Hazm rohimahulloh.
Beliau berdalil dengan hadits Anas bin Malik
Al-Ka’bi rodhiyallohu ‘anhu yang telah terdahulu (yakni beliau memahami dari
dalil tersebut bahwa makna “meletakkan puasa” adalah membebaskannya/tidak
mewajibkan untuk berpuasa, yang berarti juga tidak ada kewajiban untuk
mengqodho’ atau membayar fidyah, wallohu a’lam, edt.).
Jawaban atas pendapat ini : Sesungguhnya yang
dimaksud dengan (“meletakkan puasa”), yakni meletakkan kewajiban untuk
menunaikannya, bukan meletakkan (membebaskan) qodho’ baginya, berdasarkan dalil
(seperti dalam hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi tersebut di atas) bahwa seorang
musafir (orang yang bepergian jauh) wajib baginya untuk tetap mengganti puasa
(mengqodho’nya) di hari-hari yang lainnya, sebagaimana firman Alloh ta’ala :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ
عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ (١٨٤)
“Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…” (QS Al-Baqoroh : 184)
LALU, MANA PENDAPAT YANG ROJIH ?
Dari kelima pendapat tersebut di atas, yang
insya Alloh rojih (kuat dan terpilih berdasarkan dalil-dalilnya) adalah pendapat
kedua, yakni wajib bagi wanita yang hamil atau yang sedang menyusui bayinya untuk MENG-QODHO’
puasanya apabila dia merasa lemah (tidak mampu) berpuasa ketika
Romadhon tiba seperti sekarang ini.
Demikianlah seperti yang dinyatakan juga oleh
guru-guru kami, diantaranya Syaikh Al-‘Allamah Yahya bin Ali Al-Hajuri
hafidzhohulloh dalam kitabnya Ithaaful Kirom bi Ajwibati Ahkaami Az-Zakati
wa Al-Hajji wa As-Shiyaam (hal. 372-373) soal no. 46, dan Syaikh
Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh dalam kitab Ithaaful Anam bi
Ahkaami wa Masaaili As-Shiyaam (hal. 161-163). Wallohu a’lam bis
showab.
(Maroji’ :Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab
(6/268), Al-Mughni (3/37), Al-Muhalla (no. 770), Al-Istidzkar
(10/221-224) dan Syarhul Mumti’ (6/359-362) )
MASALAH
: “Seorang
wanita yang pekerjaannya biasa menyusui bayi dan dia menerima upah darinya,
apakah hukum untuk mengqodho’ puasa Romadhon juga berlaku baginya ?”
Menurut Imam An-Nawawi rohimahulloh, beliau
merojihkan dan membenarkan pendapat bahwa hukum tersebut di atas tetap berlaku
bagi wanita yang seperti itu. Hal
tersebut juga diputuskan/ditegaskan oleh Al-Qodhi Husain dalam Fatawa (kumpulan
fatwa-fatwa) beliau….. wallohu a’lam bis showab.
(lihat :Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab,
6/268)
Demikian beberapa hukum yang terkait dengan
puasanya wanita yang hamil atau yang sedang menyusui bayinya, khususnya apabila
mereka tidak mampu untuk berpuasa karena lemah. Semoga pembahasan yang ringkas
ini bermanfaat untuk yang menulisnya maupun bagi para pembaca seluruhnya.
(Maroji' : Kitab Ithaaful Anam bi Ahkaami wa Masaailis Shiyam (hal. 161-163), karya guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh)
Akhukum
fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby
www.darul-ilmi-sby.blogspot.co.id