FIQH PUASA ROMADHON

MENGGAPAI KEUTAMAAN LAILATUL QODAR


Image result for lailatul qadar
Saudaraku kaum muslimin ……

Salah satu keutamaan dan keistimewaan Bulan Romadhon, adalah adanya satu malam, yang beribadah pada malam tersebut, nilai dan keutamaan pahalanya sama dengan beribadah selama seribu bulan (kurang lebih, 83 tahun lebih 4 bulan). Itulah yang dinamai dengan Lailatul Qodar.

Berikut ini akan kami uraikan penjelasan singkat tentang apa itu Lailatul Qodar, dan hal-hal yang terkait dengannya. Tentunya, sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Nabi kita Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan penjelasan para ulama yang terpercaya.


Mengapa dinamai dengan Lailatul Qodar ?

Secara bahasa, Lailatul Qodar tersusun atas dua kata, “Lail”, yang artinya “malam”, dan “Al-Qodar”, yang artinya adalah “kemuliaan, atau penetapan, atau pengaturan”

Para ulama menyebutkan beberapa sebab/alasan, mengapa dinamai dengan Lailatul Qodar. Ada yang berpendapat, karena pada malam itu Alloh Ta’ala menentukan/mengatur sesuai dengan kehendak-Nya, semua urusan (yang terkait dengan kehidupan makhluk-Nya/hamba-Nya) selama satu tahun yang akan datang. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Alloh Ta’ala :

إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةٖ مُّبَٰرَكَةٍۚ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ ٣  فِيهَا يُفۡرَقُ كُلُّ أَمۡرٍ حَكِيمٍ ٤  أَمۡرٗا مِّنۡ عِندِنَآۚ إِنَّا كُنَّا مُرۡسِلِينَ ٥  رَحۡمَةٗ مِّن رَّبِّكَۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ٦

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul. Sebagai rahmat dari Robb-mu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Ad-Dukhon : 3-6)

Ada pula yang berpendapat, dinamai dengan Lailatul Qodar, adalah karena keagungan dan kemuliaan malam itu. Karena malam itu adalah malam yang dipilih oleh Alloh untuk diturunkannya Al-Qur’an, dan turunnya segenap Malaikat dengan membawa keberkahan yang banyak. Disamping itu, Al-Qodar itu sendiri secara bahasa maknanya adalah “kemuliaan atau keagungan atau penghormatan”.

Seperti dalam firman Alloh Ta’ala :

وَمَا قَدَرُواْ ٱللَّهَ حَقَّ قَدۡرِهِۦٓ ٩١

“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya…...” (QS Al-An’am : 91)

Atau seperti ucapan seseorang : لفلان قدر , “fulan mempunyai qodr”, artinya dia mempunyai “kemuliaan dan kedudukan”.

Ada pula yang berpendapat, dinamai dengan Lailatul Qodar, karena orang-orang yang melakukan amal-amal ketaatan pada malam itu akan mendapatkan “kedudukan yang agung” (di sisi Alloh) dan “balasan atau pahala yang melimpah” (banyak).

Dan disana masih banyak pendapat lainnya, mengapa dinamai seperti itu, wallohu a’lamu bis showab.

(lihat : Tafsir Al-Qurthubi, pada penjelasan Surat Al-Qodar, dan Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori, penjelasan hadits no. 2014)    


Apa fadhilah/keutamaan Lailatul Qodar tersebut ?

Tentang fadhilah dan keagungan Lailatul Qodar, dijelaskan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya :

إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ ١ وَمَآ أَدۡرَىٰكَ مَا لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ ٢  لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَيۡرٞ مِّنۡ أَلۡفِ شَهۡرٖ ٣  تَنَزَّلُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذۡنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمۡرٖ ٤  سَلَٰمٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطۡلَعِ ٱلۡفَجۡرِ ٥

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Robb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS Al-Qodar : 1-5)

As-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh menjelaskan : “…Dinamai Lailatul Qodar, karena besarnya kemuliaan dan keutamaannya di sisi Alloh, karena pada saat itu Alloh Ta’ala mengatur segala urusan selama setahun yang akan datang, baik yang berupa ajal (kematian seseorang), rejeki, dan semua ketentuan yang dikehendaki-Nya.

Kemudian Alloh mengagungkan/membesarkannya kerdudukannya, dengan firman-Nya (“Dan tahukah kamu, apakah Lailatul Qodar itu ?”), yakni karena kedudukan/derajatnya yang agung. Kemudian firman-Nya : (“Lailatul Qodar itu lebih baik dari seribu bulan”), yakni sebanding dalam hal keutamaannya dengan seribu bulan, sehingga beramal (sholih) bertepatan dengan saat itu, lebih baik daripada beramal selama seribu bulan ……” (Taisir Al-Karimir Rohman fii Tafsir Kalamil Mannan, (hal. 882), penjelasan Surat Al-Qodar)   

Al-Imam Ibnu Katsir rohimahulloh juga menjelaskan : “Para Malaikat banyak yang turun pada malam ini, karena banyaknya kebaikan pada malam tersebut. Para Malaikat turun bersamaan dengan turunnya keberkahan dan rahmat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/444)

As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh juga menyatakan : “Dalam surat yang mulia ini (yakni surat Al-Qodr), terdapat (penjelasan tentang) beberapa keistimewaan Laiulatul Qodar, diantaranya sebagai berikut :

1. Alloh Ta’ala menurunkan pada malam tersebut kitab suci Al-Qur’an, sebagi petunjuk bagi umat manusia, dan kunci kebahagiaan bagi mereka di dunia dan di akhirat.

2.  Alloh Ta’ala mengagungkan Lailatul Qodar tersebut dengan pertanyaan : “Dan tahukah kamu, apakah Lailatul Qodar itu ?”

3.   Malam itu, lebih baik daripada seribu bulan.

4.   Para Malaikat turun pada malam tersebut, dengan membawa kebaikan, rahmat, dan keberkahan.

5.   Malam itu disebut “Salam” (kesejahteraan), karena banyak hamba-hamba Alloh yang selamat dari siksaan disebabkan ketaatannya kepada Alloh.

6.  Alloh Ta’ala menjelaskan tentang keutamaan Lailatul Qodar dengan menurunkan sebuah surat Al-Qur’an (yang khusus, yaitu surat Al-Qodr ini) yang akan dibaca sepanjang masa hingga kiamat tiba.”

(lihat : Majalis Syahri Romadhon, hal. 252-253)



Lailatul Qodar itu akan tetap ada terus setiap tahunnya (yakni setiap bulan Romadhon), ataukah telah “diangkat” (ditiadakan) keberadannya ?”

Berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, yang shohih (benar) adalah Lailatul Qodar itu tetap ada terus. Adapun apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhori dalam Shohih-nya (no. 49), dari hadits Ubadah bin As-Shomit rodhiyallohu ‘anhu, dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shohih-nya (no. 1167) dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu, juga yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari hadits Al-Fatan bin Ashim rodhiyallohu ‘anhu, yang mengisahkan tentang keluarnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk mengabari para sahabat tentang Lailatul Qodar. Kemudian beliau melihat ada dua orang yang saling berbantah-bantahan (bertengkar), kemudian beliau melerai keduanya. Setelah itu beliau bersabda :

خرجت لأخبركم بليلة القدرفتلاحى فلان وفلان فرفعت

“Aku keluar untuk mengabarkan kepada kalian tentang Lailatul Qodar, tetapi kemudian fulan dan fulan saling berbantahan, sehingga diangkatlah (yakni, beliau dilupakan tentang kapan kepastian terjadinya Lailatul Qodar itu, edt.).”

Dan yang dimaksud dengan “diangkat”, yakni diangkat tentang kepastian waktunya (bukan ditiadakan keberadaannya). Disana ada beberapa perbedaan pendapat para ulama tentang masalah ini, tetapi pendapat tersebut semuanya “syad” (nyeleneh), sehingga tidak perlu dianggap.

Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh mengatakan : “Pendapat-pendapat yang syad (nyleneh) dari mereka tersebut, adalah kesalahan yang nyata dan kekeliruan yang sangat jelas. Karena justru di akhir hadits tersebut, terdapat bantahan bagi mereka. Karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, setelah itu bersabda :

فرفعت، وعسى أن يكون خيرا لكم، فالتمسوها في التاسعة ولسابعة والخامسة

“Kemudian diangkatlah (Lailatul Qodar itu), dan mudah-mudahan hal itu menjadikan lebih baik bagi kalian. Karena itu, carilah Lailatul Qodar tersebut pada malam ke sembilan (maksudnya ke-29), malam ke tujuh (maksudnya ke-27) dan malam ke lima (maksudnya ke-25).  

Seandainya yang dimaksud dengan “diangkat” itu adalah diangkatnya keberadaan Lailatul Qodar tersebut (yakni telah ditiadakan), tentu Nabi shollallohu ’alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan untuk mencari-carinya.” (selesai perkataan Imam An-Nawawi)

Jadi kesimpulannya, Lailatul Qodar itu tetap ada setiap tahunnya, khususnya di bulan Romadhon yang mulia ini, lebih khusus lagi di akhir-akhir Romadhon, pada sepuluh hari yang terakhir (akan datang penjelasannya setelah ini), wallohu a’lamu bis showab.

(lihat : Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (6/402), As-Syarhul Mumti’ (6/491) dan Fathul Bari (no. 2023) )


Kapan terjadinya Lailatul Qodar itu ?

Tentang penentuan kapan kepastiannya, para ulama berbeda-beda pendapat banyak sekali. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh menyebutkan dalam Fathul Bari, ada lebih dari empat puluh pendapat dalam masalah ini.
Pendapat yang paling shohih dalam masalah ini adalah yang menyatakan, bahwa Lailatul Qodar itu terjadi pada malam-malam sepuluh hari terakhir dari bulan Romadhon. Sebagaimana sabda beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam :

التمسوها في العشر الأواخر

“Carilah Lailatul Qodar itu pada sepuluh hari terakhir (dari bulan Romadhon).” (HR Imam Al-Bukhori no. 2021 dari hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, dan Imam Muslim no. 1165 dari hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma)

Dalam lafadz lainnya :

تحروا ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان

“Carilah Lailatul Qodar itu pada sepuluh hari terakhir dari bulan Romadhon.” (HR Imam Al-Bukhori no. 2020 dan Imam Muslim no. 1169, dari hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha)

Lebih khusus lagi, adalah pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir di bulan Romadhon tersebut. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam :

التمسوها في الوتر من العشر الأواخر

“Carilah Lailatul Qodar itu pada (malam-malam) ganjil dari  sepuluh hari terakhir (dari bulan Romadhon tersebut, edt.).” (HR Imam Al-Bukhori no. 2016 dan 2017, dari hadits Abu Said Al-Khudri dan Aisyah rodhiyallohu ‘anhuma, dan Imam Muslim no. 1167 dari hadits Abu Said Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu)

Dalam lafadz yang lainnya :

تحروا ليلة القدر في الوتر من العشر الأواخر من رمضان

“Carilah Lailatul Qodar itu pada (malam-malam) ganjil dari sepuluh hari terakhir dari bulan Romadhon.” (HR Imam Al-Bukhori no. 2017 dan Imam Muslim no. 1169, dari hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha)


Kemudian, dari malam-malam ganjil tersebut, manakah yang lebih ditekankan lagi untuk kita mencarinya ?

Dalam masalah ini para ulama pun berbeda-beda pendapat. Jumhur ulama lebih menekankan, untuk mencarinya secara khusus pada malam ke-27. Mereka berdalil dengan hadits Mu’awiyyah bin Abi Sufyan rodhiyallohu ‘anhuma, bahwa Nabi shollallohun ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Lailatul Qodar :

هي ليلة سبع و عشرين

“Dia (malam Lailatul Qodar) itu adalah malam ke dua puluh tujuh.” (HR Imam Abu Dawud no. 1386, sanadnya shohih)

Tetapi hadits tersebut, yang rojih adalah Mauquf (hanya berhenti sanadnya sampai sahabat saja, tidak Marfu’ atau tidak terangkat sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, edt.). 

Para ulama yang merojihkan Mauqufnya hadits tersebut, diantaranya : Ad-Daruquthni dalam Al-‘Ilal (7/65), Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam Bulughul Marom (no. 688), dan As-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I rohimahulloh dalam Ahaadits Mu’allah Dhohiruha As-Shihhah (hal. 388). 

Dalil lainnya pendapat mereka, adalah pernyataan Sahabat Rosululloh yang mulia, Ubay bin Ka’ab rodhiyallohu ‘anhu, yang mengatakan :

والله إني لأعلمها هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها، هي ليلة سبع وعشرين

“Demi Alloh, sungguh aku benar-benar mengetahui malam apakah Lailatul Qodar itu, yaitu malam yang mana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintah kami untuk menegakkannya/menghidupkannya, yaitu malam dua puluh tujuh.” (HR Imam Muslim no. 762)  

Kemudian juga hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma : “Bahwa ada seseorang yang berkata (kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) : “Wahai Rosululloh, sesungguhnya berat terasa bagiku untuk menghidupkan malam (secara keseluruhan di sepuluh hari terakhir di bulan Romadhon, edt.). Kemudian suatu hari aku melalui suatu malam (dengan beribadah padanya, edt.), aku berharap mudah-mudahan Alloh menepatkan aku dengan Lailatul Qodar.” Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hendaknya engkau (engkau hidupkan dengan ibadah, edt.) pada malam yang ketujuh (yakni yang ke-27).” (HR Imam Ahmad dalam Al-Musnad no. 2149)  

Demikianlah dalil-dalil yang dijadikan pegangan untuk pendapat yang menyatakan, bahwa Lailatul Qodar itu terjadi pada malam ke-27. Wallohu a’lam bis showab.

Tetapi kita tidak bisa menjadikan dalil-dalil tersebut di atas untuk menetapkan bahwa Lailatul Qodar itu hanya terjadi pada malam ke-27. Mengapa ? Ya, karena disana ada dalil-dalil lainnya yang juga shohih, yang menunjukkan berbeda-bedanya saat terjadinya Lailatul Qodar di masa Rosululloh dan para sahabat Rosululloh itu sendiri.

Diantaranya adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu, bahwa terjadinya Lailatul Qodar ketika itu pada malam ke-21 (HR Imam Al-Bukhori no. 2027 dan Imam Muslim no. 1167). Kemudian dalam hadits Abdulloh bin Unais rodhiyallohu ‘anhu, dijelaskan bahwa Lailatul Qodar terjadi pada saat itu pada malam ke-23 (HR Imam Muslim no. 1168)

Maka berdasarkan hal itulah, tidak bisa kita tentukan bahwa Lailatul Qodar itu terjadi pada malam tertentu saja setiap tahunnya. Karena terjadinya Lailatul Qodar itu berbeda-beda atau berganti-ganti setiap tahunnya sesuai dengan kehendak Alloh Ta’ala.

Sebagaimana dinyatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh : “Saya merojihkan (menguatkan), bahwa Lailatul Qodar itu terjadinya pada sepuluh hari terakhir, dan berganti-ganti (waktunya/saat terjadinya tersebut, edt.). ….. Para ulama menyatakan : Hikmah tersembunyinya/tidak diketahuinya kepastian Lailatul Qodar itu, agar manusia bersungguh-sungguh untuk mencarinya. Seandainya kepastian malamnya itu diberitahukan, maka manusia hanya akan bersungguh-sungguh di malam itu saja (sedangkan pada malam-malam lainnya tidak, edt.).” (Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori, 4/266)  

Al-Imam Abu Qilabah rohimahulloh juga menyatakan : “Lailatul Qodar itu berganti-ganti (waktu terjadinya) pada sepuluh hari terakhir (dari bulan Romadhon), pada malam-malam ganjil.” (HR Abdurrozzaq (4/252) dan Ibnu Abi Syaibah (3/76) )

Kemudian, apabila seseorang tidak mampu untuk menghidupkan seluruh malamnya dari sepuluh hari terakhir tersebut, maka hendaknya dia menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah pada tujuh hari terakhir, jangan sampai terlewatkan dari hal itu. 

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdulloh bin Umar rodhiyallohu ‘anhuma : “Bahwa sekelompok orang dari sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mereka melihat-lihat/mencari-cari Lailatul Qodar pada tujuh hari terakhir. Maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku melihat penglihatan kalian, bahwa kalian telah sepakat (untuk mencari Lailatul Qodar itu) pada tujuh hari terakhir. Maka barangsiapa diantara kalian mencari-carinya, maka carilah Lailatul Qodar itu pada tujuh hari terakhir (yakni mulai malam ke-23 sampai ke-29, edt.).” (HR Imam Al-Bukhori no. 2015 dan Muslim no. 1165)

Demikian pula sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdulloh bin Umar roshiyallohu ‘anhuma, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

التمسوها في العشر الأواخر، فمن ضعف أو عجز فلا يغلبن عن السبع البواقي

“Carilah Lailatul Qodar itu pada sepuluh hari terakhir (dari bulan Romadhon). Barangsiapa lemah atau tidak mampu (untuk mencarinya pada sepuluh hari tersebut semuanya, edt.), maka janganlah dia terkalahkan/terluputkan untuk (mendapatkannya) pada tujuh hari sisanya.”  (HR Imam Muslim (no. 1165) (209) )

Demikianlah. Jadi, kesimpulannya : “Lailatul Qodar itu terjadi pada sepuluh hari terakhir dari bulan Romadhon. Lebih khusus lagi adalah pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir tersebut. Dan waktunya yang pasti, berganti-ganti setiap tahunnya, sesuai kehendak Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Hikmahnya, agar kita bersungguh-sungguh untuk mencarinya, dengan menghidupkan malam-malam tersebut untuk beribadah kepada Alloh Ta’ala.” Wallohu a’lamu bis showab.


Adakah tanda-tanda terjadinya Lailatul Qodar ? Apa sajakah itu ?

Ya, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita tentang beberapa tanda terjadinya Lailatul Qodar, agar kita bisa mengetahuinya. Diantaranya adalah sebagai berikut :

Pertama : Malam harinya itu adalah malam yang indah dan cerah, tidak berhawa panas dan tidak pula dingin.

Tentang hal ini, telah datang hadits Jabir rodhiyallohu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 2190) dan Ibnu Hibban (no. 3688), namun dalam sanadnya ada Al-Fudhoil bin Sulaiman, dia ini dho’if (lemah).

Kemudian juga hadits Ubadah bin As-Shomit rodhiyallohu ‘anhu, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad (5/324), di dalam sanadnya ada Baqiyyah bin Al-Walid, tidak shorih (jelas) bahwa dia meriwayatkan hadits dari syaikh-syaikhnya. Dan di dalam sanadnya Munqoti’ (terputus), yakni Kholid bin Ma’dan tidak pernah mendengar hadits dari Ubadah bin As-Shomit.

Kemudian juga hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 2192) dan Al-Bazzar, sebagaimana dalam Kasyful Astar (no. 1034), bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ليلة القدر ليلة سمحة طلقة لا حارة ولا باردة، تصبح شمسها صبيحتها ضعيفة حمراء

“Lailatul Qodar itu adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak pula dingin. Keesokan harinya, cahaya mataharinya melemah (sinarnya), kemerah-merahan.”  Tetapi hadits ini di dalam sanadnya ada Zam’ah bin Sholih, dia ini dho’if.   

Tetapi kemudian hadits tersebut naik derajatnya menjadi Hasan berdasarkan syawahidnya (penguat-penguatnya), wallohu a’lam bis showab.

Kedua : Terbitnya matahari keesokan harinya (pada pagi harinya), sinarnya tidak menyilaukan.

Berdasarkan hadits Ubay bin Ka’ab rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أن الشمس تطلع من ذلك اليوم لا شعاع لها
“Bahwa matahari terbit pada hari itu tidak menyilaukan (sinarnya).” (HR Imam Muslim no. 762).

Hadits ini mempunyai penguat dari hadits Ibnu Mas’ud dan hadits Ubadah bin As-Shomit rodhiyallohu ‘anhuma, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad (3857), dari jalan Abu As-Sholt, dari Abu Aqrob, keduanya perowi yang majhul (tidak diketahui keadaannya).

Ketiga : Pada malam itu, kadangkala terjadi turun hujan.

Sebagaimana hal itu ditunjukkan dalam hadits Abu Said Al-Khudri rodhiyalllohu ‘anhu  yang cukup panjang, diantaranya disebutkan bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

“………Carilah Lailatul Qodar itu pada sepuluh hari yang terakhir. Dan juga carilah pada (malam-malam yang) ganjil. Dan sungguh aku melihat diriku sujud (yakni sholat, ketika terjadinya Lailatul Qodar itu, edt.) di atas air dan tanah (yakni karena baru saja selesai turun hujan, sehingga lantai masjid yang hanya terbuat dari pasir/tanah saja ketika itu, menjadi basah, edt.).” (HR Imam Al-Bukhori no. 2018 dan Imam Muslim no. 1167)  

Juga dijelaskan dalam hadits Abdulloh bin Unais, sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim (no. 1168), wallohu a’lam.


Apa yang harus kita lakukan, bila kita beribadah di malam-malam 
tersebut ?

Hendaknya kita bersemangat menghidupkan malam-malam tersebut dengan melakukan banyak ibadah. Yang paling utama, adalah Sholat Lail (Tarowih), karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa mendirikan sholat pada malam Lailatul Qodar, karena keimanannya dan mengharap pahala kepada Alloh, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Imam Al-Bukhori no. 2014 dan Imam Muslim no. 760) 

Selain itu, menghidupkan malam dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an , berdzikir, berdoa dan sebagainya. 

Diantara doa yang disunnahkan untuk kita baca adalah sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah rodhiyallohu ‘anhu.  Aisyah berkata kepada  harus aku ucapkan ?” Beliau berabda :

تقولين : اللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عني

“Ucapkanlah olehmu : “Ya Alloh, sesungguhnya Engkau adalah Pemaaf (Pengampun), dan Engkau mencintai kemaafan (orang-orang yang meminta maaf/ampunan, edt.), karena itu maafkanlah aku.” (HR At-Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Al-Misykah no. 2091)

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin semuanya. Walhamdulillah.

(Diolah dari kitab Ithaful Anam bi Ahkami wa Masailish Shiyam (hal. 239-244), dengan beberapa tambahan dari sumber lainnya) 





Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby,