FIQH PUASA ROMADHON


Image result for KAKEK DAN NENEK
PUASANYA ORANG-ORANG YANG LEMAH / YANG TIDAK ADA KEMAMPUAN SAMA SEKALI UNTUK BERPUASA

Termasuk dalam hal ini adalah : kakek dan nenek yang sudah sangat tua dan lemah yang keduanya tidak ada kemampuan sama sekali untuk berpuasa, atau orang yang sakit yang sakitnya tersebut  tidak bisa diharapkan kesembuhannya.

Dalam masalah ini, para ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa bagi orang-orang yang lemah seperti tersebut di atas tidak ada kewajiban bagi mereka untuk berpuasa, dan hendaknya mereka berbuka (tidak berpuasa).Para ulama yang menyebutkan adanya ijma’ tentang permasalahan ini diantaranya adalah Ibnul Mundzir, Ibnu Abdil Barr, Al-Qurthubi dan An-Nawawi rohimahumulloh ajma’in.

(lihat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/258-259), Al-Istidzkar (10/213), Tafsir Al-Qurthubi (2/289) )


LALU APA YANG DIWAJIBKAN BAGI MEREKA, APABILA MEREKA TIDAK BERPUASA ?

Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang masyhur di kalangan para ulama :

PENDAPAT PERTAMA : Diwajibkan begi mereka untuk membayar fidyah (yakni memberi makan kepada orang miskin setiap harinya, sebanyak hari-hari yang dia tidak berpuasa). Ini adalah pendapatnya Jumhur fuqoha’, diantaranya Imam As-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah. Dan telah berpendapat seperti itu juga para sahabat Nabi, seperti Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Qois bin Sa’ib dan Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhum ajma’in. Dari kalangan Tabi’in diantaranya ‘Ikrimah, Sa’id bin Al-Musayyab, ‘Atho’, Qotadah, Sa’id bin Jubair dan lain-lain.

Dalil mereka, diantaranya adalah :

a.      Firman Alloh Ta’ala :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ١٨٤)

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…” (QS Al-Baqoroh : 184)

Dalam Qiro’ah (bacaan) Ibnu Abbas, ayat (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ) maknanya adalah “yang merasa berat dengan puasanya”. Dalam qiro’ah yang masyhur maknanya : ”mampu tapi dengan penuh keberatan/kesulitan”. Mereka (golongan pendapat pertama) mengatakan : “Maka dua makna ini bersesuaian/cocok.”

b.      Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh mengatakan (tentang ayat tersebut di atas) : “Sisi pendalilan dari ayat tersebut di atas adalah bahwa Alloh menjadikan fidyah sebagai ganti puasa bagi orang yang tidak mampu untuk berpuasa. Maka jika dia tidak mampu (puasa), maka tersisalah gantinya yakni fidyah. Dan hal ini secara hakekat menunjukkan atas kefaqihan-nya (kepandaian-ya) Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma. Jika tidak demikian, maka seseorang itu apabila dia membaca ayat tersebut, maka tidak ada pertentangan di dalam ayat tersebut bagi orang yang tidak mampu (berpuasa), bahkan di dalam ayat tersebut (juga) untuk orang yang mampu berpuasa (tetapi merasa berat). Ini adalah sisi pendalilan (ayat tersebut). Maka jadilah orang yang lemah itu benar-benar lemah yang tidak bisa diharapkan hilangnya (kelemahan tersebut), sehingga yang wajib bagi dia adalah memberi makan kepada satu orang miskin setiap harinya (yakni fidyah).”

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh mengatakan : “Yang dimaukan/dimaksud oleh Syaikh Utsaimin rohimahulloh adalah bahwa dhohir ayat tersebut menunjukkan bahwa (hukum asalnya) orang yang mempunyai kemampuan berpuasa (tetapi merasa berat), maka baginya boleh memilih antara memberi makan (pada orang miskin) atau berpuasa, kemudian hal itu dihapus (hukumnya), maka tidak ada pertentangan bagi orang yang (benar-benar) tidak mampu berpuasa, maka perkaranya seperti yang dikatakan oleh beliau rohimahulloh (yakni bolehnya membayar fidyah baginya sebagai ganti atas ketidakmampuannya untuk berpuasa, edt.)”. (Ithaaful Anam, hal. 156)

Dalam As-Shohihain, terdapat hadits Salamah bin Al-Akwa’ rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :

“Tatkala turun ayat ( وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين), maka orang yang ingin berbuka (tidak berpuasa) maka dia membayar fidyah, sampai turunnya ayat yang menghapus (hukum bolehnya berbuka/tidak puasa) ayat tersebut di atas.” (yakni ayat yang berbunyi : (فمن شهد منكم الشهر فليصمه) “barangsiapa menyaksikan bulan itu (yakni Romadhon) maka hendaknya dia berpuasa !” (QS Al-Baqoroh : 185) )

Kemudian dalam Shohih Al-Bukhori (No. 4506), dari Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, terdapat penjelasan darinya tentang telah dihapuskannya (hukum) yang tersebut dalam ayat di atas (QS Al-Baqoroh : 184)

c.   Sebagian para sahabat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam ada yang mengamalkan pendapat ini, seperti Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Abu Huroiroh, Qois bin As-Saib rodhiyallohu anhum ajma’in, sampai-sampai Ibnu Hazm rohimahulloh mengatakan : “Tidak diketahui adanya khilaf (perselisihan pendapat) dalam masalah ini di antara mereka (para sahabat Nabi).”

Pendapat yang pertama ini dirojihkan oleh : Ibnu Qudamah, An-Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Katsir, dan juga dirojihkan oleh para ulama masa kini, seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh Ibnu Utsaimin dan juga Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rohimahumulloh ajma’in.

PENDAPAT KEDUA : Tidak diwajibkan bagi mereka untuk membayar fidyah ! Ini adalah pendapatnya Malik, Ats-Tsauri, Abu Tsaur, Al-Qosim bin Muhammad, Salim bin Abdillah, Makhul Ad-Dimasyqi, Robi’ah bin Abdirrohman, Sa’id bin Abdil Aziz, dan ini juga salah satu dari pendapatnya Imam As-Syafi’i.

Pendapat yang kedua ini dirojihkan oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Hazm rohimahumulloh ajma’in.

Ibnu Hazm rohimahulloh mengatakan : “Laki-laki dan wanita yang sudah sangat tua (kakek dan nenek) yang keduanya tidak mampu lagi berpuasa, maka puasa bukan suatu keharusan/kewajiban bagi keduanya. Alloh ta’ala berfirman :

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا (٢٨٦)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al-Baqoroh : 286).

Apabila tidak ada keharusan untuk berpuasa bagi keduanya, maka (demikian pula halnya) kaffaroh (maksudnya fidyah, edt.) tidak diharuskan juga bagi keduanya, karena Alloh ta’ala tidak mengharuskan (hal tersebut) pada keduanya, (demikian pula) Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam (juga tidak mengharuskan/mewajibkan), sedangkan harta (kaum muslimin itu) diharomkan (untuk diambil/dikeluarkan) kecuali dengan nash (dalil-dalil syar’i) atau dengan ijma’ (kesepakatan kaum muslimin).” (Al-Muhalla, no. 770)


Al-Imam Ibnu Abdil Barr rohimahulloh berkata : “Yang shohih menurut pandangan saya, wallohu a’lam, adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa fidyah itu bukan perkara yang diwajibkan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, karena Alloh ta’ala tidaklah mewajibkan puasa bagi orang yang tidak mampu. Karena sesungguhnya puasa itu tidaklah diwajabkan sebagai suatu yang fardhu/wajib, kecuali bagi orang yang mampu. Sedangkan orang yang lemah/tidak mampu berpuasa seperti orang yang lemah/tidak mampu sholat dengan berdiri, dan juga seperti orang buta yang tidak mampu melihat, maka mereka tidak dibebani kewajiban (pada perkara-perkara yang mereka tidak mampu tersebut, edt.). Adapun fidyah, tidaklah diwajibkan berdasarkan Kitabulloh (Al-Qur’an) dengan mengumpulkan/menjama’ penafsirannya, tidak pula (diwajibkan) oleh Sunnah berdasarkan yang telah dipahami (diambil fiqh) darinya, tidak pula (diwajibkan) berdasarkan ijma’ (kesepakatan) yang demikian itu diantara para sahabat Nabi, dan tidak pula (diwajibkan) oleh orang-orang setelah mereka, sedangkan perkara-perkara yang fardhu/wajib itu tidaklah diwajibkan kecuali dari beberapa sisi yang telah disebutkan di atas, dan suatu tanggungan/beban kewajiban itu (hukum asalnya) terlepas (tidak ada, kecuali adanya dalil yang memerintahkannya/mewajibkannya, edt).” (Al-Istidzkar, 10/212-220)


JAWABAN ATAS PENDAPAT GOLONGAN PERTAMA :

1.      Qiro’ah/bacaan Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma atas ayat (وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين) dibaca (يطوقونه), adalah bacaan yang Syadz (ganjil/nyleneh), menyelisihi qiro’ah yang mutawatir.

Ibnu Abdil Barr rohimahulloh berkata : “Firman Alloh : (يُطِيقُونَه) adalah tsabit diantara dua mushaf yang telah disepakati, dan ini adalah qiro’ah yang shohih yang telah pasti keshohihannya………”

Ucapan mereka (golongan yang berpendapat pertama) : “Sesungguhnya firman Alloh ta’ala : (وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين) maknanya adalah (يطيقونه بمشقة) “mampu tetapi dengan berat/susah payah)”. Ini adalah penafsiran yang tidak lurus, sebagaimana dalam hadits Salamah bin Al-Akwa’ rodhiyallohu ‘anhu dalam As-Shohihan terdahulu.

Dhohir hadits tersebut menjelaskan secara umum tentang bolehnya berbuka/tidak berpuasa bagi orang mendapati adanya masyaqqoh (kesulitan/susah payah) ataupun tidak mendapatinya (meskipun pada akhirnya hukum seperti ini dihapus, edt.). Demikian juga, pokok permasalahan adanya perselisihan para ulama tentang hukum bagi yang lemah (orang tua) adalah orang yang tidak mampu puasa (bukan orang yang mampu berpuasa, edt.). Oleh karena itu, Ibnul Mundzir rohimahulloh merojihkan (menguatkan) bahwa ayat tersebut di atas (yakni ayat :( وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين) adalah telah dimansukh (dihapus hukumnya), dan ayat tersebut tidak mengena (tidak berlaku) bagi orang-orang tua yang lemah.”

Ibnu Abdil Barr rohimahulloh juga berkata : “Seandainya orang tua yang lemah yang tidak mampu berpuasa (termasuk dalam ayat tersebut di atas), tentu tidaklah sesuai (tidak pantas) kalau dikatakan kepadanya ( وأن تصوموا خير لكم) “Dan kamu berpuasa itu adalah lebih baik bagi kamu.” (Al-Baqoroh : 184).

2.     Adapun sisi pendalilan yang dibawakan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh (tentang ayat tersebut di atas), di dalamnya terdapat isykal (suatu permasalahan yang masih mengganjal, edt.) dari sisi bahwa sesungguhnya Alloh mewajibkan bagi orang yang mampu berpuasa untuk membayar fidyah (bila dia tidak ingin berpuasa) atau tetap berpuasa. Maka dipahami dari ayat tersebut bahwa orang yang tidak mampu (yakni yang benar-benar tidak mampu berpuasa karena sudah sangat tua atau sakit yang tidak mungkin sembuh, edt.) maka tidak ada kewajiban fidyah dan tidak ada kewajiban berpuasa baginya.

Hal ini dikuatkan dengan firman Alloh ta’ala :

 (لا يكلف الله نفسا إلا سعها)

“Alloh tidak membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al-Baqoroh : 286).

Maka ketika Alloh menghapus ayat tersebut dengan ayat yang setelahnya,  dan kemudian mewajibkan bagi orang yang mampu berpuasa untuk berpuasa (tidak ada lagi pilihan untuk membayar fidyah atau berpuasa, edt.), lalu dari manakah kita mewajibkan atas orang yang tidak ada kemampuan berpuasa (yakni kakek dan nenek yang sudah sangat lemah dll, edt.) untuk mendatangkan/membayar dengan sesuatu yang sebanding dengan puasa (yakni fidyah), padahal puasa itu sendiri tidak diwajibkan atas mereka ?” ]

3.      Adapun apa yang diriwayatkan dari sebagian sahabat Nabi (tentang pendapat mereka agar membayar fidyah bagi orang tua/kakek dan nenek yang tidak mampu berpuasa, edt.), maka jawabannya adalah : “Bahwa hujjah (dalil yang bisa dianggap/dipakai) dari pendapat mereka adalah Ijma’ mereka (kesepakatan mayoritas para sahabat), bukan pendapat individu-individu mereka. Atau mungkin saja apa yang dilakukan oleh sebagaian sahabat tersebut (dengan memberi makan kepada fakir miskin sebagai ganti atas ketidakmampuan mereka berpuasa) adalah bersifat Istihbab (sunnah saja, bukan kewajiban). Tetapi jawaban yang dianggap benar dalam hal ini adalah yang awal/pertama tadi (yakni yang bisa dijadikan hujjah/dalil adalah kalau pendapat tersebut suatu ijma’/kesepakatan di antara para sahabat). Wallohu a’lam.

Dari dua pendapat tersebut di atas, manakah yang rojih (kuat dan terpilih) ?


Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh menegaskan : “Dalam pandangan kami, pendapat yang kedua adalah aqrob (lebih dekat pada kebenaran) dan arjah (lebih kuat), wallohu a’lam (sebagaimana hujjah yang dikemukakan oleh golongan pendapat yang kedua tersebut di atas, edt.).” (Ithaaful Anam, hal. 155-159)


Guru kami yang utama dan mulia, Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh, ketika ditanya :

“Orang yang lemah/tidak mampu berpuasa dikarenakan sakit menahun (yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya), apa kewajiban baginya………?”

Beliau hafidzhohulloh menjawab : “Apabila dia tidak wajib berpuasa karena sakit menahun (yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya), maka disana tidak ada dalil yang mewajibkan/mengharuskan kaffaroh (membayar fidyah) atasnya, yakni memberi makanan kepada seorang miskin setiap harinya, sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Jika dia ingin memberi makan setiap hari kepada seorang miskin (yakni fidyah) secara tathowwu’ (sunnah saja, bukan suatu kewajiban), sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, maka yang seperti ini tidak mengapa. Adapun mengilzamkannya (mengharuskannya) dan mewajibkannya tanpa adanya dalil, maka yang demikian ini nadhor (perlu diteliti lagi kebenaran pendapatnya tersebut). Tidak sepantasnya mewajibkan hal tersebut pada mereka tanpa adanya dalil…….” (Ithaaful Kirom bi Ajwibati Ahkaami Az-Zakati wa Al-Hajji wa As-Shiyaam (hal. 386) soal no. 63)

Demikanlah. Maka kesimpulan akhir dari pembahasan tersebut di atas adalah sebagaimana yang telah ditegaskan dan dijelaskan oleh kedua guru kami yang mulia tersebut di atas, yakni : 

“orang-orang yang memang lemah dan tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk berpuasa, maka pendapat yang shohih adalah mereka BOLEH TIDAK BERPUASA, dan TIDAK ADA KEWAJIBAN BAGI MEREKA UNTUK MENG-QODHO’ ataupun MEMBAYAR FIDYAH. 

Tetapi bila dia ingin membayar FIDYAH sebagai sesuatu yang mustahab / sunnah saja, bukan sebagai suatu kewajiban/keharusan, maka yang demikian ini tidak mengapa.”  

Dan dengan itu pula kami berpendapat, wallohu a’lamu bis showab.

Catatan :

Yang dimaksud dengan “orang yang tidak mampu berpuasa” adalah orang-orang lemah yang tidak mampu berpuasa secara mutlak, atau yang mampu berpuasa tetapi disertai dengan kesulitan/kesusahan/keberatan yang amat sangat, yang menimbulkan madhorot bagi pelakunya bila mereka tetap berpuasa. (lihat Majmu’ Al-Fatawa, 14/103)

Wallohu a’lam bis showab.

(Maroji’ : Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/258), Al-Muhalla (no. 770), Tafsir Al-Qurthubi (2/288), Al-Istidzkar (10/212-220), Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (no. 4506), As-Syarhul Mumti’ (6/333-334) dan Tafsir Ibnu Katsir (ayat 184) dari Surat Al-Baqoroh)


Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby